PEMBATAS BUKU
KUMPULAN PUISI YULI NUGRAHANI
Oleh : Fendi Kachonk
Kemarin,
setelah seharian bekerja dan baru sampai rumah, seperti biasa saya
istirahat dan masuk ke ruang bacaku, yaitu Taman Baca Arena Pon Nyonar. Di atas meja telah ada bungkusan rapi, aku lihat-lihat dan ternyata buku
Yuli Nugrahani telah sampai, satu buku antologi puisinya yang berjudul
“Pembatas Buku”. Dari tema atau judul buku ini, aku merasakan ada goresan
kata, yang sengaja dialirkan dengan liris “pembatas buku” . Saya masih
saja mengeyam kata-kata itu, pembatas buku, sambil menerka-nerka apa
maksud dari tujuan Yuli melekatkan “pembatas buku” di kumpulan puisi
pertamanya. Saya menerka-nerka mungkin buku kumpulan puisi ini seperti
pembatas buku dan tulisan Yuli, yang biasanya lebih mendalami cerpen,
atau tulisan yang lain, kini Yuli juga menulis buku, atau bisa jadi juga
ini adalah pembatas keadaan. Ah sudahlah, intinya saya dengan pemilihan
tema atau judul ini telah merasakan keunikan dan kecerdasan seorang
Yuli dalam merangkai kata menjadi luar biasa.
Dalam
Kumpulan Puisi Pembatas Buku ini, ada 40 puisi yang ditulis Yuli, dan
mungkin sekedarnya saja aku mengenal Yuli di dunia maya, tetapi yang
saya ketahui Yuli dengan produktifitasnya mampu melahirkan
tulisan-tulisan yang senyap, seolah hampa dan seolah tanpa ada emosi
yang menggerogoti anak-anak kata dan kalimat yang dibungkus dengan
kedewasaan bahasanya yang lugas, bercerita dan seolah ini cerpen dalam
bentuk puisi, tetapi ini adalah puisi bukan cerpen. Namun pencitraan dan
pembangunan suasananya, dialektika yang terbangun, seolah itu adalah
khas seorang Penyair Perempuan Lampung yang kaya dengan tema, oleh juga
dirinya adalah pegiat dan pemerhati sosial yang masih aktif sampai
sekarang.
Satu persatu saya membaca puisi Yuli, dan saya
semakin mengenal karekter bahasanya, mengalun, sederhana dan perhitungan
pemilihan diksi yang sangat ketat. Saya mendapati tak ada yang longgar
semuanya berbobot nilai estetika. Tetapi bagi saya, oleh pandangan saya
dan cara saya menggauli puisi, jiwa saya akan mencari jiwa dalam
beberapa puisi yang ditulis, dan sampai juga pada penyisiran tiga puisi
yang saya amat kagumi. Dalam tiga puisi ini Yuli tak menggunakan
dialektikanya, tetapi ia langsung menuju suasana mistik yang terbangun
dan saya amat tertegun. Kekuasaan tiga puisi ini membuat saya tak
berhenti untuk mengulang membacanya, membacanya dan lagi. Sepertinya
secara tersirat Yuli Nugrahani mengisyaratkan bahwa “Pembatas Buku” itu
dalam tiga puisi ini. Mari saya hadirkan tiga puisi tersebut di sidang
pembaca.
MUSIM BAGI TRENGGULI
Di rumah lain aku bisa menemuimu,
kenari kecil yang penuh rinai.
Trengguli sudah sampai di musim bertabur
mencipta harum sebagai beranda
di sana, kita bercengkerema.
