Titik Temu bersama Dewi Nova |
(Dimuat dalam
Swara Gender edisi 69/TahunXX/Januari-Maret 2015
Akhir tahun lalu
saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia
(HAM) Internasional, 10 Desember 2014, dengan menjadi editor bagi sebuah buku
antologi puisi bertema HAM dengan judul Titik Temu. Buku ini diterbitkan oleh
Komunitas Kampoeng Jerami tepat pada hari HAM dengan melibatkan 60 penulis dari
seluruh Indonesia dan dari beragam kalangan. Buku ini telah diluncurkan dan
dibahas di Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep Jawa Timur oleh Komunitas
Kampoeng Jerami pada bulan Januari 2015. Selain itu juga dibedah dalam kegiatan
rutin Komunitas Sastra Reboan, Bulungan, Jakarta pada Pebruari lalu. Menyusul
kegiatan-kegiatan itu, dalam tahun ini beberapa agenda komunitas lain akan
menyertakan Titik Temu sebagai bahan perbincangan seperti di Tangerang, Bandung
dan Bengkulu.
Karena kebetulan
saya terlibat di dalamnya, saya hendak memakai buku ini sebagai sumber
inspirasi bagaimana martabat perempuan dimuliakan melalui tulisan-tulisan.
Memang, puisi-puisi yang ada di sana tidak semata berbicara tentang perempuan,
tapi hampir separuh dari seluruh penulisnya adalah perempuan. Sebut saja Ariany
Isnamurti, (direktur PDS HB. Jassin, Jakarta), Siti Noor Laila (anggota
komisioner Komnas HAM), Bunda Umy, Umirah Ramata, Chamelia dan beberapa teman
pekerja perempuan di Taiwan (buruh migran dari Indonesia), juga ada beberapa
aktifis sosial perempuan seperti Dewi Nova, Mariana Amirudin, Masita Riany dan
sebagainya. Selain itu ada penyair-penyair perempuan lain yang terlibat
meramaikan buku ini.
Tema-tema tentang
perempuan mau tak mau menjadi warna dalam puisi-puisi HAM sebagai sarana
penghormatan terhadap perempuan. Beberapa jelas terlihat dari judul puisinya
seperti Hak Sepatu dan Riuh (Cici Mulia Sary, penulis dan dosen di Bengkulu),
Mei-Mei : Umurnya 16 (Dewi Nova, penulis dan aktifis perempuan Tangerang
Selatan), Iyem juga Manusia (Dita Ipul, penyair dan ibu rumah tangga dari
Cilacap), Sajak Nyai Rossina dan Perempuan di Cakrawala (Edy Samudra Kertagama,
penyair senior dari Lampung), Perempuan di Ladang Jagung (Fendi Kachonk,
pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami dan penyair Madura), Gadis Kecil (Lilis Amd,
penyair dan guru di Bandung), dan sebagainya.
Bagaimana
perempuan bisa mengembang dan berkembang dalam tulisan-tulisan? Kita bisa
mengambil satu contoh puisi menarik dari buku ini. Saya memilih satu puisi yang
bersubjudul Pahala, ditulis oleh Dewi Nova, hal. 44 buku Titik Temu. Walau subjudulnya
Pahala, tapi isi puisi ini bisa dipinjam untuk memberi makna kesadaran tentang
perempuan.
Puisi tersebut
secara lengkap adalah :
Saat kau
memandangnya
ia bersinar
merasakan kasihmu
Saat kau
mendengarkannya
ia sempurna sebagai
ciptaan
Saat kau berbuat
ia tergerak
untuk saling menghidupkan
Saat perjumpaan
kita merasa
tercipta dari tanah yang sama
(Cirendeu, 19
Juli 2011)
Mudah
sekali mengaitkan puisi ini dengan perempuan apalagi mengingat penulisnya juga
seorang aktifis perempuan yang giat memberdayakan perempuan dan menyebarkan
semangat untuk kemajuan perempuan. Kita dapat memakai imajinasi untuk
melihatnya ketika mulai masuk dalam bait-baitnya yang jernih memberikan
pemahaman.
Dewi menulis di
bait pertama : Saat kau memandangnya, ia
bersinar merasakan kasihmu. Jika saya ganti ‘nya’ dengan perempuan, maka
yang muncul adalah saat kau memandang perempuan, ia bersinar merasakan kasihmu.
