Tuesday, May 12, 2009

Gunung Tanggamus


Kerinduan akan gunung terobati pada Gunung Tanggamus. Gunung setinggi 2.400-an m dpl ini terletak di Kabupaten Tanggamus, sekitar 80 km dari Kota Bandarlampung. Sebelum berangkat sudah ada beberapa cerita dari gunung ini. Selain merupakan gunung tertinggi kedua di Lampung, juga menjadi peternakan 'pacet', hiii...
Tapi okey saja, siap untuk jalan. Naik bis dari Jl. Pramuka, siap berdesak-desakan dalam bis ekonomi. Pilihan ini (dibandingkan naik bis ac yang nyaman) tetap merupakan pilihan yang asyik untuk sebuah rombongan. Sekitar 2 jam, turun di Pasar Gisting. Jalan ke pos dadakan pertama, yaitu rumah Pak Yakup, bapak dari seorang rekan. Pak Yakup terbengong sekilas melihat rombongan tanpa kabar ini tapi kemudian menyuguhkan tahu goreng dan teh hangat. Uah, tepat nian untuk perut yang lapar.
Istirahat sebentar lalu lanjut. Rencana akan berkemah di base camp Sonokeling, sekitar 1 jam perjalanan dari ujung jalan aspal. Jalan langsung mendaki, kanan kiri kebun sayur, kol, kopi, ketela, dan juga suara sapi atau kambing. Beberapa menit sempat terpaku karena suara gemuruh disertai segala bunyi binatang dari segala penjuru. Ada apa? Petani yang melintas mengatakan ada angin puyuh yang sedang lewat. "Mboten udan, kok. Namung angin niku." (Tidak hujan kok. Hanya angin itu.) Tapi ya serem.
Base camp merupakan lereng yang keren, dekat mata air pula. Di ketinggian 700 m dpl ini, pemandangan cantik nian. Terasa nyaman. Dingin sih, tapi rasanya aku akan betah di tempat ini hingga beberapa minggu, atau bulan... Dan, ada gubuh Mbah Di di dekat situ. Mbah Di ini merupakan bapak dan mbah para pendaki Tanggamus. Setiap pendaki pasti mampir. (Tuh, fotoku di atas itu saat ngelesot di sofa lincak depan rumah mbah Di yang semilir usai pendakian. Yang samping ini seluruh rombongan ditambah yang motret usai sarapan di base camp.)
Sebagian barang dititip pada mbah Di yang memberi pesan,"Berapa orang yang ndaki? Dua belas? Agamamu apa? Agama apapun doa dulu sebelum dan selama perjalanan. Nanti jika sedang jalan ada yang merasa dipanggil cek jumlah rombongan, jika lengkap jangan menjawab. Sering ada kejadian orang kesasar kalau menjawab panggilan seperti itu. Ya, hati-hati."
Hemm, harus diikuti. Terimakasih, mbah.
Jalanan menanjak dengan kemiringan antara 20 - 45 derajat (beberapa tempat bahkan bisa 70 derajat), membuat nafas cepat tersengal. Hutan rimbun, tapi alamak...betul, peternakan pacet. Habis kaki diserap binatang pengisap darah ini. Geli, jijik, ilang dah... karena gak ada pilihan. Sekitar 3 jam perjalanan tiba di shelter, sekitar 1.900 m dpl. Agak landai dengan dua jalur air yang sejuk sedikit berlumut. Ah, ya sekitar situ memang biasa disebut hutan lumut, yang lembab dan berlumut tebal di pohon dan tanah. Bisa beristirahat, makan, ngisi cadangan air dan mesti siap-siap pada jalur sesudahnya yang semakin miring terjal. Diperkirakan sekitar 30-45 menit lagi sampai puncak.
Ah, mendadak cuaca sangat buruk hujan angin gelap, waduh. Jalan semakin merambat, dan akhirnya menyerah pada satu titik (Kata Titis tinggal 10 - 15 menit lagi puncaknya. Tapi dalam cuaca seperti itu sangat berbahaya jika pun berada di puncak. Tidak mungkin juga berkemah di situ.). Maka menahan kecewa, kami pun turun dengan sangat hati-hati karena licin dan sesekali membungkuk melepas pacet yang menempel di kaki, hingga berdarah-darah. Apalagi kalau tidak sengaja mencari pegangan pada rotan-rotan yang berderet sepanjang jalan, salah-salah kena durinya.
Tapi sungguh, gunung ini sangat keren. Suatu saat pasti datang lagi kesana. "Demi puncak!!!" Gitu kata Albert. Oh ya aku mendaki dengan Den Hendro dan anak-anak. Albert dan Bernard, menjadi kesayangan seluruh tim dan pemacu semangat mereka. Ya, mereka yang 6 dan 8 tahun itu bisa berjalan dengan riang gembira, bertanya ini itu, bernyanyi tanpa capek, sedang yang tua-tua sudah tersengal bahkan Wati turun lagi setelah satu tanjakan. Andi yang sudah pucat pun turun di tengah jalan didampingi Sinto. "Anak-anakmu jan potensial pendaki, mbak." Gitu Keling berkomentar. Titis dan Tri pun yang biasa mendaki gunung memberi aplus pada dua anak ini karena bisa mengikuti gerak langkah dengan kecepatan yang sama dengan mereka tanpa mengeluh. "Bernard ae bisa. Jadi aku pasti bisa," tandas Matea dalam jatuh bangun. Dan Bernard di depan terus berteriak,"Ayo terus, usaha. Tetap semangat." Dan mereka melaju terus sambil tengok kanan kirim kagum melihat alam, serta menikmati kebebasan semesta. Ya iya, boleh kotor, boleh teriak, boleh hujan-hujanan,...
Pasti, suatu saat kami akan merencanakan lagi pendakian seperti ini. Mungkin ke Gunung Tanggamus lagi, ke puncaknya. Atau Gunung Pesagi, Betung, Rajabasa,... ah masih banyak gunung di Lampung yang harus didaki. Pasti...

1 comment:

  1. ternyata kamu tetap seorang kamu. mencintai alam demi alam. proficiat!

    ReplyDelete