Aku akan cerita sekilas dulu kemana saja aku selama dua minggu terakhir ini. Detail plus foto-foto menyusul.
17 Desember 2008 Aku bekerja seperti kesetanan. Hingga pukul 21.00 tet, beres! SMS boss begini begitu, langsung keluar kantor. Hujan deras. Aku pakai mantel mampir di Kemuning untuk pamit dan minta sangu (maksudnya!), tapi satu jam yang capek dan bau asem belum mandi dan basah kuyup. Pukul 22.00 menerabas hujan, pulang. (Rupanya kamera n jaket malah ketinggalan di Kemuning. Payah.)
18 Desember 2008 Mencari tiket pulang mudik hari itu juga, dapat bis ekonomi Puspa Jaya. Beli 4 kursi. Aku membayangkan capek tapi rupanya perjalanan cukup ternikmati. Panjang, 30 jam kemudian baru tiba di Kediri. Hanya 150.000 rp per orang.
19 Desember 2008 Pukul 23.oo tiba di Pasar Gringging dijemput Pak Sam, bapakku. Ah...rumah...mencairkan segala kangen dengan peluk bapak ibu, mbak Lis dan ...rumah...
20 Desember 2008 Di rumah saja. Ngobrol, masak (ya tetap kebagian ini. Ibu mengantar para cucu, dan seluruh anggota keluarga lain tetap pada aktifitas masing-masing.)
21 Desember 2008 Ke Gereja bersama-sama. Anak-anak dan bapaknya plus keluarga mbak Lis ke bendungan Mbadug. Pulang mereka bawa belut matang dan hidup.Ibu sama bulik2 belanja Natal ke Kediri. Bapak plus orang-orang kring mbuat gua di gereja.
Aku membongkar 'harta'ku di kamar depan. Puisi, buku harian, foto, cerpen, surat dll. Aku hanyut dalam kenangan. Tertawa, nangis, sepi, jadi satu. (Aku ditemani oleh romantisme. Berdua bersamanya aku menggelinjang dalam rindu yang dalam. Lalu minum kopi panas dari gelas yang sama, dalam pelukan mesra. Menguapkan rasa.)
22 Desember 2008 Hari ibu. Aku menemani anak-anak ke pameran di Simpang Lima (Paris van Kediri) naik kereta wisata (kereta-keretaann) lewat sawah, sungai, Gudang Garam, dll. Satu jam kena panas dan angin. Pulangnya makan di alun-alun Kediri. (Ni tempat nongkrongku malam-malam belasan tahun lalu kalau pulang dari Malang larut malam, nunggu jemputan Bapak atau Mas Yok)
23 Desember 2008 Ke Gunung Kelud berdua dengan Mas Hen. Wah, tempat yang indah. Dan sepanjang 600 anak tangga aku menemui ribuan Edelweis kuncup. Tak puas-puasnya. Turun gunung nongkrong di warung menyeruput kopi susu dan semangkok mi rebus sambil melihat hijau. Luar biasa. Pulangnya ngantar seluruh anak yang ada di rumah (Albert, Bernard, Yos dan Joan) ke salon, pangkas rambut. Aku sendiri krembat deh. Enak dipijit begitu.
24 Desember 2008 Hanya untuk mempersiapkan Natal. Tidur. Tidak kemana-mana. Bulik Sri dan keluarganya datang. Jadi lebih rame lagi. Misa pukul 18.00 berombongan.
Puluhan pesan datang. Sebuah pesan tak bisa kubalas :
Natal datang setiap tanggal 25 Desember, tapi esensi Natal adalah Tuhan hadir. Bukan hanya setiap tanggal 25 Desember dapi setiap hari. Semoga kamu sekeluarga selalu diberkati dan mengalami kegembiraan Natal.
(Aku membaca pesan ini dalam bayang-bayang cemara. Aih...)
25 Desember 2008 Adalah hari yang sibuk dengan ratusan tamu besar kecil. Makanan, minuman. Juga bingkisan-bingkisan untuk tamu-tamu kecil.
26 Desember 2008 Pernikahan Sulis di gereja. Usai itu jalan ke Gua Maria Pohsarang berempat (bapak ibu n keluarga Mbak Lis ikut ke resepsi pernikahan). Lalu berputar-putar kesasar mencari Gua Selomangleng tidak ketemu. Tapi dapat pemandangan super asyik dan cantik.
