Palinten menangis di pinggir jalan sepagi ini. Memerah kelabu pipinya yang tirus. Tangannya sibuk mengusap seluruh matanya yang tak henti membanjir.
"Jangan sedih, Palinten." Aku duduk di sampingnya. Mencoba meraih tubuhnya yang meliuk lemas, seolah harapan hanya ada di ruang rindu, jauh tak terjangkau.
Tanpa satu suara pun Palinten menyusut air yang sudah tumpah di rongga hidungnya. Menjadi nafas yang sesak.
"Jangan menangis, Palinten." Aku tahu aku tak kan bisa menghiburnya. Belasan tahun dia sudah hidup di jalan kota ini. Bersanding dengan segala debu dan kelabu.
Tanpa suara, Palinten menarik nafas panjang. Aku tersedot dalam kenangannya, belasan silam di pinggir sawah. Saat aku mencium bau lumpur langu di seluruh wajahnya yang segar penuh tawa. Dimana wajah yang itu, Palinten?
"Jangan... eh, Palinten." Aku terdiam. Tetap di sampingnya, menahan hidungku dari bau knalpot yang terus menguar, mencemari wajah Palinten. Aku tak kan sanggup menciumnya. Maafkan aku, Palinten.
Palinten atau di beberapa tempat di Jawa sebut bunga telekan. Bunga indah dengan bau kayak 'telek'. Dulu banyak tumbuh di pinggir hutan, di sawah, kebun dll. Sekarang banyak ditanam di trotoar, taman walikota, pembatas jalan, halaman hotel, dll. Indah, dengan bau yang langu. Ada yang tahu?
ReplyDelete