Friday, May 23, 2014

Ulasan Pembatas Buku dari Sahabat di Moncek

PEMBATAS BUKU
KUMPULAN PUISI YULI NUGRAHANI
Oleh : Fendi Kachonk

Kemarin, setelah seharian bekerja dan baru sampai rumah, seperti biasa saya istirahat dan masuk ke ruang bacaku, yaitu Taman Baca Arena Pon Nyonar. Di atas meja telah ada bungkusan rapi, aku lihat-lihat dan ternyata buku Yuli Nugrahani telah sampai, satu buku antologi puisinya yang berjudul “Pembatas Buku”. Dari tema atau judul buku ini, aku merasakan ada goresan kata, yang sengaja dialirkan dengan liris “pembatas buku” . Saya masih saja mengeyam kata-kata itu, pembatas buku, sambil menerka-nerka apa maksud dari tujuan Yuli melekatkan “pembatas buku” di kumpulan puisi pertamanya. Saya menerka-nerka mungkin buku kumpulan puisi ini seperti pembatas buku dan tulisan Yuli, yang biasanya lebih mendalami cerpen, atau tulisan yang lain, kini Yuli juga menulis buku, atau bisa jadi juga ini adalah pembatas keadaan. Ah sudahlah, intinya saya dengan pemilihan tema atau judul ini telah merasakan keunikan dan kecerdasan seorang Yuli dalam merangkai kata menjadi luar biasa.

Dalam Kumpulan Puisi Pembatas Buku ini, ada 40 puisi yang ditulis Yuli, dan mungkin sekedarnya saja aku mengenal Yuli di dunia maya, tetapi yang saya ketahui Yuli dengan produktifitasnya mampu melahirkan tulisan-tulisan yang senyap, seolah hampa dan seolah tanpa ada emosi yang menggerogoti  anak-anak kata dan kalimat yang dibungkus dengan kedewasaan bahasanya yang lugas, bercerita dan seolah ini cerpen dalam bentuk puisi, tetapi ini adalah puisi bukan cerpen. Namun pencitraan dan pembangunan suasananya, dialektika yang terbangun, seolah itu adalah khas seorang Penyair Perempuan Lampung yang kaya dengan tema, oleh juga dirinya adalah pegiat dan pemerhati sosial yang masih aktif sampai sekarang.

Satu persatu saya membaca puisi Yuli, dan saya semakin mengenal karekter bahasanya, mengalun, sederhana dan perhitungan pemilihan diksi yang sangat ketat. Saya mendapati tak ada yang longgar semuanya berbobot nilai estetika. Tetapi bagi saya, oleh pandangan saya dan cara saya menggauli puisi, jiwa saya akan mencari jiwa dalam beberapa puisi yang ditulis, dan sampai juga pada penyisiran tiga puisi yang saya amat kagumi. Dalam tiga puisi ini Yuli tak menggunakan dialektikanya, tetapi ia langsung menuju suasana mistik yang terbangun dan saya amat tertegun. Kekuasaan tiga puisi ini membuat saya tak berhenti untuk mengulang membacanya, membacanya dan lagi. Sepertinya secara tersirat Yuli Nugrahani mengisyaratkan bahwa “Pembatas Buku” itu dalam tiga puisi ini. Mari saya hadirkan tiga puisi tersebut di sidang pembaca.

MUSIM BAGI TRENGGULI

Di rumah lain aku bisa menemuimu,
kenari kecil yang penuh rinai.

Trengguli sudah sampai di musim bertabur
mencipta harum sebagai beranda
di sana, kita bercengkerema.

Nopember, 2013

Saya menikmati dengan pemilihan diksi dan suasana yang terbangun, oleh rima dengan kesederhanaan yang mengalir mengantarkan kepada ruang imajinasi kita, di suatu musim  bagi trengguli. Dan kita juga mesti menyadarinya, bahwa Yuli Nugrahani di puisi-puisi ini tak semata menghadirkan kesayuan dan kesahduan semata-mata, tetapi dia mampu memotret lingkungannya dengan indah dan ciamik. Mari saya bawa kepengangkatan tema “trengguli” yang adalah :

Trengguli (Cassia fistula) atau biasa disebut dengan bak buraktha, papa pauno,tengguli, klohor, kalabur, kayu raja, biraksa, bubundelan ini mempunyai kandungan kimia seperti saponin, tanin, gom, gula, hidroksimetil, asam sitrat, asam hidrisianik, pektin. Sementara kulitnya mengandung zat samak. Anggota famili Leguminosae ini bersifat rasa manis, antringen, pencahar dan penurun demam.

Saya baru menyadari, bahwa suasana yang romantis ini tak semata-mata sederhana secara kebermaknaan dari teks tersebut, Yuli Nugrahani mengajak kita semakin mencintai alam, kembali ke lingkungan dan dia juga memberitakan hal yang terdalam, bahwa alam ini telah banyak menyediakan imun bagi tubuh kita. Lihatlah bagaimana trengguli itu juga berfungsi sebagai penurun demam, silahkan bisa dilanjutkan pencaritahuan pada tema trengguli dan pesan yang secara samar Yuli sampaikan, kembalilah ke lingkungan dan “di sana kita bercengkerama” bait penutup yang romantis, romantisme sebuah ajakan yang terbangun dan sengaja diendapkan dalam puisi “ Musim Bagi Trengguli”.

Maka dari puisi tersebut kembali saya mengimani, bahwa puisi memang tak akan jauh dari realitas sosial pengarangnya, dan saya merekatkan puisi tersebut, hadir dan lahir dari pergulatan Yuli dalam kegiatan-kegiatannya, amatannya dan menjadi puisi yang manis menyampaikan pesan secara romantis dan samar.