Pukul 22.30, serombongan besar berangkat ke Lumajang, disopiri Mas Yud. Penuh sesak di dalam Kijang buyut Inova. Tua namun masih tangkas, kebanggaan bapak Samiran.
27 Desember 2008 Disergap dingin Senduro di lereng gunung Semeru. Hujan abu pula. Puri Wisma Rengganis kediaman Bapake Mas Hen, Pak Suliham, rame full kamar-kamarnya oleh semua keluarga. Keluarga Mas Pris dan Atik juga datang. Untung ada belasan kamar di sini dan tidak sedang ada tamu-tamu yang menginap. (Biasanya ada tamu-tamu dari luar daerah yang datang berkunjung di Pura Mandara Giri Agung, menginap di Purinya bapak. Cukup rame pada hari-hari tertentu.)
28 Desember 2008 Pagi wajib ke Pura. Untuk berdoa. Bukan sebagai Hindu tapi sebagai manusia yang mengakui kebesaran Hyang Widhi. Usai itu Bapak dan ibu Samiran balik ke Kediri. Sedang keluarga Suliham berkunjung ke makam ibu. Ibu yang belum sempat aku kenal tapi aku akrabi nisannnya. Teresia Budi Suparmi. Aku memimpin doa untuknya dengan wewangian bunga dari kebun sendiri. Usai itu berbondong ke kebun Pak Suliham yang berpondok hebat penuh dikelilingi kopi, cengkeh, kepala, pisang dll. Albert Bernard puas minum air kelapa dan membakar apa saja termasuk singkong dan pisang. Bisa membayangkan?
29 Desember 2008 Makan di warung Mbok Haji, Lumajang. 12 orang hanya menghabiskan 102.000 rupiah super lezat. Rawon, soto, nasi campur, dawet, es sirup...dll. Lalu anak-anak main di alun-alun sedang aku, Ninik dan Atik berburu batik dan petis Madura. Juga makan jajanan di Orion sampai puas.
30 Desember 2008 Rencananya hanya mau tiduran. Tapi malah main sama Gebi, si centil. Sedang Albert dan Bernard hujan-hujanan sampai biru seluruh muka dan badannya hingga sore. Malam berkunjung ke bulik dan bude untuk pamit beberapa menit sembari pengin merem, mengantuk.
31 Desember 2008 Dari pagi membereskan rumah super besar itu plus persiapan ke Malang. Perjalanan pagi yang asyik lewat Selatan, mampir di Pronojiwo menyantap salaknya yang super besar dan manis lalu lanjut di Malang. Tiba di rumah Atik pas hujan dan ada penjual bakso lewat. Wah, kemaruk bener makan baksp Malang yang terkenal mak nyus.
Aku menyempatkan diri keramas di salon karena rambut sudah tebal kena abu Semeru sedangkan untuk mandi saja tidak tahan dinginnya. Makan malam, lalu tidur hingga tahun berganti. Tanpa terasa.
1 Januari 2009 Pukul 2.00 sudah berada di mobil menuju Juanda. Jam 6.00 terbang dengan Sriwijaya ke Jakarta. Harga promo 350 ribu rupiah per orang. Selanjutnya? Naik angkot mobil koperasi bandara 4.000 rupiah per orang ke Kali Bokor. Oper Kopaja ke Kalideres 2.500 rp. Naik Bis ke Merak 14.000 rp. Kapal Feri 10.500 rp. Lalu travel 40 ribu rupiah sampai di depan rumah. Murah ya?
Tiba di rumah, mandi, makan pakai telur (Makasih Wak, sudah dimasakin nasi dan air.) Lalu tidur...penuh mimpi...
(Sapaan embun malam membuatku berkacak pinggang dan berkaca-kaca, antara marah sedih gembira :
Hatiku tak seputih salju, tutur kataku tak semanis madu, tapi seuntai doa dan ucapanku kan menghiasi hari indah ini. Selamat tahun baru.
Dia tidak tahu kalau aku sangat merasa kehilangan saat-saat bisa merabanya berhari-hari terakhir ini. Padahal setiap saat aku telanjang di hadapannya menanti sebuah kesempatan untuk bercinta. Dimana kau, embun malam?
Bagus jika hatimu coreng moreng dan bahasamu berantakan. Dengan begitu ada proses ilahi yang bisa membentukmu menjadi seperti apa nantinya. Terserah.
Aku menjadi sebuah gumpalan keras tanpa tahu kapan bisa meleleh, menguap atau menyublim. Dimana kau, embun malam?)
No comments:
Post a Comment