Saturday, May 24, 2014

Melunasi Pembatas Buku

Aku mesti menuliskan ini sebagai kenangan yang tak ingin kulupakan. Saat nanti angin membuat ingatanku kacau, aku ingin tetap mampu mengingat rentetan peristiwa ini sebagai bagian dari kehidupanku. Jadi aku akan mencatatnya dengan detail-detailnya yang kusukai.

Isbedy Stiawan, membaca Advent.
Kumpulan puisiku terbit Mei 2014 setelah kuaduk dalam proses editing yang berurai keringat, air mata dan darah. Keringat, ya, ini adalah kerja keras. Bagi buku pertama yang sudah kubayangkan dari tahun lalu, tertunda oleh lecutan guru-guruku. Air mata, tentu saja, karena buku ini berisi puisi-puisi. Siapakah yang bisa memisahkan puisi dari hati penulisnya? Seluruh emosiku terlebur dalam puisi-puisi itu. Dan emosiku adalah air mataku. Darah, ini luka, ini duka. Bagaimana aku bisa menyebutnya, tapi darah mengalir, sebagian muncrat dari sekujur tubuhku. (Terserahlah kalian menyebut lebay, tapi ini memang terjadi.)

Lalu berkat melimpah lewat sebuah SMS GB, salah satu sahabat hatiku : "Mbak Yuli, gimana kalau tanggal 22 Mei bukumu dan punya Fitri launching di Unila, di UKMBS?" Aku tidak tahu siapa yang punya ide ini dari teman-teman Komunitas Berkat Yakin (KoBER) yang kutahu memakai tanggal itu sebagai rangkaian ulang tahunnya yang ke 12. Tapi spontan hatiku melonjak dalam kegembiraan. Mau sekali. Ini akan melunasi kerjaku untuk Pembatas Buku. Aku akan mendapat kesempatan menyampaikan pertanggungjawabanku terhadap buku ini. "Aku mau, sangat gembira. Terimakasih." Apalagi yang bisa kukatakan selain hal itu?
Edi Samudra Kertagama,  Tertembak Malam dan Menuju Rumahmu


Dekat hari H aku tak bisa menahan kegelisahan. Terus terang aku cemas. Ini pengalaman pertamaku. Beberapa peristiwa membuatku cukup hangat seperti nongkrong tanpa maksud beberapa kali di rumah KoBER, teman-teman jurnalis yang meminta release buku itu, perjumpaan dengan KD yang lalu menghantar pada perjumpaan dengan Pak Edi Samudra, peristiwa kecil ini itu, obrolan dengan Ari, chatting dengan Fitri, dan sebagainya. Ada sisi-sisi yang rumpang, setengah kosong setengah isi, tanpa bisa kuidentifikasi perasaanku. Ada kerinduan tanpa tahu rindu pada apa atau siapa, ada kemarahan, ada kesedihan, spontan juga ada kegembiraan, antusias, ... tak bisa dijelaskan.

Hari itu tiba dengan nyata. Den Hendro meyakinkan aku berkali-kali bahwa semua sip, terkendali, dan dia menemaniku di Gedung Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung, tempat acara berlangsung, 22 Mei 2014 pukul 19.00. Telat setengah jam mulainya, dan itu menguntungkan aku sehingga aku bisa bercakap santai dengan Isbedy Stiawan, salah satu inspiratorku, Edi Samudra Kertagama yang meneguhkan aku lewat perbincangan santai, dengan beberapa teman yang hadir.

Yang paling ingin kuingat adalah saat beberapa teman termasuk dua tokoh penyair senior Lampung itu membaca puisi-puisiku. Titik-titik embun di mataku meleleh, mengalir. Aku tak menyangka tulian-tulisan dalam puisi itu begitu dalam menusuk hatiku, mengungkit perasaanku. Puisi-puisi itu adalah aku sendiri yang berkeringat, berair mata dan berdarah. Saat Jarwo, sang MC membaca biodataku yang singkat aku nyaris tak mendengarnya, dan tergagap ketika dia memanggilku untuk membaca salah satu atau dua puisi. Aku tidak menyiapkan diri untuk membaca puisi, dan aku sudah bilang berkali-kali pada teman-teman KoBER aku tak usah membaca puisi.

Berjalan ke mike dengan kosong, aku buka halaman 54, puisi ke 35 : PEREMPUAN. Ini salah satu puisi yang akan menguatkan hatiku untuk tidak menitikkan air mata saat membacanya. Ini salah satu puisi yang 'marah', sehingga aku tak akan sempat merasakan melankoli sekaligus menghapusnya. Ini adalah puisi keteguhan niat sekaligus geram menuntut dengan sadar diri. Aku membacanya juga dengan kemarahan. Jarwo mengatakan aku membaca dengan lugas, tapi aku bilang aku membacanya dengan tandas. Jika bukan puisi ini, bisa jadi aku akan tersedu-sedu saat membacanya, dan apa kata dunia?

Yuli Nugrahani, Fitri Yani dan Ari Pahala Hutabarat.
Aku mesti bercerita tentang asal muasal buku puisi ini dalam diskusi. Ari Pahala Hutabarat, mesti kutunduk hormat padanya, yang sudah memberiku apresiasi dan juga sugesti dan juga energi untuk hal ini. Aku beruntung ada Fitri Yani di sebelahku dengan buku puisi Suluh, sehingga aku tak harus merasa sendirian. Dia jauh lebih muda usia dariku, tapi dalam puisi dia juga guruku. Langkahnya yang sudah jauh juga inspirasiku. Di ujung diskusi aku merasakan ketakutan yang terus menyeruak hingga malam, tak bisa tidur, hingga subuh. Mungkinkah aku menuliskan lagi puisi-puisi selanjutnya di masa mendatang? Mampukah aku mengurai kembali hatiku yang penuh dinamika semesta ini secara netral dalam bentuk puisi? Aku begitu gentar, gemetar.

Sekarang Pembatas Buku sudah lunas. Sudah kuupayakan segala sesuatu yang diperlukan untuk puisi-puisi dalam buku itu. Sekarang lunas. Biarlah dia menentukan sendiri nasibnya. Aku akan melanjutkan hidupku. Terimakasih Den Hendro, Albert, Bernard, juga bapak ibu Sam, bapak Soeliham, juga terimakasih Oki dan teman-teman Indepth Publishing, Ari, GB dan teman-teman KoBER, Reza dan Devin, para guruku, para pendukungku. Aku bergembira karena kesempatan manis bekerja bersama kalian semua untuk Pembatas Buku ini. Berkat.

No comments:

Post a Comment