Nopember, 2013
Saya
menikmati dengan pemilihan diksi dan suasana yang terbangun, oleh rima
dengan kesederhanaan yang mengalir mengantarkan kepada ruang imajinasi
kita, di suatu musim bagi trengguli. Dan kita juga mesti menyadarinya,
bahwa Yuli Nugrahani di puisi-puisi ini tak semata menghadirkan kesayuan
dan kesahduan semata-mata, tetapi dia mampu memotret lingkungannya
dengan indah dan ciamik. Mari saya bawa kepengangkatan tema “trengguli”
yang adalah :
Trengguli (Cassia fistula)
atau biasa disebut dengan bak buraktha, papa pauno,tengguli, klohor,
kalabur, kayu raja, biraksa, bubundelan ini mempunyai kandungan kimia
seperti saponin, tanin, gom, gula, hidroksimetil, asam sitrat, asam
hidrisianik, pektin. Sementara kulitnya mengandung zat samak. Anggota famili Leguminosae ini bersifat rasa manis, antringen, pencahar dan penurun demam.
Saya
baru menyadari, bahwa suasana yang romantis ini tak semata-mata
sederhana secara kebermaknaan dari teks tersebut, Yuli Nugrahani
mengajak kita semakin mencintai alam, kembali ke lingkungan dan dia juga
memberitakan hal yang terdalam, bahwa alam ini telah banyak menyediakan
imun bagi tubuh kita. Lihatlah bagaimana trengguli itu juga berfungsi
sebagai penurun demam, silahkan bisa dilanjutkan pencaritahuan pada tema
trengguli dan pesan yang secara samar Yuli sampaikan, kembalilah ke
lingkungan dan “di sana kita bercengkerama”
bait penutup yang romantis, romantisme sebuah ajakan yang terbangun dan
sengaja diendapkan dalam puisi “ Musim Bagi Trengguli”.
Maka
dari puisi tersebut kembali saya mengimani, bahwa puisi memang tak akan
jauh dari realitas sosial pengarangnya, dan saya merekatkan puisi
tersebut, hadir dan lahir dari pergulatan Yuli dalam
kegiatan-kegiatannya, amatannya dan menjadi puisi yang manis
menyampaikan pesan secara romantis dan samar.
Bagaimana
jiwa bahasa Yuli dan cara Yuli mengantarkan pembaca pada tempat yang
sejuk? Setelah puisi di atas, saya juga sangat tertarik menghadirkan
puisi kedua yang juga membuat saya merasakan suasananya. Kemampuan Yuli,
memainkan kata sederhana dan meneguhkan ruh tulisan pada pesan yang
akan disampaikan tetapi begitulah Yuli juga tak serta merta meninggalkan
keindahan-keindahan dalam memberi busana yang pantas dalam
puisi-puisinya.
Yuli Nugrahani ini, memang kaya dengan
tema, dan semuanya sama dengan apa yang telah saya sampaikan di atas,
semuanya hasil dari pengamatan dan kejeliannya. Tetapi kadang Yuli
bermain dengan senyap sekali, sehingga saya membaca puisi ini juga
hanyut, pada perbedaan angin laut di sebuah pagi, yang sama-sama
memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengatur keseimbangan alam. Jika
pun tidak ada pengrusakan, angin juga tak akan mengantarkan sebuah
kemelut di laut, mencintai lingkungan dan membangun tema sosial serta
mengalurkan dalam bentuk puisi adalah cara yang sangat unik dan menarik
dalam puisi-puisi Yuli Nugrahani. Mari kita simak.
PESAN ANGIN LAUT PADA PAGI
Takdirku
adalah pantai siang hari,
mengantarkan nelayan
pulang ke bilik istrinya.
Tapi kau,
Pagi, kekasihku abadi
tempat kuhamparkan
pasang sepenuh daya.
