Friday, November 29, 2019

Perjalanan ke Agats (2): Lampu Kuning untuk Ketahanan Pangan di Asmat

Bersama para ibu mengolah ikan menjadi abon.

Memberi petunjuk untuk membuat kue telur gabus.

Foto bareng dunggg...

Foto bareng lagi.

Hasil olahan ikan duri dan sagu. Abon ikan dan telur gabus.
Saat pelatihan kok ada tukang sayur lewat. Dicekrek dulu. Ada tahu, tempe, kerupuk dan sayuran. 

Kangkung, okra merah, terong, cabai dll di halaman Pak Sarimin, PPL Dinas Pertanian Agats


Pasar Agats, macam-macam ikan. Yang paling dekat itulah ikan duri.

Daun gatal untuk menyembuhkan pegal linu. Aku ndak berani nyoba. Konon di tempel di kulit, bakal gatal sekitar 15 menit, usai itu sakit dan pegal ilang.

Singkong dan setengah pohon pisang.

Pasar Agats, aneka sayuran dan bumbu.

Kabupaten Asmat beberapa kali mengalami kejadian luar biasa busung lapar/gizi buruk yang menewaskan banyak orang. Pada tahun 2017 - 2018, puluhan anak meninggal karenanya dan ratusan menderita campak. Saat aku datang ke Agats, hal ini menjadi keprihatinan paling besar yang kurasakan. Okeyyyy, aku sama sekali tak kekuarangan makanan. Panitia menjamuku (bersama tamu-tamu lain) dengan makanan beraneka jenis. Tiap kali makan selalu tersedia cukup nasi, ubi-ubian, pisang rebus, roti, aneka lauk dan sayur. Masih ditambah dengan buah walau dalam jumlah dan jenis terbatas.

Bersama dengan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats, kami menggarap acara Pangan Lokal dalam Perspektif Gender pada Jumat 22 Nopember 2019 bertempat di Aula Kantor Bupati Asmat, diikuti para ibu dari berbagai kelompok. Dua narasumber awal adalah dari bagian gizi RSUD Agats dan dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Asmat. Aku gembira karena optimisme yang muncul dalam sesi-sesi itu.

Sesi-sesi itu memunculkan kekayaan pangan lokal yang ada di Asmat. Yang paling menonjol sebagai sumber karbohidrat adalah sagu. Sagu juga mempunyai kandungan serat yang lebih tinggi dibandingkan beras. Buah-buahan lokal juga ada. Aku disebut buah bintang dari tanaman bakau, buah kom dan pisang. Ikan ada beberapa jenis yang mudah didapatkan di sana. Sayuran tidak banyak tapi ada.

Dari situ aku sangat penasaran ingin melihat pasar yang ada di sana. Betul, ikan berbagai jenis ada. Sayuran dan buah juga banyak. Tapi kebanyakan bahan ternyata berasal dari luar daerah Agats. Dan harganya bisa berkali lipat dibanding daerah lain. Misal kemarin aku beli pisang nona (di Lampung biasa disebut pisang muli) sesisir harga Rp 20.000. Padahal di Lampung untuk ukuran yang sama bisa dapat Rp. 3000 -5000 rupiah per sisirnya.

Kebanyakan bahan pangan berasal dari Timika dan Merauke (yang mungkin juga berasal dari daerah lain sebelum masuk lewat Timika atau Merauke). Untuk masuk ke Agats, bahan-bahan itu menggunakan jalan laut (sebagian mungkin udara) dan masuk ke distrik-distrik yang ada di Asmat dengan menggunakan perahu lewat sungai-sungai.

Daerah Agats merupakan kawasan rawa yang membutuhkan perlakuan khusus jika mau menggunakan tanahnya untuk bercocok tanam. Yang kelihatan sepanjang aku berjalan di daerah ini adalah pohon-pohon bakau berbagai jenis. Buah bintang yang diambil dari beberapa jenis bakau katanya biasa dimakan dengan dicolekin ke 'royko'. Duhhh, aku penasaran sekali mengapa harus memakai micin untuk memakannya. Mungkin suatu ketika aku akan bertandang lagi ke mari dalam waktu yang panjang untuk mengeksplorenya.

Pak Sarimin seorang penyuluh dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Agats mengatakan kalau bertanam sayuran di halaman rumah dinasnya. Aku mampir sebentar ke sana untuk melihatnya. Dia menanam kangkung, okra merah, cabai rawit dan lain-lain. Menurutnya tanah yang digunakannya berasal dari tanah rawa yang dicampur dengan sekam, abu dan EM4, baru siap untuk digunakan. Aku sempat bertanya kepadanya apakah cara yang digunakan itu ditularkan ke warga, karena aku belum melihat ada warga yang memanfaatkan sekitar rumahnya untuk bertanam sayuran. Jawabannya kurang memuaskan, tapi memang aku menangkap banyak kesulitan untuk hal itu.

Aku dan Sr. Natalia memberikan sesi pendek tentang gender, lalu usai sholat Jumat kami mengajak para ibu untuk praktek membuat abon ikan duri (ikan ini banyak ditemukan di Agats, mirip ikan lele atau patin), membuat kue gabus dari tepung sagu dan membuat kue sagu mutiara. Resepnya nanti kubagikan dalam halaman terpisah, tahap per tahap sehingga bisa ditiru oleh pembaca. Sebenarnya aku juga menyiapkan resep olahan lanjut dari abon tapi tidak mempraktekkannya. Moga jadi inspirasi bagi para peserta dan mau menyebarkan ke orang-orang lain karena produk ini mudah dibuat, tahan lama dan bernilai ekonomis yang tinggi.

Banyak peristiwa terkait dengan pangan ini membuatku mengeluarkan air mata.

1. Budidaya sagu tidak optimal dilakukan padahal jenis tanaman ini merupakan bahan pangan lokal yang sudah ada sejak lama. Jenis sagu unggul yaitu sagu licin sudah mulai punah, dan harusnya mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak.

2. Masyarakat Asmat mendapatkan perlakukan yang 'miring' dalam urusan makan. Misal saat makan di kantin hotel, mereka mendapatkan cap : makan banyak, menyembunyikan lauk di bawah nasi, kalau tidak habis dianggap hanya pura-pura, dipaksa menghabiskan makan yang tidak diambilnya sendiri, tidak mendapatkan penghormatan selayaknya pembeli yang lain.

3. Orang Asmat yang mondar-mandir di sekitar Agats karena perhelatan budaya Asmat itu datang dari berbagai kampung dalam rumpun suku Asmat. Kebanyakan mereka kurus, dengan baju yang tidak layak, sepertinya tidak ada gantinya, tidak bisa mengakses air bersih dan makan secara layak,

4. Pangan mereka berasal dari luar daerah yang sangat susah transportasinya. Sekali telat atau tidak bisa datang, mereka pasti kekurangan bahan pangan. Atau kualitasnya kurang bagus. Saat aku memasak memakai telur, semua telur yang kupecah selalu cair putihnya, malah kadang sudah busuk.

5. Tidak ada budidaya memadai yang mengembangkan tanaman lokal untuk membangun ketahanan pangan. Huftt...

6. Makanan instan sangat disukai. (Aku sempat beli mi instan plus telur harganya Rp. 20 ribu.) Bahkan mereka menjual ikan atau sayur kemudian menukarnya dengan makanan instan.

Masak sendiri mi goreng plus telur dan sosis. (Sssttt.... ini jangan ditiru.)

No comments:

Post a Comment