"Apa embun bisa membasahimu?"
Duduk sebentar, teman. Mari duduklah jika bertanya hal itu padaku. Lihatlah padaku sekarang ini dengan mata dan seluruh pancainderamu. Engkau lihat permukaan tubuhku, yang luas seluas seluas angkasa. Engkau lihat kedalaman tubuhku, yang dalam sedalam cakrawala.
Duduklah dulu, teman. Mari lihatlah pada embun di ujung daun penciumanku. Cair seluruhnya tubuh telanjangnya itu. Cemerlang berkilauan karena pantulan cahaya sekitarnya. Setitik beratnya menggayut kesejukan.
"Apa embun bisa membasahimu?"
Sabarlah, teman. Tetaplah duduk. Lihatlah! Aku dengan seluruh tubuhku punya hujan-hujan beraneka ragam yang membuatku basah hingga kuyup. Bisa setiap saat. Hujan-hujanku punya telinga yang peka pada panggilanku.
Sabar sebentar, teman. Lihatlah! Embun hanya membasahi satu satu titik dalam tubuhku, persis di tubuh rawanku. Dia datang tanpa aku panggil. Dan akan pergi tanpa aku suruh. Aku tak melihat apakah dia punya telinga atau tidak untuk menangkap panggilanku.
"Apa embun bisa membasahimu?"
Baiklah. Aku sudah basah karena hujan-hujanku. Menurutmu, apakah aku bisa lebih basah lagi oleh setetes embun? Bisakah aku membandingkan hujan dan embun? Maukah engkau merasakan apa bedanya hujan dan embun?
Baiklah. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi aku menawarkan padamu untuk datang melihat sendiri embun di tamanku, musim apapun. Bahkan bunga belum mekar pun akan lebih indah karena setetes embun. Percayalah!
No comments:
Post a Comment