“Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu…. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu….” (Soe Hok Gie)
Jelas sekali aku mengingat kata-kata Soe di bagian awal buku harian yang kemudian diterbitkan sebagai : Catatan Seorang Demonstran. Kali ini kalimat itu aku ingat secara kuat. Semata-mata karena dendam sedang menggerus hatiku dengan kuku-kukunya yang tajam.
Awalnya marah yang mendahului, lalu dendam menyelinap masuk seolah hatiku adalah rumahnya. Dengan pongahnya dia duduk jigang memerintahkanku untuk mengangkat telunjuk menuding sembarang. Dia mengambil kendali pada mataku sehingga aku tidak bisa menyurutkan api dari sana. Jengkerut alis dan kelopak mata, yang biasanya meredam api itu, kini malah mengecilkan pupil hingga titik api tercipta menyedot jiwaku pada fokus yang sama.
Yang dibakar adalah diriku! Aku berteriak membentaknya supaya keluar. Tapi kekuatannya tak bisa kubendung. Tangan-tangannya yang berjuta menarik segala urat darahku. Kaki-kakinya tak terhitung kokoh menjejak segala sel tubuhku. Tanpa ampun, walau dia merasai basah air mataku telah bercampur darah. Bahkan lihat tertawa hatiku, dia sudah mulai bersahabat dengan dendam.
Tanganku mengepal mencoba menahannya agar tidak memagut aku lebih dalam. Kubuka telinga lebar-lebar untuk memasukkan jejal volume terkeras dari Slank. Aku berteriak bersama suara Kaka yang biasanya mampu melembutkan hati. Gagal!
Aku mematung di sudut ruang. Menata kakiku bersila, mendaraskan segala puji untuk Ilahi. Hanya bibirku yang bergerak. Hati, berpelukan dengan dendam, terbahak-bahak meleceh menyindir kemunafikanku.
Dendam mulai mengerahkan dayanya, membekukan hati, dan sebentar lagi akan mengeras menjadi batu.
Dan, aku melihat segala sekitarku hanya mencibir menertawai kepanikanku.
No comments:
Post a Comment