Tuesday, November 12, 2013

Lampost, 10 Nopember 2013

Kisah yang Rapi dari Pencerita yang Baik

Data buku
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
Kuntowijoyo
Kompas, Jakarta
I, September 2013
xviii + 150 hlm.


CERITA pendek ang termaktub dalam kumpulan cerpen ini merupakan cara komunikasi Kuntowijoyo yang mudah sekali menggelitik perasaan para pembacanya. Bahasa yang digunakan sangat lugas, mengalir dengan terus terang apa adanya. Sebelum sampai pada kedalamannya, orang yang membaca dengan mudah dapat terkecoh menyangka tulisan ini semacam kisah nyata yang dialami sendiri oleh penulis, terlebih di beberapa tulisan, Kuntowijoyo, sang penulis, mengungkapkan jati dirinya.

Dalam cerpen Pistol Perdamaian, Kuntowijoyo memakai gaya bertutur dari sudut pandang orang pertama: saya. Di salah satu paragraf bagian terakhirnya tokoh saya ini diungkap sebagai seorang ahli sejarah, seperti si Kuntowijoyo sendiri yang memang seorang ahli sejarah, pengajar sejarah dan menelurkan banyak buku ilmu sejarah.

“Dalam rapat kelurahan, setelah soal KTP dan PBB selesai dibicarakan, Pak Lurah membuka kertas koran dan berkata tanpa interupsi. ‘Sebaiknya barang ini saya serahkan pada teman kita yang ahli sejarah.’ Dia memberikan bungkusan itu pada saya, sebuah pistol, masya Allah. Jadi, pistol yang saya buang ke kelurahan juga jatuhnya.” (hlm. 24)

Hal yang sama juga muncul di cerpen-cerpen lain seperti di cerpen paling akhir dalam buku ini, RT 03 RW 22 Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana. Di paragraf kedua halaman 140, ditulis identitas Kuntowijoyo sendiri, walau hanya sedikit. “Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya ketua RT berijazah S-3 dari universitas papan atas di Amerika.”

Tentu saja ungkapan-ungkapan itu tidak bisa dianggap sebagai fakta karena memang ke-15 tulisan itu dibuat sebagai cerpen, fiksi. Jadi semuanya memang karangan semata dan bukan kisah nyata, walau sang penulis memang merupakan ahli sejarah, doktor sejarah lulusan universitas terkenal di Amerika Serikat dan mengajar di universitas terkemuka di Indonesia.

Namun, ketika kita mulai mengulik sedikit kehidupannya melalui sumber-sumber di berbagai tempat mau tidak mau pembaca akan mengaitkan Kuntowijoyo dengan peran lain yang dimilikinya di dalam kampus, masyarakat khususnya Islam, dan negara. Pembaca tidak bisa lagi mendirikannya hanya semata cerpenis atau novelis. Di pengantar buku ini, Bakdi Soemanto menulis soal apakah Profesor Doktor Kuntowijoyo ini seorang sejarawan yang menulis fiksi, atau dia adalah penulis fiksi yang suka sejarah.

Dia memang seorang akademisi, pakar sejarah, sangat lazim Kuntowijoyo berpikir dan bertutur secara ilmiah. Dia telah membuktikan itu dengan menulis banyak sekali dan tulisan sejarah, misalnya Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985) atau Pengantar Ilmu Sejarah (1995).

Buku ini berisi 15 judul cerpen yang pernah muncul di Kompas pada 1990—2000-an. Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi yang menjadi judul buku ini merupakan judul cerpen yang ke-14 dalam buku terpasang di halaman 125. Namun, bisa dikatakan judul ini membingkai seluruh tema cerpen yang ada dalam dalam buku ini. Dan baik juga jika judul ini menjadi ajakan atau anjuran bagi para calon politisi. Sederhananya, baca dulu buku ini sebelum menjadi calon politisi untuk kemudian menjadi politisi.

Bagaimana pembaca dapat menangkap pesan yang disampaikan Kuntowijoyo lewat cerpen-cerpennya? Inilah keunikan yang berikutnya. Judul pertama yang dipasang dalam buku ini, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, menyodorkan paragraf pertama dengan sebuah pertanyaan setengah meledek, ”Mau jadi anggota DPR? Boleh, asal dengarkan cerita ini.” Paragraf pendek, dengan dua kalimat pendek.

Setelah itu, Kuntowijoyo sama sekali tidak menyinggung tokoh tentang anggota DPR atau calon anggota DPR, tetapi kisah tentang Kromo, seorang laki-laki berbau busuk, yang tinggal di sebuah desa, yang terusir dari kampungnya karena bau busuknya itu, lalu konon menikah dengan peri, dan saat mati berbau harum. Baru kemudian di bagian akhir kisah ini, Kuntowijoyo kembali menarik pembaca supaya merenung untuk menangkap pesannya dalam satu paragraf pendek, lagi. “Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan disia-siakan orang lemah, dia akan bekerja sama meski dengan siluman sekalipun.”

Kuntowijoyo menawarkan kaca pembesar untuk melihat detail kemanusiaan dalam sekup yang sangat kecil, kadang dianggap remeh. Mudah disetujui bahwa seorang pemimpin harus menyiapkan syarat itu sebelum menjadi pemimpin. Mereka dituntut untuk jeli, peka terhadap situasi orang-orang biasa, sederhana, yang dianggap lemah dan seluruh dinamika yang melingkupinya. Mata dan hati Kuntowijoyo mampu menangkap hal-hal remeh temeh yang terjadi di keseharian, khususnya di lingkungannya sendiri, entah di Jawa atau saat dia tinggal di Amerika Serikat, untuk kemudian mengolahnya menjadi cerpen.

Kuntowijoyo memang salah satu penulis terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara.

Yuli Nugrahani, cerpenis.

No comments:

Post a Comment