Dulu saat aku masih gadis, saat tinggal di Malang untuk kuliah, aku sering puasa. Motivasi utamanya sih jelas banget: supaya bisa ngirit secara bermartabat. Hehehe... Saat itu aku melakukan puasa kapan saja. Senin - Kamis, Selasa Rabu, Jumat Sabtu, Minggu, atau sepanjang minggu. Caranya macam-macam.
1. Dengan nganyep, makan makanan tanpa bumbu. Aku beli nasi putih, kumakan dengan tahu atau tempe rebus tanpa garam dan bumbu apa pun. Kadang memakai lontong, tanpa lauk apa pun. Kadang tambah telur rebus, dedaunan rebus, dan lain-lain. Kadang hanya nasi atau lontong dengan kacang goreng. Kacang goreng itu bisa memberikan rasa walau tanpa garam.
2. Dengan tidak makan dari jam 6 pagi hingga 6 sore. Selebihnya makan ala kadarnya yang bisa kujangkau, bisa roti murah meriah, biskuit, nasi murah yang ada di sekitar kost, atau sekadar susu/kopi/teh manis. Minum air putih sebanyak-banyaknya tanpa batas.
3. Dengan ngebleng. Tidak makan sama sekali dari jam 6 sore sampai jam sore hari berikutnya. Ini pun kulakukan tanpa meninggalkan air putih. Jadi isi perutku adalah air putih yang kuminum saat mulai lapar. Aku bisa kuat ngebleng satu hari, lalu makan seharian, ngebleng lagi, dan seterusnya.
Nah, setelah menikah, puasa tak bisa kulakukan lagi sesering itu. Paling hanya saat prapaskah selama 40 hari, dengan cara makan secukupnya tidak sampai kenyang, mengurangi nasi, dan pantang makan daging apa pun kecuali ikan murahan ukuran kecil dan pemberian. Nah, pemberian apa pun tak ingin kutolak. Diberi apapun pasti kuterima. Ini lebih menguat sekarang ini. Tidak menolak apa pun ini juga termasuk tidak menolak orang, tidak menolak peristiwa apa pun. Jadi bukan hanya soal makanan atau materi tertentu, tapi soal tidak menolak ini kumaknai lebih dalam sebagai latihan untuk sampai pada sikap pasrah, iklas, rela.
Memang sih belum pada tataran yang ingin kucapai karena aku sering menolak hal-hal tidak aku suka (wajar tapi karena ini tahapan belajar mestinya tidak begitu). Ini juga tentang tidak menolak untuk terus berbuat baik. Jangan artikan bahwa aku tidak menolak hal-hal jahat atau perilaku buruk, justru sebaliknya. Ukurannya adalah Sang Sumber sendiri. Nah, ini urusan yang lebih rumit, tapi aku yakin aku bisa mengembangkan kepekaan untuk mengetahui ukuran Sang Sumber. Aku yakin.
Selain puasa 40 hari pada masa prapaskah, aku kadang-kadang ikut puasa ramadhan. Ini mudah karena suasana di sekitarku, sekitar rumahku, sekitar lingkungan pergaulanku pasti dalam suasana puasa. Jadi ketika bersama teman-temanku yang berpuasa aku pun ikut berpuasa, ikut berbuka puasa, ikut mencari takjil dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment