Saturday, January 17, 2009

Rayuan

Semalam aku tidak mau menggaruk punggung Albert. (Ini kebiasaan anak-anakku sebelum tidur, yaitu digaruk atau digosok punggungnya sampai mereka terlelap.) Dia protes berat awalnya, tapi aku menjelaskan dengan penekanan soal hak dan kewajiban.
"Kalau Mas Albert tidak mau menjalankan kewajiban, maka tidak akan mendapatkan hak." Matanya melotot padaku tidak terima. Tapi dia menghentikan protesnya karena memang dia tidak mau membereskan mainannya sejam yang lalu, malah berantem dengan adiknya soal siapa yang seharusnya membereskan mainan-mainan itu. Dan dia sudah terlanjur janji dengan pongah tidak akan minta apapun pada aku, ibunya, yang sudah membereskan mainannya (sambil mengoceh).
Beberapa menit kemudian dia merapat padaku yang sedang berbaring, berSMS dengan seorang teman. Tubuhnya dilengketkan padaku.
"Ibu tidak mau dekat-dekat dengan Mas Albert. Sana tidur saja."
Dia pura-pura tidak mendengar, tapi malah melingkarkan tangannya pada pinggangku.
"Kalau ibu bergeser, Albert akan tetep lengket."
Dan itu memang dibuktikannya. Dia ikut kemanapun aku pergi. Memegang bagian manapun dari tubuhku yang bisa dipegangnya. Aku berdiri dia pun berdiri, kalau aku duduk dia duduk. Aku berbaring dia ikut merapat di punggungku.
"Sudahlah, Bert. Tidurlah. Ibu tidak mau menggaruk punggungmu."
"Mas Albert tidak mau tidur kok. Cuma mau dekat-dekat ibu."
Matanya yang memerah tentu lebih jujur. Dan adiknya sudah lelap dari awal ke alam mimpi.
Kemudian dia bercerita tentang mimpinya semalam. Lalu tentang rumah temannya si Yogi. Dia bercerita juga tentang kalender, tentang Uti, tentang surat dari sekolahnya...
"Tahu gak ibu kalau..."
"Kenapa sih bu..."
"Siapa bu..."
Celotehnya tidak berhenti mencoba mengambil hati. Aku pura-pura jual mahal.
"Ibu lagi pengin sendiri, Bert. Jangan ganggu."
Dia pun cerita lebih semangat. Dia bertanya tentang segala macam, bahkan yang aneh-aneh. Mau tidak mau aku melunak. Aku berbaring dekat bantalnya. Dia mengikuti dan kemudian dengan wajah manis tanpa dosa, berdoa, entah apa. (Dulu aku pernah tanya dia berdoa apa kalau malam sebelum tidur. Dia bilang,"Itu rahasia. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.")
Begitu dia berbaring, aku menyusupkan jariku ke dalam bajunya, menggerakkan tanganku ke punggungnya, dan tidak sampai pada garukan ke 10, tidak ada lagi suara dari mulutnya. Yang ada adalah desisan pulas, dan puas, karena dia sudah mendapat apa yang dia maui.
Aku mencium pipinya yang bau buah pepaya. (Pasti dia tidak cuci muka tadi setelah makan pepaya hasil kebun.) Menutup pintu kamar pelan, lalu ngelesot depan TV, nonton Godbless di MetroTV.
Ah, selamat malam anak-anakku. Mimpilah kalian dalam lelap. Malam-malam ibu masih panjang.

No comments:

Post a Comment