Aku baru tahu kalau rupanya cerpenku Tidak Pernah Selesai sudah dimuat oleh Sinar Harapan, Juni lalu. Ceritanya, saat aku nulis cerpen itu, akudidominasi rasa rindu pada Mulyadi Prabangkara, seorang pelukis yang terakhir aku tahu dia tinggal di sekitar Pasar Minggu. Alamat lengkap sudah lupa walau aku pernah beberapa hari tinggal di sana. Tentu saja Prabangkara yang aku tulis untuk cerpenku tidak mewakili sama sekali Mulyadi Prabangkara. Seluruh kisahnya juga bukan nyata. Semata khayalan saja. Tapi memang sosok yang aku angkat di sana ada kemiripan.
Tentu saja aku rindu pada Mulyadi Prabangkara. Dia guru lukisku ketika aku SMP di SMPK Don Bosco, Gringging Kediri Jawa Timur sekitar tahun 1986 - 1989. Pak Mul, aku menyebutnya demikian, mendampingiku dalam berbagai lomba yang saat itu selalu aku ikuti khususnya Porseni dan 17-an. Hingga tingkat propinsi, aku ditemani hingga Surabaya. Beberapa kali juara, biasanya Pak Mul akan tersenyum memberi dorongan padaku. Pernah juga kecewa berat pada juri ketika aku hanya memenangkan juara II, tingkat kabupaten. Pak Mul protes kepada para juri minta ditunjukkan hasil karya para juara untuk dibandingkan. Menurutnya gambarku lebih bagus. Terlebih saat itu Pak Mul sudah mempelajari hasil ketika ikut lomba hingga tingkat propinsi bahwa ruang yang lebar dalam sudut pandang lukisan sangat dipertimbangkan sebagai lukisan yang sempurna. Dulunya, aku selalu melukis hanya sudut-sudut kecil, yang dirasa unik. Hanya sudut-sudut tertentu. Nah, untuk pertamakalinya dalam lomba itulah aku bekerja sangat keras membuat landscape yang lebar untuk dituangkan dalam kertas. Kerja yang sangat berat rupanya hanya dapat juara II. Dan juga dipenuhi orang-orang yang bergerak di dalam lukisan itu. Dan hanya dapat juara II!!! Duhai, Pak Mul-ku sayang sangat kecewa. Lebih kecewa daripada aku, aku kira. Walau sepanjang jalan aku diboncengnya dengan motor pelan-pelan dengan hiburan yang lembut manis. Bahwa aku harus semangat. Maju terus. Sepertinya hiburan itu juga diperuntukkan bagi dirinya sendiri.
Berbagai teknik melukis memakai cat air aku pelajari darinya. Dan sedikit teknik melukis cat minyak di atas kanvas. Padahal Pak Mul ini spesialis cat minyak dengan obyek wajah orang. Hanya sekilas aku pelajari tentang ini. Aku berharap bisa nyambung lagi untuk belajar lanjutan. Tapi setelah tahun 1996-an aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Hingga kini tidak lagi bertemu. Beberapa kali nitip pesan lewat saudara-saudara, juga tidak ada yang tahu informasi yang jelas tentang Pak Mul. Dimana dia?
Saat ini aku tidak pernah melukis lagi. Tapi aku berharap suatu ketika aku akan dapat kesempatan untuk melukis lagi. Lebih baik jika bersama dengan Mulyadi Prabangkara. Guru lukis satu-satunya selain ibu dan bapakku. Dimana dia?
No comments:
Post a Comment