Bagaimana jiwa bahasa Yuli dan cara Yuli mengantarkan pembaca pada tempat yang sejuk? Setelah puisi di atas, saya juga sangat tertarik menghadirkan puisi kedua yang juga membuat saya merasakan suasananya. Kemampuan Yuli, memainkan kata sederhana dan meneguhkan ruh tulisan pada pesan yang akan disampaikan tetapi begitulah Yuli juga tak serta merta meninggalkan keindahan-keindahan dalam memberi busana yang pantas dalam puisi-puisinya.

Yuli Nugrahani ini, memang kaya dengan tema, dan semuanya sama dengan apa yang telah saya sampaikan di atas, semuanya hasil dari pengamatan dan kejeliannya. Tetapi kadang Yuli bermain dengan senyap sekali, sehingga saya membaca puisi ini juga hanyut, pada perbedaan angin laut di sebuah pagi, yang sama-sama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengatur keseimbangan alam. Jika pun tidak ada pengrusakan, angin juga tak akan mengantarkan sebuah kemelut di laut, mencintai lingkungan dan membangun tema sosial serta mengalurkan dalam bentuk puisi adalah cara yang sangat unik dan menarik dalam puisi-puisi Yuli Nugrahani. Mari kita simak.

PESAN ANGIN LAUT PADA PAGI

Takdirku
adalah pantai siang hari,
mengantarkan nelayan
pulang ke bilik istrinya.

Tapi kau,
Pagi, kekasihku abadi
tempat kuhamparkan
pasang sepenuh daya.

Januari 2014

Membaca puisi ini, serasa senyap, ada luka yang diam dan sublim di dalam, perasaan saya seolah merasakan hal itu, bagaimana takdir alam dan waktu kadang mampu menghadirkan kesenduan. Sedang dalam tulisan ini Yuli Nugrahani tetap menggugah pembaca untuk kembali membaca alam, waktu, keadaan serta fungsi masing-masing sebagai alam, itulah warna dan jiwa bahasa Yuli. Senyap terasa dengan kata “Takdir” itu yang mesti mengantarkan nelayan pada bilik istrinya, dan hanyut kembali dengan bait-bait selanjutnya, tapi kau, pagi, kekasihku abadi. Dan saya sambungkan dengan puisi yang sangat dan bagus sekali oleh perasaanku merasakan pertempuran di medan senyap dan sepi dan di medan kuasa tanpa kuasa di puisi terakhir yang ingin saya hadirkan dan saya bersepakat pada jiwa saya, inti, ruh dan kata pembatas buku ini, ada di puisi ini. Menurut pandangan saya.

MENUJU RUMAHMU

Satu kali, satu kali saja aku berhenti
di sisi genangan air sisa hujan semalam.

Lalu kembali aku bergegas, walau tahu
aku tak akan pernah sampai di rumahmu.

2014

Saya ingin belajar dan mencoba bermain-main dengan puisi ini, dari kemarin saya tertarik dan saya mencoba memasuki ruangnya, menjadi saya di medan konflik itu aku lirik itu, yang mencoba melangkah satu kali, lalu berhenti lagi langkahku, satu kali lagi, aku mencoba berjalan di sisi genangan air sisa hujan, aih kulihat kak Yuli menjinjing sepatunya, takut kotor dan melangkah lagi, satu kali, artinya hati-hati dulu, lalu melangkah dan terus satu kali. Itulah ruang imajinasi dalam puisi ini sangat bagus, tak mesti puisi hadir dengan pemilihan diksi yang berat-berat, yang sok-sok puitis tapi tak mengena ke jiwa, atau tak pernah ada jiwanya, di sini puisi Yuli Nugrahani, kata klise menjadi menarik dan diolah dengan matang, oleh karena Yuli Nugrahani tak hanya mampu berimajinasi, tetapi dia ada di medan  konflik itu.

Begitupun bait kedua dari puisi “menuju rumahmu” judulnya saja telah mampu membangun suasana, dan lihat, “lalu kembali aku bergegas” di bait pertama ada kata berhenti, satu kali saja, tetapi selalu ada spirit perjuangan dan tak mau mengalah untuk sampai pada rumahmu, rumahmu itu bisa apa saja, harapan, impian dan atau rumah kekekasih yang di atas singgasana, yaitu Tuhan, kenapa Yuli sangat berhasil melahirkan semuanya di puisi ini? mari kita coba rekatkan pada hubungan, aku lirik yang menjadi hamba menuju rumah Tuhannya, seolah di sana, aku lirik berkata, ada genangan air sisa hujan, seperti mengabarkan, ada yang becek, kotor dan si aku lirik telah mencoba berusaha melewatinya, berusaha berhenti dari kotor genangan air sisa hujan yang jadi lambang sebuah renungan jiwa aku lirik atau bisa jadi aku Yuli sebagai penulis puisi ini. Betapa kotor aku lirik menujumu, tetapi tak ada kata putus asa, satu kali lagi melangkah memperbaiki diri, terus seperti itu aku lirik meski juga tak akan sampai, karena mungkin rumahMu terlalu suci tetapi aku lirik mencobanya terus. Satu kali, satu kali berhenti dan aku bergegas melangkah lagi, menuju rumahmu tuhan, walau aku tahu tak akan pernah sampai.

Demikian kepada kak Yuli Nugrahani, semoga tetap menulis, semakin semangat dan bagi para kawan-kawan tak ada ruginya memiliki buku ini, oleh sebab kedewasaan berbahasanya yang kuat, bisa jadi buku “Pembatas Buku” ini menjadi pembatas dari buku-buku yang kurang menarik. Salam.

No comments:

Post a Comment