Dimulai dengan panggung yang gelap. Ketika mulai terlihat, ada satu tokoh di sudut depan, dan satu di sudut belakang. Plus 8 orang duduk. Yang di depan dan belakang saling bicara sampai pada puncaknya 8 penari itu menghentak. Itulah awal pentas.
Selanjutnya dialog dan tarian berselang-seling, menjadi alur, menjadi konflik, menjadi akhir... Hmmm....
Aku akan tahan komentar yang lebih banyak. Aku mau angkat satu adegan yang kusukai, yaitu bagian setelah adegan kematian. Setangkai mawar ditinggalkan di tanah. Hanya mawar yang tersisa dari kematian, dikelilingi para penari Sigeh Penguten. Tarian yang seringkali dipakai untuk menyambut tamu kehormatan ditarikan oleh lima orang penari, tidak dengan kostum meriah seperti biasanya dengan mahkota siger, tanggai penghias jemari, tapis penutup tubuh, kebaya putih cemerlang, dan sebagainya, tapi mereka menggunakan baju hitam tanpa perhiasan dan wajah nyaris tertutup semuanya oleh anyaman bambu.
Bau dupa yang harum menyebar dari tarian ini mengiringi gerakan Sigeh Penguten yang berulang-ulang. Hmmm... ya, spontan pikiranku sampai pada pesta penyambutan tamu yang datang. Kematian pun serupa kedatangan. Jiwa yang datang di sebuah dimensi, setelah meninggalkan serupa kelopak mawar saja menggantikan raga. Jiwa yang datang dalam misteri, hmmm.... ya, tentu akan menerima penyambutan yang agung juga.
"Akhirnya,
waktu menumpas kita
dan cinta adalah alasan sementara
supaya kita merasa nyaman."
(Kalimatnya tidak persis, aku lupa... Entar pasti nemu teksnya untuk koreksi kalimat-kalimat ini.)
No comments:
Post a Comment