Wednesday, November 05, 2008

George

Ini foto mereka saat anteng, diem, asyik bermain dengan pasir dan ombak pantai Kalianda Resort.

Aku sudah terbiasa mendengar Albert dan Bernard berisik luar biasa hingga seperti kapal pecah seluruh rumah. Dari ruang tamu, kamar, dapur, kamar mandi, halaman, semua jadi ajang permainan mereka yang kadang-kadang keterlaluan tidak aku mengerti sebagai ibunya. Bagaimana mungkin bisa bertengkar seolah akan bermusuhan seumur hidup hingga lebam kaki tangan mereka, sama-sama menangis atau tidak mau bertegur sapa. Tapi sedetik kemudian mereka sudah saling berpelukan asyik berkasak-kusuk membuat rencana bersama. Lalu muncul permainan aneh-aneh. Astaga. Dan tidak ada satu barang pun yang bisa lepas dari perebutan. Apapun menjadi asyik kalau rebutan lebih dahulu. Bantal, guling, piring, kursi, bahkan pipiku, duduk di kanan atau kiriku, ... apapun!
Tapi aku paling tidak tahan jika mereka berisik di atas motor. Seperti beberapa hari yang lalu, dari rumah mereka sudah ribut antara siapa yang harus mematikan televisi. Lalu ribut dengan sabuk. Yang mana yang harus dipakai oleh siapa. Setelah itu akur di atas sadel Mio dengan rapi manis berseragam sekolah. Dengan tanda salib yang khusyuk di depan rumah. Tak bertahan lama. Usai bunderan Raden Intan mereka melihat monyet nyengir asimetris (hehehe...kok inget diri sendiri ya. Dulu Ines, Gatot dkk sering ngolok aku si bibir asimetris. Tapi tentu lebih seksi dibanding si monyet iklan).
"Jos...!!!" Mereka berdua teriak bersamaan.
Aduh apaan sih? Aku rem motor mendadak, melotot pada mereka.
"Ada apa?"
"Itu si Jos, bu."
"Jos siapa?"
"Jos, monyet yang pintar itu." Si kecil menjelaskan sambil menunjuk papan iklan monyet. Oh, film Curious George! Tanpa kata aku gas motor. Dongkol berat.
"Jos, satu!!!"
"Dua!!"
"Sepuluh!!!"
Mereka berdua ribut menghitung si George yang dipasang di papan-papan selanjutnya yang rupanya baru dipasang hari itu berderet hingga Tanjungkarang. Tangan-tangan ruwet ke kanan kiri. Kepala menoleh sana sini. Kaki saling sepak mengaku yang paling benar menghitung. Saling bantah, saling hitung.
"Kenapa berhenti, bu?" Aduh pengin njitak kepala mereka berdua.
"Kalau kalian tidak bisa diam, ibu sulit nyetir. Bisa kecelakaan. Kita sudah terlambat."
"Nah, diem, dik."
"Mas Abot yang mulai duluan."
"Kamu!"
"Kamu!"
Ah, aku tinggal tidur saja wis. Capek deh...

1 comment:

  1. Daku tidak bisa membayangkan betapa lucunya suasana waktu dirimu menghardik Albet dan Bernad dengan kalimat "Ah, aku tinggal tidur saja wis. Capek deh..."

    Jengkel tapi seneng ya Mbak?

    ReplyDelete