Thursday, September 19, 2013

A part of Sri Lanka 5 : The Remaining Victims

(Kisah sebelumnya)


Perang selalu memunculkan korban. Tidak hanya saat peristiwa itu terjadi tapi juga lama setelahnya. Peristiwa konflik suku Tamil terjadi 3 atau 4 yang lalu. Saat itu tak terhitung orang yang meninggal atau hilang.

Namun korban dari peristiwa kekerasan itu bukan hanya mereka yang hilang atau meninggal. Hingga kini korban-korban yang selanjutnya terus ada. Para perempuan di Mannar, di bagian Utara Sri Lanka, menunjukkan hal itu padaku. Kunjungan di sana terasa sangat mencekam di hatiku, ah tidak, juga di jiwaku. Setiap kali mereka berbicara tentang orang-orang yang dikasihinya, yang tidak ketahuan bagaimana nasibnya, aku semakin terpaut pada mereka. Pelukanku tak akan pernah mencukupi bagi mereka.

"Anakku pergi ke warung untuk membeli sesuatu pada hari itu. Dan dia tak pernah kembali hingga kini." Kisah seorang ibu. Tampak keras wajahnya menahan air mata sambil memegang erat foto anaknya itu. Itulah salah satu tanda bahwa anaknya pernah dilahirkannya dan pernah hidup sebagai anaknya. Dan dekat kami berbincang, di situlah peristiwa itu terjadi.

Perempuan yang lain tidak bisa menahan air mata. Duduk di pojok agak tersembunyi di sebelah Fr. Nehru, dia berkisah dengan suara pelan. Aku mendengar sekilas Fr. Nehru mengatakan lembut,"Silakan datang ke pasturan jika ada masalah." Aku yakin suara lembut pastur itu cukup meredakan air matanya. Perempuan itu kehilangan suami dan dia bersama anak-anaknya tinggal di keluarga suaminya. Keluarganya sendiri jauh dari tempat tinggalnya itu.

Itu situasi yang sulit. Bagaimana mereka hidup dengan kuat dalam ketidakpastian itu? Mereka masih punya pengharapan bahwa suatu ketika akan ada berita tentang keluarganya yang hilang, entah mati atau hidup. Sejauh ini mereka berjuang keras mengolah air mata dan bertahan hidup dengan tenaga yang tersisa.

Lihat! Perang hanya akan memunculkan korban, dan dendam, dan kemarahan, dan kesedihan, dan terus menerus. Sangat mahal harga untuk penyembuhannya. Kunjunganku, telingaku, pelukanku, empatiku, sama sekali tidak cukup. Tangisan mereka minta kepedulian yang lebih, tindakan yang lebih. *** (Bersambung)

No comments:

Post a Comment