Thursday, April 16, 2009

Conspiracy (1)

Rapat akbar kali ini aku tidak sabar menunggu para panglimaku mengumpulkan pasukannya masing-masing. Aku sangat heran pada kelambanan mereka.
"Maafkan, putri. Kami justru lebih cepat dari biasanya datang menghadapmu." Bisik Princes of Eyes, di pelipisku. Aku cemberut melotot padanya. Dia mundur dalam kedipan kelopakku.
Butuh beberapa menit hingga aku bisa menata nafas dan mereka menata barisannya dengan sadar. Protokol Brain melangkah pelan, rapi seperti biasanya, tepat di depan pandangan mataku. Membuka manuskrip hasil coretanku semalam. Aku meyakinkan diri bahwa semua sudah aku ungkap padanya, dan aku berharap dia merapikannya seperti biasa dengan bahasa yang mampu dipahami oleh semua pasukan dari panglima dan kroconya, yang aku maklumi ketika sering salah.
"Kali ini aku tidak mau salah!" Teriakku tanpa komando. Brain menatapku tidak senang. Memandang belatinya aku berupaya sekuat tenaga untuk tenang. Bagi Brain, walau aku seorang putri, justru aku seorang putri, aku harus menjaga sikap, apalagi di depan para pasukan ini. Aku mengeraskan tapak kakiku dan menarik tafas panjang, menahan diri.
Brain mendehem sedikit, batuk tanpa sakit yang sudah aku kenal sedari aku bayi. Deheman yang mengajar aku mulai dari dini.
"Putri mengucapkan terimakasih karena kehadiran semua. Selamat datang dalam kelengkapan rapat akbar ini." Kali ini aku benci basa basi ini. Cepatlah, Brain, langsung saja.
Sekilas Brain menatap cemberutku. Saat itu manuskrip sudah terbuka sempurna.
"Ada satu rencana yang harus kita bagi dalam tugas-tugas. Masing-masing panglima akan mendapat detailnya usai saya jabarkan rencana ini." Ini sangat serius Brain, jangan terlalu lama!
"Mengambil kembali Knight of Night Dew." Huh, aku menarik nafas membuang rasa sebalku. Bagaimana aku bisa dikelilingi makluk-makluk seperti ini. Aku tidak sabar.
Terompet berbunyi dengan kode khusus dari Brain yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Sekejab lima panglima berjalan tegap ke hadapan Brain, dan satu panglima lagi berjalan dengan kelembutannya. Ah, untuk yang satu ini aku hanya bisa tersenyum. Selalu tersenyum padanya. Tapi, oh, mau tidak mau aku harus percaya pada lima eh enam panglima ini.
Brain memimpin rapat kecil itu, dengan bisik yang bahkan aku tidak mendengarnya. Aku tidak punya energi lebih untuk berjalan ke arah mereka, jadi aku mempercayakannya saja pada mereka bertujuh. Sudah banyak yang mereka lakukan untukku, kali juga akan begitu. Aku menarik nafas panjang kembali... (Bersambung)

1 comment: