Usai mengantar Bernard, aku memutar lewat pinggir lapangan SD. Rupanya anak-anak SD kelas II sedang senam kebugaran sebelum masuk kelas. Sekilas pandang saja aku sudah dapat menangkap sosok Albert. Dia di barisan agak ke belakang. Tempat favoritnya. "Iya, ibu. Aku tidak bisa ada di depan karena aku tinggi." Gitu alasannya kalau aku protes tentang tempatnya yang selalu di belakang kalau sedang baris. Ah, nggak. Dia sama tinggi dengan Billy atau Vio atau Ano, tapi mereka ada di depan.
Tidak jadi keluar gerbang untuk ke kantor, aku duduk di bawah puring, melihat senam itu. Jauh berbeda dengan senam kesegaran jasmani yang dulu dipakai saat aku SD. Lagunya lebih semarak, ceria, lepas. Gerakannya juga. Seperti menari bu Eti di depan sana memberi contoh pada para murid. Barisan depan sungguh rapi jali. Seperti laron-laron kecil yang berbaris rapi mengerubuti induknya.
Tapi astaga...lihat Albert. Matanya menatap lurus bu Eti. Dia mencontoh gerakan-gerakannya. Tidak jadi menari jika yang bergerak Albert. Saat tangan harus terentang, dia akan merentangkan tangannya selebar-lebarnya hingga dapat menggapai pundak teman kanan kirinya. Lalu bu Eti meloncat-loncat kecil ritmis. Albert melombat setinggi langit. Entah apa yang didengarnya, apakah ada musik dan lagu, tapi dia melombat tinggi-tinggi berkali-kali sampai dia sadar bahwa gerakan teman-temannya tidak lagi melompat, dan dia menghentikan gerakannya. Sekali tempo gerakan tangan ke kanan dan ke kiri. Gerakan ini membuat Albert melihat bahwa bayangan matahari melalui tangannya dapat membuat bentuk kupu-kupu, kelelawar, kelinci dan sebagainya di lantai lapangan. Maka hilang lenyaplah guru dan teman-temannya, berganti dengan para binatang di paving.
Aku menahan nafas ketika salah seorang guru yang berjejer di barisan belakang berjalan menuju Albert. Hups, satu tangan menarik tubuh Albert yang terbungkuk-bungkuk mengikuti kupu-kupunya dan mengembalikannya pada barisan senam. Gerakan terakhir ambil nafas buang nafas, ooo Albert, dia menengadah laammmaaa...sekali, kemudian dua tangannya mendekap pipinya. Pasti hangat pipinya karena terkena matahari pagi. Dia ulang lagi gerakan itu.
Satu gerakan menoleh, dia melihat mataku di ujung lapangan di belakangnya, spontan dia langsung melambai dan tersenyum padaku. Tentu saja aku tersenyum juga padanya dan melambai kencang-kencang padanya.
"Lihat di mata ibu, Bert. Ada kamu di situ." Aku membisik. Pasti dia tidak dengar. Tapi dia tahu itu.
Tampak begitu senang ya mbak mempunyai buah hati yang dapat dibanggakan. Wah.. kapan aku dalam posisi Mbak yah? Jadi orangtua, emmm... Punya istri... ah...
ReplyDeleteBelum terbayang...
Salam buat Albert mbak.