Hari Kamis seperti biasa adalah hari yang sibuk. Makanan empat sehat lima sempurna mesti siap untuk bekal anak-anak ke sekolah. Dan setiap hari selalu seperti biasa, bangun pagi pukul 5.30 atau 6.00 sudah menjadi prestasi bagiku. Masak bobor pakis, goreng tahu. Rencana bikin dadar jagung dibatalkan. Gak keburu, jadi Mas Hendro pun turun tangan bikin telur dadar (telur dadar bikinan Den Hendro ni paten, tiada bandingnya). Masih ada sisa rawon kemarin sedikit, cukup untuk sarapan, plus kerupuk. Nah udah buru-buru begitu, si Bernard bikin perkara.
"Tidak mau makan kalau tidak pake mi!"
"Nard, ibu sudah masak. Nanti siapa yang makan?"
"Ibu saja yang makan!"
Wah, tandukku langsung keluar.
"Ya sudah kalau kalau gak mau makan. Mas Albert saja yang ibu suapi."
Dengan manis si abang duduk di depanku, dan manut makan dengan suapan besar. Sepiring penuh. Bapaknya berangkat duluan, dan aku masih mesti membereskan anak-anak ini. Urusan mandi pun mesti 'diskusi' dulu beberapa lama. Padahal, aduh anak-anakku, lihatlah jam itu. Sudah mepet.
Udah beres semua, mau berangkat, malah si Bernard nyletuk,"Kan aku belum makan, bu. Makan dulu." Nah, terpaksa aku jitak (tidak keras, tenang aja) dulu anak ini. Tapi kali ini dia manut, makan sepiring pake rawon dan telur. "Kan kalau terlalu sering makan mi bisa keriting kan, bu?" Hehm...aku tak mau menjawab. Albert yang menjawab,"Keriting otaknya, dik. Jadi gak pinter. Iya kan, bu?" Hehmm...aku tak mau menjawab juga.
"Ibu ini kok hehm, hehm terus. Ngomong dong bu."
"Hehmm..."
Mereka berdua pun sekongkol menggoyang kepalaku dan membuka mulutku.
"Sampe ngomong dik, goyang terus."
"Hehmmm..."
"Cium aja, mas. Lehernya. Biar geli."
Dan mereka berdua mengeroyok leherku hingga aku teriak-teriak kegelian. Ah, mereka ini...
Pura-pura marah aku berkacak pinggang.
"Cepat matiin tivi, ambil tas, dan keluar!" Berebut mereka baris dekat motor dengan wajah secerah bintang kejora. Tanpa dosa. Bertiga kami bikin tanda salib, dan ngebut...
No comments:
Post a Comment