Tuesday, April 28, 2015

TERCIPTA DARI TANAH YANG SAMA


Titik Temu bersama Dewi Nova

 (Dimuat dalam Swara Gender edisi 69/TahunXX/Januari-Maret 2015

Akhir tahun lalu saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember 2014, dengan menjadi editor bagi sebuah buku antologi puisi bertema HAM dengan judul Titik Temu. Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami tepat pada hari HAM dengan melibatkan 60 penulis dari seluruh Indonesia dan dari beragam kalangan. Buku ini telah diluncurkan dan dibahas di Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep Jawa Timur oleh Komunitas Kampoeng Jerami pada bulan Januari 2015. Selain itu juga dibedah dalam kegiatan rutin Komunitas Sastra Reboan, Bulungan, Jakarta pada Pebruari lalu. Menyusul kegiatan-kegiatan itu, dalam tahun ini beberapa agenda komunitas lain akan menyertakan Titik Temu sebagai bahan perbincangan seperti di Tangerang, Bandung dan Bengkulu.

Karena kebetulan saya terlibat di dalamnya, saya hendak memakai buku ini sebagai sumber inspirasi bagaimana martabat perempuan dimuliakan melalui tulisan-tulisan. Memang, puisi-puisi yang ada di sana tidak semata berbicara tentang perempuan, tapi hampir separuh dari seluruh penulisnya adalah perempuan. Sebut saja Ariany Isnamurti, (direktur PDS HB. Jassin, Jakarta), Siti Noor Laila (anggota komisioner Komnas HAM), Bunda Umy, Umirah Ramata, Chamelia dan beberapa teman pekerja perempuan di Taiwan (buruh migran dari Indonesia), juga ada beberapa aktifis sosial perempuan seperti Dewi Nova, Mariana Amirudin, Masita Riany dan sebagainya. Selain itu ada penyair-penyair perempuan lain yang terlibat meramaikan buku ini.

Tema-tema tentang perempuan mau tak mau menjadi warna dalam puisi-puisi HAM sebagai sarana penghormatan terhadap perempuan. Beberapa jelas terlihat dari judul puisinya seperti Hak Sepatu dan Riuh (Cici Mulia Sary, penulis dan dosen di Bengkulu), Mei-Mei : Umurnya 16 (Dewi Nova, penulis dan aktifis perempuan Tangerang Selatan), Iyem juga Manusia (Dita Ipul, penyair dan ibu rumah tangga dari Cilacap), Sajak Nyai Rossina dan Perempuan di Cakrawala (Edy Samudra Kertagama, penyair senior dari Lampung), Perempuan di Ladang Jagung (Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami dan penyair Madura), Gadis Kecil (Lilis Amd, penyair dan guru di Bandung), dan sebagainya.

Bagaimana perempuan bisa mengembang dan berkembang dalam tulisan-tulisan? Kita bisa mengambil satu contoh puisi menarik dari buku ini. Saya memilih satu puisi yang bersubjudul Pahala, ditulis oleh Dewi Nova, hal. 44 buku Titik Temu. Walau subjudulnya Pahala, tapi isi puisi ini bisa dipinjam untuk memberi makna kesadaran tentang perempuan.

Puisi tersebut secara lengkap adalah :

Saat kau memandangnya
ia bersinar merasakan kasihmu

Saat kau mendengarkannya
ia sempurna sebagai ciptaan

Saat kau berbuat
ia tergerak untuk saling menghidupkan

Saat perjumpaan
kita merasa tercipta dari tanah yang sama

(Cirendeu, 19 Juli 2011)

            Mudah sekali mengaitkan puisi ini dengan perempuan apalagi mengingat penulisnya juga seorang aktifis perempuan yang giat memberdayakan perempuan dan menyebarkan semangat untuk kemajuan perempuan. Kita dapat memakai imajinasi untuk melihatnya ketika mulai masuk dalam bait-baitnya yang jernih memberikan pemahaman.

Dewi menulis di bait pertama : Saat kau memandangnya, ia bersinar merasakan kasihmu. Jika saya ganti ‘nya’ dengan perempuan, maka yang muncul adalah saat kau memandang perempuan, ia bersinar merasakan kasihmu.

