Friday, March 08, 2019

Makanan dan Senyuman

Masa puasa sudah dimulai kemarin, Rabu 6 Maret 2019. Akan berakhir pada Sabtu, saat Paskah nanti, 40 hari lagi. Tanda abu di dahi yang kami terima sekeluarga pagi-pagi pada Rabu kemarin mengingatkan bahwa selama 40 bulan ini tak ada daging ayam, sapi atau apa pun. Juga ikan-ikan kesukaan yang berdaging tebal. Boleh makan ikan yang kecil, macam teri, ikan asin jenis yang kecil, ikan laut yang kecil (krisi kecil, kembung kecil, pokoke yang kecil masih boleh sesekali). Biasanya ya tahu, tempe, jamur, jagung, kentang dll sejenis itu plus sayur mayur yang kumasak beraneka jenis. Mulai dari bayi, Albert dan Bernard tahu tradisi yang kami bangun bersama dan sejauh ini mereka menikmatinya.

"Gimana kalau ada yang ngasih ayam goreng?"

"Makan saja, jangan ditolak. Kalau ada yang ngasih ya dimakan saja."

Gitu. Tapi jangan meminta. Makan yang ada, dan jangan membuang atau menolak makanan.

"Nah, ikut bapak sembayangan atau kondangan. Boleh makan apa pun yang di sajikan."

Anak-anak lebih sering menolak tawaran semacam itu. Malulah. Hehehe... Makan sederhana selama 40 hari membuat kami lebih menghargai makanan, binatang dan orang lain. Percaya deh.

Pagi ini aku masak sayur labu dan telur goreng, plus kerupuk. Masih ada pisang dan kacang rebus. Aku bawa pisang dan kacang rebus itu dalam tasku sebagai bekal, dan perjumpaan dengan dua orang 'gelandangan' di jalan membuatku menulis judul di atas, makanan dan senyuman.

Usai melewati Rumah Sakit Abdul Muluk aku melihat seorang bapak yang sering kulihat tiap pagi berjalan mondar-mandir sekitar Jalan Teuku Umar. Dia sedang mengorek-ngorek sampah dan mengambil beberapa sisa makanan. Dia memakannya! Hati dan otakku terlalu lambat untuk mengingat pisang dan kacang rebus di tasku, makanan yang bisa sangat berguna baginya. Aku menyesali kelambanan hatiku sehingga tidak memutar balik juga untuk berbagi dengannya hingga kemudian di Jalan Raden Intan ada seorang ibu, dengan kantong plastik berisi beberapa jenis makanan yang tercampur baur. Terlihat jelas itu bukan makanan yang dipacking rapi oleh penjual atau olehnya. Hanya dijejalkan begitu saja. Bajunya berantakan, dengan kerudung yang asal saja diletakkan di kepalanya. Perempuan itu menatapku dan tersenyum. Huft.

Dua kata itu nancap di hatiku hingga sekarang. Makanan dan senyuman.

No comments:

Post a Comment