Ini sudah dimulai dari kemarin, bahkan kemarin lagi, dan lagi. Saat siang lalu senja, boleh saja kuterima. Suaranya tersamar dengan seluruh hiruk pikuk jalanan dan juga teriakan anak-anakku. Tapi ketika jalanan mulai terlelap dan anak-anakku mulai masuk ke alam mimpi, suaranya yang tak berhenti itu sungguh menjengkelkan. Aku sama sekali tak bisa memejamkan mata, terseret gelombangnya.
Awalnya aku mengira suara itu adalah alunan keluhan. Seperti sayup-sayup berdendang di sela-sela gerimis yang tak ada sela. Kadang-kadang aku malah bisa menganggapnya sebagai lagu ninabobo yang tak tahu waktu. Mengalun, mengayun, mengalir tiada henti, kadang dalam suara rendah, kadang bernada tinggi.
Namun suaranya sama sekali bukan lagu. Suatu saat berubah menjadi lengkingan, lalu raungan, dan di malam yang senyap, suara itu bukan lagi alunan, tapi menjadi sentakan, hentakan. Jadi aku memutuskan untuk mendatanginya, memastikan apa yang dia tangisi berhari-hari, tanpa henti di seluruh putaran waktu, di dalam rumahnya sendiri.
Saat aku datang, rumahnya terkunci. Bunga kemuning samping rumahnya sudah merontokkan seluruh kelopaknya, dan bibit-bibit mawar di halaman depan seperti tonggak-tonggak penuh duri-duri, tanpa daun tanpa bunga. Aku sudah hendak mengetuk pintunya, ketika perempuan itu, ternyata perempuanlah suara itu, sedang mengencangkan raungannya. Suaranya serak dan basah. Ah, hentikan sebentar, perempuan. Hentikan sebentar tangismu itu. Hatiku berbicara, tapi suaraku tak muncul, termangu di depan pintunya, ikut dalam tangisannya yang pilu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku sama sekali tak menduga dia akan membuka pintu, dan berdiri persis di depanku. Suaranya saat berbicara sama sekali bukan suara manusia, walau dia tetaplah perempuan. Mungkin sama sekali bukan suara, tapi semacam erangan dalam nada bariton, yang sangat dalam dan sangat basah.
Matanya adalah mata tercekung yang pernah kulihat. Begitu basah tapi tanpa kilat. Lampu jalanan membantuku melihat titik-titik air di seluruh wajahnya, juga lengannya, juga jemarinya. Matanya, ya, matanya, adalah sumur tergelap dengan aliran yang tak habis-habisnya. Lihat, bahkan saat kemarahan membungkus, pun sudut-sudut matanya mengalirkan kedukaan.
Aku hendak mengatakan kalau aku terganggu oleh suara tangisannya, tapi matanya tak mengijinkan aku bersuara. Tubuhku gemetar merasakan kehadirannya di depanku dengan rongga-rongga seluruh tubuhnya yang rapuh. Dia memandangku dengan tangisan. "Aku kehilangan seluruh pagi yang harusnya kumiliki! Kau pikir aku tak boleh menangisinya?"
Perempuan itu membalikkan badan. Pundaknya lapuk dalam lengkung, dan sepasang betisnya yang timpang menyeret tubuhnya kembali ke balik pintu. "Kau pun akan kekal dalam duka kalau kau kehilangan pagimu!" Telunjuknya menudingku sebelum dia membanting pintu, kembali terkunci.
Lalu sedu sedan itu kembali melagu. Sesekali ada lengkingan dan raungan. Oh, perempuan, betapa besar hatimu terkoyak. Kemana perginya pagimu? Aku basah kuyup di terasnya, dalam gerimis yang tiba-tiba menjadi hujan lebat.
No comments:
Post a Comment