Bagaimana seharusnya kita memandang perempuan? Itu dijelaskan dalam bait-bait yang berikutnya. Saat kau mendengarkannya, ia sempurna sebagai ciptaan. Perempuan harus didengarkan, dan dia sempurna sebagai ciptaan. Ini tidak mudah, karena sering kali perempuan dianggap sebagai ‘ciptaan level kedua’ yang diabaikan keberadaannya. Sering tak dipandang, atau jika dipandang akan dipandang sebelah mata saja.

Lalu di bait ketiga, muncul gerakan yang saling melengkapi, antara pria dan perempuan. Saat kau berbuat, ia tergerak untuk saling menghidupkan. Ini bukan sebuah simbol yang pasif, tapi gerakan itu akan menjadi saling menghidupkan. Bukan hanya salah satu pihak saja, tapi saling dalam perjumpaan yang sejajar. Dan di bagian akhir itulah yang menjadi ajakan kita untuk sampai pada pemahaman bahwa memang harusnya seperti itulah, karena semua manusia entah pria atau perempuan diciptakan dari tanah yang sama.

Bisa jadi apa yang dimaksudkan oleh Dewi Nova saat menuliskan puisi Pahala ini berbeda dengan cara saya memandang dan menafsirnya. Tapi puisi ini memberikan inspirasi yang penuh akan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa melihat jenis kelaminnya. Walau, tentu saja, dengan keterpihakan pada perempuan.

Dalam keseluruhan buku Titik Temu, tulisan Dewi Nova hanyalah puisi yang pendek, namun maknanya bisa tertangkap begitu dalam dan luas untuk merangkai 164 puisi yang ada dalam buku ini. Kita tercipta dari tanah yang sama. Begitu dikatakan Dewi. Dan saya ingin melanjutkan dalam pemaknaannya, bahwa kita akan kembali ke tanah yang sama pula.

Jika dikaitkan dengan situasi masa kini, kemajuan perempuan seharusnya diikat dalam penumbuhan kesadaran-kesadaran. Bukan hanya kesadaran para perempuan yang setahap-tahap maju dalam berbagai aspek, namun juga kesadaran pihak-pihak lain. Saya menyebutnya pihak-pihak lain, bukan hanya satu pihak pria, melainkan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memberi pengaruh pada pandangan terhadap perempuan. Di dalamnya ada kelompok pemerintah, agamawan, organisasi masyarakat, partai politik dan sebagainya.

Kesadaran yang paling dasar bisa diambil dari kalimat Dewi, kita tercipta dari tanah yang sama, sebagai dasar dari penghormatan terhadap manusia tanpa terkecuali. Kesadaran itu yang akan diikuti oleh kesadaran-kesadaran lain seiring perkembangan kehidupan. Mungkin akan berbeda pada setiap orang tergantung pengalaman hidupnya masing-masing. Secara umum, kesadaran akan kesamaan martabat manusia yang memang diciptakan dari dan oleh bahan yang sama, bisa menghilangkan bentuk-bentuk pelecehan terhadap perempuan. Tidak serta merta, tapi saya yakin akan terus berjalan jika gerakan-gerakan selanjutnya dilakukan dan diwujudkan dengan sadar oleh perempuan-perempuan dan juga bersama pihak-pihak lain.

Begitu pun, buku Titik Temu ini adalah salah satu bagian kecil dalam proses penyebaran kesadaran itu. Seperti dikatakan oleh Siti Noor Laila, Komnas HAM dalam kata sambutannya dalam buku ini,”Berbagai peraturan tidaklah cukup, diperlukan pendekatan melalui budaya, nilai-nilai anti kekerasan dan dialog hati untuk membangun bangsa yang bermartabat.”

Atau seperti yang diungkap Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami di bagian awal kata pengantarnya untuk buku ini,”Bahwa setiap orang memiliki keunikan dan perbedaan yang patut dijunjung sebagai warna beragam seperti keindahan pelangi.” Kesadaran itulah yang sedang dipupuk sekarang ini. Keunikan dan perbedaan yang dimiliki oleh manusia pria dan perempuan akan menjadi kesempurnaan yang indah dan saling melengkapi. *** (Penulis, Yuli Nugrahani adalah pelaksana harian Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang, Editor Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami, komunitas yang fokus pada penulisan dan pelatihan penulisan di Indonesia.)

No comments:

Post a Comment