Januari 2014
Membaca
puisi ini, serasa senyap, ada luka yang diam dan sublim di dalam,
perasaan saya seolah merasakan hal itu, bagaimana takdir alam dan waktu
kadang mampu menghadirkan kesenduan. Sedang dalam tulisan ini Yuli
Nugrahani tetap menggugah pembaca untuk kembali membaca alam, waktu,
keadaan serta fungsi masing-masing sebagai alam, itulah warna dan jiwa
bahasa Yuli. Senyap terasa dengan kata “Takdir” itu yang mesti
mengantarkan nelayan pada bilik istrinya, dan hanyut kembali dengan
bait-bait selanjutnya, tapi kau, pagi, kekasihku abadi. Dan saya
sambungkan dengan puisi yang sangat dan bagus sekali oleh perasaanku
merasakan pertempuran di medan senyap dan sepi dan di medan kuasa tanpa
kuasa di puisi terakhir yang ingin saya hadirkan dan saya bersepakat
pada jiwa saya, inti, ruh dan kata pembatas buku ini, ada di puisi ini.
Menurut pandangan saya.
MENUJU RUMAHMU
Satu kali, satu kali saja aku berhenti
di sisi genangan air sisa hujan semalam.
Lalu kembali aku bergegas, walau tahu
aku tak akan pernah sampai di rumahmu.
2014
Saya
ingin belajar dan mencoba bermain-main dengan puisi ini, dari kemarin
saya tertarik dan saya mencoba memasuki ruangnya, menjadi saya di medan
konflik itu aku lirik itu, yang mencoba melangkah satu kali, lalu
berhenti lagi langkahku, satu kali lagi, aku mencoba berjalan di sisi
genangan air sisa hujan, aih kulihat kak Yuli menjinjing sepatunya,
takut kotor dan melangkah lagi, satu kali, artinya hati-hati dulu, lalu
melangkah dan terus satu kali. Itulah ruang imajinasi dalam puisi ini
sangat bagus, tak mesti puisi hadir dengan pemilihan diksi yang
berat-berat, yang sok-sok puitis tapi tak mengena ke jiwa, atau tak
pernah ada jiwanya, di sini puisi Yuli Nugrahani, kata klise menjadi
menarik dan diolah dengan matang, oleh karena Yuli Nugrahani tak hanya
mampu berimajinasi, tetapi dia ada di medan konflik itu.
Begitupun
bait kedua dari puisi “menuju rumahmu” judulnya saja telah mampu
membangun suasana, dan lihat, “lalu kembali aku bergegas” di bait
pertama ada kata berhenti, satu kali saja, tetapi selalu ada spirit
perjuangan dan tak mau mengalah untuk sampai pada rumahmu, rumahmu itu
bisa apa saja, harapan, impian dan atau rumah kekekasih yang di atas
singgasana, yaitu Tuhan, kenapa Yuli sangat berhasil melahirkan semuanya
di puisi ini? mari kita coba rekatkan pada hubungan, aku lirik yang
menjadi hamba menuju rumah Tuhannya, seolah di sana, aku lirik berkata,
ada genangan air sisa hujan, seperti mengabarkan, ada yang becek, kotor
dan si aku lirik telah mencoba berusaha melewatinya, berusaha berhenti
dari kotor genangan air sisa hujan yang jadi lambang sebuah renungan
jiwa aku lirik atau bisa jadi aku Yuli sebagai penulis puisi ini. Betapa
kotor aku lirik menujumu, tetapi tak ada kata putus asa, satu kali lagi
melangkah memperbaiki diri, terus seperti itu aku lirik meski juga tak
akan sampai, karena mungkin rumahMu terlalu suci tetapi aku lirik
mencobanya terus. Satu kali, satu kali berhenti dan aku bergegas
melangkah lagi, menuju rumahmu tuhan, walau aku tahu tak akan pernah
sampai.
Demikian kepada kak Yuli Nugrahani, semoga tetap
menulis, semakin semangat dan bagi para kawan-kawan tak ada ruginya
memiliki buku ini, oleh sebab kedewasaan berbahasanya yang kuat, bisa
jadi buku “Pembatas Buku” ini menjadi pembatas dari buku-buku yang
kurang menarik. Salam.
No comments:
Post a Comment