Waktu terhenti ketika aku duduk di samping agak depan darimu. Mendengarkan kisah mayapada dari celah bibirmu. Tentu aku tak berani menciummu. Bahkan tidak ingin. Suaramu saja sudah cukup menahan supaya aku tidak dekat dengan tubuhmu. Cukup di kursiku saja. Dan kau di kursimu. Tubuh mengayun condong dengan telinga yang lebar supaya kisah-kisah itu sampai pada otakku yang kian rapuh jika berdekatan denganmu. Pelan-pelan plot tersusun, karakter-karakter seperti bayangan mulai mewujud. Menguat jadi romansa, bahkan konflik. Lalu sosokmu berubah menjadi dalang yang memainkan semuanya. Semua berada di dalam kendali dua tanganmu. Seolah-olah!
Aku bergumam, mengingatkan ada hal lain. Di luar jangkauan dua tangan manusia. Tapi pasti telinga rentamu tidak mendengarkan selain suara-suaramu sendiri. Yang mengalun dengan nada-nada gregorian. Lalu sebuah senyum kemenangan menutup perbincangan. Tahu bahwa aku terkapar oleh semua kisah. Tahu bahwa aku sudah lemas oleh berondongan seluruh cerita.
Aku buru-buru tersenyum pula. Tak kuasa memberi satu tanggapan pun. Semua ceritaku untuk diriku sendiri. Aku tahan untuk lain hari. Menyebalkan.
Lalu buru-buru aku berdiri, pamit dan mencium cincin tebal di tangan kanannya.
Duh, iki pesti ngobrol karo wong tuwek yo mbak? Lah.. kok ra sopan ngunu, wong tuek sek endongeng malah ditinggal lungo, ko jin seng neng cicncine metu lan ngejer ejenengan...
ReplyDeletehwehaha....
(Translete: Jangan sembrono sama Orang tua not Orangtua)
(???)