Lampost, 10 Nopember 2013
Kisah yang Rapi dari Pencerita yang Baik
Data buku
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
Kuntowijoyo
Kompas, Jakarta
I, September 2013
xviii + 150 hlm.
CERITA pendek ang termaktub dalam kumpulan cerpen ini merupakan cara
komunikasi Kuntowijoyo yang mudah sekali menggelitik perasaan para
pembacanya. Bahasa yang digunakan sangat lugas, mengalir dengan terus
terang apa adanya. Sebelum sampai pada kedalamannya, orang yang membaca
dengan mudah dapat terkecoh menyangka tulisan ini semacam kisah nyata
yang dialami sendiri oleh penulis, terlebih di beberapa tulisan,
Kuntowijoyo, sang penulis, mengungkapkan jati dirinya.
Dalam
cerpen Pistol Perdamaian, Kuntowijoyo memakai gaya bertutur dari sudut
pandang orang pertama: saya. Di salah satu paragraf bagian terakhirnya
tokoh saya ini diungkap sebagai seorang ahli sejarah, seperti si
Kuntowijoyo sendiri yang memang seorang ahli sejarah, pengajar sejarah
dan menelurkan banyak buku ilmu sejarah.
“Dalam rapat
kelurahan, setelah soal KTP dan PBB selesai dibicarakan, Pak Lurah
membuka kertas koran dan berkata tanpa interupsi. ‘Sebaiknya barang ini
saya serahkan pada teman kita yang ahli sejarah.’ Dia memberikan
bungkusan itu pada saya, sebuah pistol, masya Allah. Jadi, pistol yang
saya buang ke kelurahan juga jatuhnya.” (hlm. 24)
Hal yang sama
juga muncul di cerpen-cerpen lain seperti di cerpen paling akhir dalam
buku ini, RT 03 RW 22 Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana. Di paragraf
kedua halaman 140, ditulis identitas Kuntowijoyo sendiri, walau hanya
sedikit. “Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya ketua
RT berijazah S-3 dari universitas papan atas di Amerika.”
Tentu
saja ungkapan-ungkapan itu tidak bisa dianggap sebagai fakta karena
memang ke-15 tulisan itu dibuat sebagai cerpen, fiksi. Jadi semuanya
memang karangan semata dan bukan kisah nyata, walau sang penulis memang
merupakan ahli sejarah, doktor sejarah lulusan universitas terkenal di
Amerika Serikat dan mengajar di universitas terkemuka di Indonesia.
Namun, ketika kita mulai mengulik sedikit kehidupannya melalui
sumber-sumber di berbagai tempat mau tidak mau pembaca akan mengaitkan
Kuntowijoyo dengan peran lain yang dimilikinya di dalam kampus,
masyarakat khususnya Islam, dan negara. Pembaca tidak bisa lagi
mendirikannya hanya semata cerpenis atau novelis. Di pengantar buku ini,
Bakdi Soemanto menulis soal apakah Profesor Doktor Kuntowijoyo ini
seorang sejarawan yang menulis fiksi, atau dia adalah penulis fiksi yang
suka sejarah.
Dia memang seorang akademisi, pakar sejarah,
sangat lazim Kuntowijoyo berpikir dan bertutur secara ilmiah. Dia telah
membuktikan itu dengan menulis banyak sekali dan tulisan sejarah,
misalnya Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985) atau Pengantar
Ilmu Sejarah (1995).
Buku ini berisi 15 judul cerpen yang
pernah muncul di Kompas pada 1990—2000-an. Pelajaran Pertama bagi Calon
Politisi yang menjadi judul buku ini merupakan judul cerpen yang ke-14
dalam buku terpasang di halaman 125. Namun, bisa dikatakan judul ini
membingkai seluruh tema cerpen yang ada dalam dalam buku ini. Dan baik
juga jika judul ini menjadi ajakan atau anjuran bagi para calon
politisi. Sederhananya, baca dulu buku ini sebelum menjadi calon
politisi untuk kemudian menjadi politisi.
Bagaimana pembaca
dapat menangkap pesan yang disampaikan Kuntowijoyo lewat
cerpen-cerpennya? Inilah keunikan yang berikutnya. Judul pertama yang
dipasang dalam buku ini, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, menyodorkan
paragraf pertama dengan sebuah pertanyaan setengah meledek, ”Mau jadi
anggota DPR? Boleh, asal dengarkan cerita ini.” Paragraf pendek, dengan
dua kalimat pendek.
Setelah itu, Kuntowijoyo sama sekali tidak
menyinggung tokoh tentang anggota DPR atau calon anggota DPR, tetapi
kisah tentang Kromo, seorang laki-laki berbau busuk, yang tinggal di
sebuah desa, yang terusir dari kampungnya karena bau busuknya itu, lalu
konon menikah dengan peri, dan saat mati berbau harum. Baru kemudian di
bagian akhir kisah ini, Kuntowijoyo kembali menarik pembaca supaya
merenung untuk menangkap pesannya dalam satu paragraf pendek, lagi.
“Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan disia-siakan orang lemah, dia
akan bekerja sama meski dengan siluman sekalipun.”
Kuntowijoyo
menawarkan kaca pembesar untuk melihat detail kemanusiaan dalam sekup
yang sangat kecil, kadang dianggap remeh. Mudah disetujui bahwa seorang
pemimpin harus menyiapkan syarat itu sebelum menjadi pemimpin. Mereka
dituntut untuk jeli, peka terhadap situasi orang-orang biasa, sederhana,
yang dianggap lemah dan seluruh dinamika yang melingkupinya. Mata dan
hati Kuntowijoyo mampu menangkap hal-hal remeh temeh yang terjadi di
keseharian, khususnya di lingkungannya sendiri, entah di Jawa atau saat
dia tinggal di Amerika Serikat, untuk kemudian mengolahnya menjadi
cerpen.
Kuntowijoyo memang salah satu penulis terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara.
Yuli Nugrahani, cerpenis.
No comments:
Post a Comment