Saturday, August 23, 2008

Pernikahan Masa Kini

Pernikahan Reni dan Kasdi, 22 Agustus 2008 adalah pernikahan masa kini di salah satu sudut Baradatu, Kabupaten Way Kanan, Propinsi Lampung. Dua orang ini adalah keturunan Jawa yang lahir dari generasi kedua orang Jawa. Orang tua mereka asli Jawa, dan pindah ke Lampung karena transmigrasi. Mereka berdua lahir di Lampung tapi dua-duanya mengaku sebagai orang Jawa. Pernikahan mereka tidak bisa disebut lagi khas Jawa. Tidak ada pantangan-pantangan seperti yang dilakukan oleh orang Jawa yang menikah. Tradisi pengantin Jawa mereka dipingit beberapa hari sebelum pernikahan. Pengantin perempuan dan laki-laki tidak boleh bertemu. Mereka tinggal di rumah masing-masing atau jika pengantin laki-laki tinggal terlalu jauh, mereka harus 'mondok' di salah satu rumah yang dekat dengan rumah pengantin perempuan. Pengantin perempuan lebih banyak aturan. Mereka tidak boleh masuk dapur, tidak boleh mengerjakan hal-hal tertentu. Dan pada malam menjelang pernikahan mereka menjadi 'widodari', menikmati keperawanan terakhir kali dengan berdandan secantik mungkin, tanpa boleh dilihat oleh calon pengantin laki-laki. Malam widodaren ini menjadi malam terakhir bersama orang tua.
Reni dan Kasdi mempersiapkan pernikahan tanpa aturan-aturan Jawa seperti itu. Ada janur melengkung tapi tidak ada lagi tradisi-tradisi budaya yang dianut. Mereka mengerjakan sendiri banyak hal. Menjadi orang paling repot, masih keluar masuk dapur membuat ini itu, bahkan pada malam widodaren Reni menyeterika baju sendiri. Dan mereka berdua bersama sepanjang hari.
Pada hari H, aku melihat menjadi hari yang paling melelahkan bagi mereka. Aku yakin mereka tidak tidur pulas beberapa hari terakhir. Gimana bisa tidur wong sepanjang malam orang-orang 'tirakatan' semalam suntuk. Tirakatan masa dulu adalah hening, menghela keluar setiap halangan yang mungkin muncul. Mendoakan calon pengantin supaya 'kalis ing sambikala'. Lepas dari segala marabahaya. Tapi tirakatan yang dilakukan masa kini, adalah kartu, makanan kecil, guyonan dengan tape yang disetel sangat kenceng mengudarakan kisah wayang. Tidak ada keheningan sama sekali.
Hari H, Reni dan Kasdi berada di Gereja dengan kemantapan niat untuk bersatu. Khusyuk dalam doa, gemetar saat mengucap kaul dan menangis di pangkuan saat sungkem orang tua. Aku terpana melihat mereka berdua. Salut! Resepsi pernikahan juga tidak lagi menyisakan adat Jawa dengan temu manten, suap-suapan, kembar mayang, kacar-kucur dan sebagainya. Hanya pelaminan dan panggung orgen tunggal yang berisik sepanjang acara. Seperti pernikahan-pernikahan lain di Lampung. Budaya yang sudah bergeser.
Selamat menjalani babak selanjutnya dari cinta kalian, Reni dan Kasdi. Aku ikut dalam doa dan sukacita kalian.

(Hari Kamis aku, Sisil dan Putri berangkat dari Rajabasa. Sebelumnya makan mie goreng instan dulu di terminal karena sangat lapar. Tidak sempat makan di rumah. Buru-buru. Karena dua gadis ini belum tiba di tempat janjian, aku pesan mie plus telur. Eh, Sisil datang bilang belum makan juga. Belum selesai mie dibuat, Putri datang. "Aku kenyang." Maka berdua makan dulu, lalu cepat-cepat mencari bis menuju Baradatu. Sudah menjelang jam 2. Katanya bis kesana terakhir jam 2. Peron menagih 500-an per orang. Dan, syukurlah bis Darmaduta masih akan berangkat 10 menit lagi. Tiket 33 ribu per orang. Cukup nyaman. Tapi setelah berjalan, ketahuan kalau AC nya sama sekali tidak dingin. Menjelang Kotabumi, hujan deras mengguyur. Tidak berhenti pula sampai tiba di Baradatu sekitar pukul 6 sore. Sudah mulai gelap. Naik ojek ke "Pak Warindi, Solo I." Tiga ojek 15.000 semuanya. Rupanya keluarga pengantin laki-laki juga datang sore itu. Kami makan malam lezat khas Jawa : sambel goreng kentang, mie goreng, ayam bumbu entah apa, kerupuk, ehmmm...lezat! Setelahnya ada ibadat. Tidak pake mandi ikut bergabung bersama umat dalam doa. Kok ketemu seorang tokoh umat. Wawancara dong untuk Nuntius. Jangan dilewatkan kesempatan emas ini. Rencananya malam mau tidur yang enak karena hari sebelumnya aku hanya tidur sebentar setelah acara peluncuran Buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung di Graha Wangsa. Tapi tidak bisa. Lakon wayang disetel luar biasa memekakkan. Tidak mungkin tidur. Maka bertiga ngobrol segala hal. Terpejam beberapa menit, sudah tidak bisa tidur lagi. Merem tapi tidak tidur. Jam 5.30 pagi meloncat dari tempat tidur, mandi, berbaring lagi, sarapan, siap-siap ke Gereja, tugas motret manten, dan pulang nebeng rombongan Tanjungkarang pukul 12-an. Tiba di rumah lebih dari jam 3 sore terkapar hingga malam. Menemani Albert belajar setengah terpejam dan kembali tidur. Sampai tidak tahu kalau mas Hendro tidak ada di rumah, latihan koor. Kok tidak terasa ya kalau suami tidak ada. Pagi-pagi tadi bangun dengan malas dan kembali beraktifitas biasa.)

1 comment:

  1. Sayang daku tidak ikut kemarin ya Mbak. Kalau ikut mungkin ikut begadangan tuk towongan (begadangan ditempat manten atau yang punya hajat).
    Entah budaya apa yang dianut orang lampung keturunan Jawa sekarang ini, Aku juga bingung. Lampung bukan, jawa juga bukan. "Budaya Banci" ya itu yang tepat untuk menamai budaya tersebut.
    Towongan jika ditempatku biasanya dipadai dengan pemuda setempat. Mereka biasaanya pemuda penghuni abadi desa setempat. Umur mereka beragam dan dari banyak anggkatan. Yang pasti mereka adalah laki-laki yang sudah mengikrarkan diri bahwa mereka bujang.
    Ada pepatah ni yang mengatakan "Lain lalang lain Belalang, lain lubuk lain ikannya".
    Jika didaerahku sana, towongan biasanya diwarnai dengan budaya mabuk-mabukan oleh para bujang, dan biasanya si calon pengantin wajib menyediakannya. Apalagi jika mempelai lelaki adalah pendatang, dalam arti mendapatkan gadis setempat, wah bisa abis-abisan tuh.
    Dengan dalih bahwa botol-botol alkohol adalah "surat ijin". Ijin pada para bujang untuk mengambil mempelai wanita. Gila kan budaya semacam itu?
    Entah ditempat Mbak Reni? Apakah seperti itu?

    ReplyDelete