Bangun sangat telat, pas 06.30 pada Minggu 4 Januari 2009, membuatku bertubrukan kesana kemari. Aku janjian dengan Indri pada jam yang sama untuk berangkat ke Pringsewu tempat acara anak-anak muda SSV, di La Verna, sekitar 1 jam perjalanan dengan Mio. Pasti dia sudah menunggu. Anak-anak belum bangun hanya aku cium dengan jari-jariku, dan langsung ngampiri Indri . Ternyata setali tiga uang, dia juga kesiangan. Jadinya pukul 07.00 kami baru berangkat, boncengan.
Perjalanan cukup asyik ke arah Pringsewu membuatku sangat segar, meruntuhkan sedikit demi sedikit sisa sengsara semalaman akibat kecanduan (something someone somewhere tidak jelas). Berbagai ilham muncul berhamburan dalam pacuan Mio yang hanya 50 - 60 km/jam. Ngebut sedikit lagi pasti aku tiba duluan di surga atau neraka. Lha gak konsen. Tepat pukul 08.00 tiba di lokasi, sarapan nasi bungkus bersama anak-anak SSV. Untun dapat sarapan, karena perutku sudah menuntut kebutuhannya. Dan pukul 09.00 aku berdiri tegak di hadapan mereka.
Dari obrolan ketahuan mereka hanya tidur beberapa jam karena semalam acara berakhir sekitar pukul 03.00 dan 07.00 mereka sudah mulai kegiatan pagi. Maka 80-an anak muda itu aku ajak untuk tidur bersama. Hehehe...aku juga ikut. Berbaring 5 menit, badan relaks, mata tertutup, tanpa suara...istirahat. Hah, jangan ketiduran. Maka aku minta mereka bangkit setelah sebelumnya molet dulu sepuasnya.
Aku awali sesi dengan membagi dalam kelompok-kelompok. Jumlah yang sangat besar seperti ini dan usia yang beragam mulai dari SMP, SMA hingga pekerja, sangat menyulitkan. Sepuluh kelompok, masing-masing harus mendiskusikan : mencari satu bunyi yang disebabkan oleh sesuatu benda yang bergerak. Misalnya bunyi motor ngebut nabrak seng yang menjadi rumah kucing. Bunyinya kira-kira : brruuuummmm....brummmm....krosak prang...ngeongg..
Nah, macam-macam suara terbentuk. Setelah itu aku jadi mayoretnya yang menabuh mereka satu persatu sehingga ada paduan suara.
Okey, usai itu, duduklah mereka semua. Aku lontarkan pertanyaan :
- Apa yang mereka rasa n dapatkan? Jawaban segala macem...
- Apakah ada komunikasi tadi dalam kelompok?
- Apa kendala dalam penentuan kesepakatan?
- Faktor apa yang membantu?
Nah, dari jawaban-jawaban mereka, aku rangkai dalam teori komunikasi. Ada dua pihak, ada pesan, ada penyampaian pesan, ada tanggapan,...bla-bla-bla. Syaratnya mendengarkan, terbuka, kompromi,... bla-bla-bla.
Lalu karena mereka kelompok yang semua beragama Katolik aku ambil contoh komunikator ulung, Yesus. (Jika kelompok Islam aku pasti ambil Muhammad, jika Budha bisa ambil Sidharta Gautama, jika Hindu ada Krishna, dll). Yesus melakukan komunikasi dengan banyak gaya. Berbicara langsung dengan banyak pihak dengan banyak cara, dan sangat tepat pada situasi masing-masing. Tidak hanya menghimbau, kadang bercerita, kadang memakai perumpamaan, kadang memberikan kritikan pedas, memberikan perintah, nasehat dan sebagainya. Selain itu juga dengan bahasa tubuh, tindakan-tindakan, ekpresi emosi, dan sebagainya. Yang pasti komunikasi dilakukan Yesus ke segala arah, penuh belas kasih.
Begitulah, hingga pukul 11.00 'kotbah' aku sudahi.
Mereka memberiku sebuah tanda mata yang menarik, sebuah buku berjudul Left to Tell. Kisah nyata dari Immaculee Ilibagiza, seseorang yang tertinggal dari suku Tutsi dalam pembasmian suku di Rwanda. Aku sedang mulai membacanya. Thanks, teman-teman SSV. Aku yang dapat banyak dari kalian. Maaf jika hanya memberi sangat sedikit.
No comments:
Post a Comment