Bagaimana seharusnya
kita memandang perempuan? Itu dijelaskan dalam bait-bait yang berikutnya. Saat kau mendengarkannya, ia sempurna
sebagai ciptaan. Perempuan harus didengarkan, dan dia sempurna sebagai ciptaan.
Ini tidak mudah, karena sering kali perempuan dianggap sebagai ‘ciptaan level
kedua’ yang diabaikan keberadaannya. Sering tak dipandang, atau jika dipandang
akan dipandang sebelah mata saja.
Lalu di bait
ketiga, muncul gerakan yang saling melengkapi, antara pria dan perempuan. Saat kau berbuat, ia tergerak untuk saling
menghidupkan. Ini bukan sebuah simbol yang pasif, tapi gerakan itu akan
menjadi saling menghidupkan. Bukan hanya salah satu pihak saja, tapi saling
dalam perjumpaan yang sejajar. Dan di bagian akhir itulah yang menjadi ajakan
kita untuk sampai pada pemahaman bahwa memang harusnya seperti itulah, karena
semua manusia entah pria atau perempuan diciptakan dari tanah yang sama.
Bisa jadi apa
yang dimaksudkan oleh Dewi Nova saat menuliskan puisi Pahala ini berbeda dengan
cara saya memandang dan menafsirnya. Tapi puisi ini memberikan inspirasi yang
penuh akan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa melihat jenis
kelaminnya. Walau, tentu saja, dengan keterpihakan pada perempuan.
Dalam
keseluruhan buku Titik Temu, tulisan Dewi Nova hanyalah puisi yang pendek, namun
maknanya bisa tertangkap begitu dalam dan luas untuk merangkai 164 puisi yang
ada dalam buku ini. Kita tercipta dari
tanah yang sama. Begitu dikatakan Dewi. Dan saya ingin melanjutkan dalam
pemaknaannya, bahwa kita akan kembali ke tanah yang sama pula.
Jika dikaitkan
dengan situasi masa kini, kemajuan perempuan seharusnya diikat dalam penumbuhan
kesadaran-kesadaran. Bukan hanya kesadaran para perempuan yang setahap-tahap
maju dalam berbagai aspek, namun juga kesadaran pihak-pihak lain. Saya menyebutnya
pihak-pihak lain, bukan hanya satu pihak pria, melainkan juga kelompok-kelompok
masyarakat yang memberi pengaruh pada pandangan terhadap perempuan. Di dalamnya
ada kelompok pemerintah, agamawan, organisasi masyarakat, partai politik dan
sebagainya.
Kesadaran yang
paling dasar bisa diambil dari kalimat Dewi, kita tercipta dari tanah yang sama, sebagai dasar dari penghormatan
terhadap manusia tanpa terkecuali. Kesadaran itu yang akan diikuti oleh
kesadaran-kesadaran lain seiring perkembangan kehidupan. Mungkin akan berbeda
pada setiap orang tergantung pengalaman hidupnya masing-masing. Secara umum, kesadaran
akan kesamaan martabat manusia yang memang diciptakan dari dan oleh bahan yang
sama, bisa menghilangkan bentuk-bentuk pelecehan terhadap perempuan. Tidak
serta merta, tapi saya yakin akan terus berjalan jika gerakan-gerakan
selanjutnya dilakukan dan diwujudkan dengan sadar oleh perempuan-perempuan dan
juga bersama pihak-pihak lain.
Begitu pun, buku
Titik Temu ini adalah salah satu bagian kecil dalam proses penyebaran kesadaran
itu. Seperti dikatakan oleh Siti Noor Laila, Komnas HAM dalam kata sambutannya
dalam buku ini,”Berbagai peraturan tidaklah cukup, diperlukan pendekatan
melalui budaya, nilai-nilai anti kekerasan dan dialog hati untuk membangun
bangsa yang bermartabat.”
Atau seperti
yang diungkap Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami di bagian awal
kata pengantarnya untuk buku ini,”Bahwa setiap orang memiliki keunikan dan
perbedaan yang patut dijunjung sebagai warna beragam seperti keindahan
pelangi.” Kesadaran itulah yang sedang dipupuk sekarang ini. Keunikan dan
perbedaan yang dimiliki oleh manusia pria dan perempuan akan menjadi kesempurnaan
yang indah dan saling melengkapi. *** (Penulis, Yuli Nugrahani
adalah pelaksana harian Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang,
Editor Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami,
komunitas yang fokus pada penulisan dan pelatihan penulisan di Indonesia.)
No comments:
Post a Comment