Nah. Aku ingin menulis agak panjang kali ini.
Jadi agak sabar ya. Kuselesaikan pelan-pelan :
Ini dimulai dari tahun lalu. Salah Satu Cabang Cemara (SSCC) adalah salah satu judul cerpen yang masuk dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama, diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami tahun 2016. Cerpennya sendiri kutulis sekitar tahun 2008 atau 2009, yang kemudian mengalami proses yang lama dalam penyelesaiannya. Pernah berganti judul beberapa kali. Judul yang terakhir kupakai ini kupilih setelah seluruh buku selesai kuedit. Dan kemudian kupilih sebagai judul buku karena frase ini dapat menggambarkan seluruh buku yang berisi cerpen aneka rupa tema, yang kesemuanya berangkat dari ide-ide personal yang kujumpai.
Namun, aku harus mengakui, cerpen SSCC bukanlah cerpen yang 'kusayangi' dibandingkan beberapa judul lain yang ada di sana. Aku suka cerpen Kafe, atau Mencari Kubur Ahmad, yang kemudian wujud sayangku itu kuteruskan dengan menggubah Kafe dan Mencari Kubur Ahmad sebagai bentuk naskah pementasan. (Yang butuh naskah monggo kontak aku.)
Aku hanya menyerap SSCC, mengukirkannya sebagai judul buku, lalu sudah. Dia kubiarkan teronggok begitu saja. Di satu sisi aku tak percaya diri mengungkapkan kehendakku atas cerpen itu, di sisi lain, aku merasa SSCC sudah cukup sebagai sebuah gagasan. Aku tak punya tugas apapun lagi atas cerpen itu. Dia mesti tahu diri, toh tak aku buang tapi aku sematkan dalam buku yang kubanggakan. Cukup.
Namun (huh, aku tak terlalu suka menggunakan kata 'namun', tapi berkali-kali sudah kupakai dalam tulisan ini.), lihat poster berikut ini :
Hera mengubah 'anak tiri' ini menjadi calon berlian. Saat gadis kerempeng ini datang ke kantorku dan bilang,"Mbak, aku mau membuat pementasan berdasar salah satu cerpen mbak Yuli." Aku sudah menduga dia akan mengambil Kafe, atau cerpen-cerpen dalam Daun-daun Hitam. "Yang mana?" Dia dengan yakin menjawab,"Salah Satu Cabang Cemara." Eh. Aku sempat terdiam sebentar. Kurang begitu suka dengan pilihannya, tapi toh itu cerpenku juga, jadi aku jawab,"Ok. Mau kau baca sebagai monolog?" Nah, ini yang kemudian membuat aku lebih berkobar saat aku mendengar dia mulai bercerita tentang konsep-konsep kepedulian, anak-anak, masyarakat miskin, kebangsaan, perempuan-perempuan, nilai-nilai sosial, dan seterusnya-dan seterusnya.
How can Hera found the value from SSCC like as her said? Aku ndak ngerti. Aku mengerutkan kening. Aku berusaha keras memahami jalur pikirannya. Sering banget dia lompat dari sebuah gagasan ke gagasan lain. Aku tak paham. Aku pasrah,"Kau tahu yang terbaik. Semangat. Lakukan."
Aku kenalkan dia dengan beberapa orang. Aku ajak dia masuk dalam jaringan muda seni di Lampung kembali. Aku coba mendengarkan dia walau ndak paham seratus persen. Huft. Akan jadi seperti apa SSCC di tangannya? Aku kuatir, juga penasaran. Aku menahan diri terhadap ajakannya untuk datang melihat latihan. Aku tak mau intervensi. Tak mau mencampuri pikiran dan gagasannya walau sesekali mulut sok tuaku ini bocor juga.
Lalu terjadilah hari itu di Dawiels Cafe Bandarlampung menjelang hari Kartini, 20 April 2017 malam. Aku skeptis. Aku tak percaya SSCC bisa 'jadi', tapi aku gembira pada moment itu. Gembira melihat poster itu tersebar, dan aku datang dengan bahagia. Untuk Hera and the ganks, juga untuk SSCC, juga untuk diriku sendiri.
Sejumlah 50 an orang hadir dari berbagai kelompok. Sebagian tak kukenal, sebagian kukenal dekat, sebagian lagi kukenal sebagai jaringan. Aku menanti dengan sabar pementasan SSCC. Hera dan kawan-kawan sengaja sekali membuat pementasan itu sangat lambat rasanya di bagian awal dengan puisi-puisi, kata sambutan dan lain-lain. Aku tegak saja terpaku menunggu sampai kemudian saatnya SSCC.
Aku berurai air mata. Aku masuk dalam cerita itu seperti akulah sang tokoh. Ya, aku memang penulisnya. Akulah tokohnya. Akulah pembacanya kini memakai telinga-telingaku. Bunyi-bunyian di dari SSCC mengalun menjadi tanya. "Akukah penulisnya? Akukah tokohnya? Akukah pembacanya?"
Hatiku meledak-ledak sampai di belahan bumi lain, tempat cerpen itu dialami oleh tokohnya. Di tempat yang jauh, yang berjarak dari Indonesia, yang obyektif sekaligus subyektif terhadap perempuan-perempuan Indonesia. Aku tak bisa tidak mengakui, Hera mampu membunyikan SSCC melampaui ekspektasiku.
Maafkanlah soal teknis, teori teatrikal dan lain-lain. Ini baru latihan pertama bagi Sun Love Community, Hera dan kawan-kawan. Aku tak peduli itu.
Aku peduli pada manusia-manusia yang membunyikan tokoh dan suasana dalam SSCC. Aku salut dan mengucapkan semangat untuk mereka. Saat itu, malam itu juga, aku yakin SSCC adalah pilihan yang tepat untuk dibawa ke ruang-ruang lain, dan siapa yang akan membuktikannya? Bukan aku. (Belum selesai, nanti lanjut lagi, sabar.)
No comments:
Post a Comment