Saturday, February 14, 2009

Cinta

Cinta sering menyamar menjadi apapun sesuka hatinya, betapa aku gemas melihatnya. Bayangkan, kemarin dia menjelma menjadi malam. Dengan jubah-jubahnya yang temaram dia menempelkan tubuhnya ke tubuhku. Bibirnya merayu mengajakku berdansa. Bagaimana aku bisa menolak? Aku mengikuti gerak tubuhnya, 22.00, 23.00, 24.00, dan seterusnya hingga dini hari aku menari bersamanya. Melekat pada liuk tubuh basahnya bermandi renjana.

Pagi ini cinta menjelma menjadi cawan. Dia menawarkan mawar dan coklat. "Ambillah nanti dari bibirku," janjinya. Aku meregang dalam asa,"Andai sekarang. Tidak bisakah?" Bisikku pelan-pelan takut mengganggu keheningannya. Aku haus minum dari bibirnya. Dia menegak mengokohkan dirinya dalam siku-siku yang tak terjangkau. Dan sejurus kemudian dia memelukku, kembali dalam rayuan,"Aku ingin. Aku berharap."

Cinta melenggang pergi ketika siang berlalu. Aku tersenyum menatap genggamanku sendiri yang terisi janjinya, bahwa dalam waktu dekat akan datang lagi. Jangan menghitung tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik. Aku hanya perlu tersenyum, karena aku pasti mengenalinya dalam penyamaran apapun yang dia kenakan.

(Aku ingin menyakinkan diriku : apapun adalah rahmat.)

1 comment:

  1. yah memang kadang cinta memaksa kita untuk terus mengejar nya, tapi kadang juga ia harus berdiam diri dan membisa kala cinta itu menjadi hanya sekeping harapan.

    yuli pa kabar nich ?
    yul gimana persiapanya untuk nanti di lampung ?
    sampai ketemu nanti di lampung ya

    ReplyDelete