Kalau pergi ke Palembang yang wajib dimakan adalah empek-empek. Iyalah, kota ini kan kampung halamannya empek-empek. Dalam kunjungan 1 - 4 Nopember lalu pun aku memasukkan empek-empek sebagai urutan pertama dalam daftar yang harus dikunyah. Masalahnya aku ini kan pemalu (huhuhu) sehingga antara iya dan tidak gitu saat hunting empek-empek. Pikirku: Walau tanpa upaya, asal pergi ke Palembang, pasti dapat tuh empek-empek. Hehehe.... sangat beriman kan.
Nah, untungnya salah satu timku dalam event Palembang ini adalah Cecilia Vonny, maniak empek-empek nomor wahid. "Pokoknya jangan lihat aku kalau sedang makan empek-empek." Gitu kata-katanya yang kemudian kupahami benar saat bersamanya makan empek-empek.
Hari pertama kalimat itu sudah langsung bisa terbukti. Malam, 22.00 kukira, atau lewat karena setelah sesi malam kami masih menemani panitia untuk evaluasi hari itu dan rencana hari esok. Udah sikat gigi, ganti baju, Mbak Vonny nyeletuk: Kebayang empek-empek. Aku sih langsung nyium aroma mi instan. Hihihi... jadi laperrrr.... Jadinya jari jemari Mbak Vonny yang bekerja. Dan malam itu kami makan empek-empek murahhhh... hanya Rp. 1.300 - 1.500 per bijinya. "Enakkk..." Kami berdua sepakat. Memang enak, lembut. Sembari kami mikir kok murah ya.
Hari kedua, saat makan siang, Mbak Vonny teriak dari meja lain. "Nanti malam kita diantar Pak Willy cari empek-empek." Ikuttt... Hehehe.... Hasilnya malam usai evaluasi kami keluar diantar Pak Willy, Pak Leo dan Mbak Nunuk. Dan empek-empek di pinggir jalan (seingatku tak jauh dari Ampera), uenakkk buangetttt.... Berpiring-piring pokoke.
Nah, urusan empek-empek sementara terpuaskan dengan jalan-jalan malam minggu ini hingga tengah malam walau dalam sitaasi hujan. Panitia masih membagikan oleh-oleh empek-empek untuk kami bawa pulang Lampung.Wis puas.
Nah, yang berikutnya adalah makan siang di hari minggu sambil ngantar Mbak Vonny ke bandara. Di pojok belokan bandara itulah rumah makan pindang itu berada. Aku sih awalnya biasa saja. Toh aku sering makan pindang di Lampung dengan segala rasa mulai yang tak enak, biasa-biasa atau yang enak atau enak banget.
Nah (aku suka sekali pakai kata nah, ndak usah diprotes), di pindang bandara ini ada beberapa pilihan pindang: gabus, patin, baung. (mungkin ada yang lain, tapi ndak ingat) Aku milih pindang patin, bagian badan. Sejujure sih penginnya yang kepala tapi agak tengsin kalau tangan n mulut belepotan. Kalau bagian bagian badan kan bisa makan rapi. Hehehe...
Yang tak kusangka adalah ketika tersaji, pindang ini porsi jumbo. Ikan yang besar dengan daging yang tebal. Dan segar banget ikan yang dipilih. Tak kecium aroma atau rasa amis. Kuahnya pas banget asam gurih manis pedesnya. Dengan campuran irisan nanas dan kemangi pada kuah. Pelengkapnya sambel mangga yang maknyus pas di lidah, dan lalapan segar seperti timun, kacang panjang, jengkol, pucuk mente, kemangi dan rebusan labu siam. Pak Willy menambahkan pepes gabus tempoyak. Waduhhh... ini benar-benar mantap. Enak banget. Dengan nasi sedikit saja dan minum jeruk anget tanpa gula. Makanan yang bisa diulang kalau datang lagi ke Palembang. Maknyusss....
No comments:
Post a Comment