Tuesday, July 29, 2008

Bandung

Setelah terakhir bersua dengan Bandung pada tahun 2000 (saat itu Bandung banjir air mata dan darah), kesempatan menemui Bandung lagi pada 23 - 24 kemarin menjadikan Bandung banjir kenangan.
Aku nyaris tidak mengenali sosoknya. Gemuk, berkeringat dan tidak bisa diam. Di beberapa tempat adalah daki kotoran yang menumpuk. Tidak aku temukan Bandung tenang, dingin dan mesra seperti dulu. Perkembangannya di luar dugaanku. Akar-akar 'komersialisme' tepat berada di jantungnya, lalu menyebar mencengkeram seluruh denyut pada sel-sel pertumbuhannya. Memberikan tawaran senyum palsu yang kecentilan.
Beberapa sudut menjadi penghiburan. Baros - Pasir Koja adalah setetes kesejukan dengan deret pinus yang menjulang ragu, tersamar polusi di sekitarnya. Dago dengan cengiran aneh lewat pintu-pintu rumah puan bangsawan membuatku terkapar sebal. Tidak ada keanggunan. Pun akasia atau entah apa namanya, merebut beberapa ruang sehingga berjalan di hiruk pikuk itu meremangkan sedikit gelenyar di kulitku yang sedang rawan. Braga nyaris tak tersisa. Tidak ada lagi tembang yang keluar dari sana, yang dulu pernah mengalun dalam desah lewat belakang telingaku.
Pamitan dengannya pada malam kedua, tidak bisa tidak membuatku pasrah dalam pelukan kaku yang diberikannya. Nyaris bukan pelukan, tapi cengkeraman aneh antara menahan atau mengusir. Aku pamit, tapi aku akan tetap mengingatnya.

No comments:

Post a Comment