Aku ingat dari kecil aku suka melihat pertunjukan. Di lapangan dekat rumah Kediri, setiap ada ludruk atau ketoprak pasti aku akan merengek minta nonton. Apalagi kalau yang main Wijayakusuma, Siswobudoyo, Kartolo dll. Harus minimal satu atau dua kali nonton. Tidak bisa tiap hari, karena harus belajar, jatah duit terbatas, gak ada yang bisa menemani dan berbagai alasan dari bapak ibu. Maka bapak dan ibu akan memilihkan kira-kira hari apa bisa menonton bersama. Judul yang mana yang akan main seperti Jaka Tarub, Anglingdarma, Sam Pek - Ing Tay, Lutung Kasarung, Tuyul dan Mbak Yul eh bukan ya...
Nah intinya aku akan terpesona berat memandang panggung pertunjukan. Aku suka yang terang gemerlap bercahaya. Jadi ingat kalau bapak ibu sering cerita kalau aku suka melihat pelaminan kalau diajak kondangan pernikahan. Ada fotoku usia 2 atau 3 tahun digendong bapak yang membuktikan cerita itu. Dalam gendongan bapak, dengan mata sembabku habis nangis karena kata ibu sebenarnya mereka malu mengantar aku dekat pelaminan yang didatangi ratusan tamu apalagi tamu terhormat, namun berbinar melihat yang gemerlap. Karena aku maksa nangis gak berhenti-henti maka bapak menggendong aku untuk maju dekat pelaminan melihat janur, bunga, lampu dll, dan seorang teman bapak mengabadikan peristiwa itu.
Hingga remaja saat aku yang introvert pendiam, pun bisa terpana berjam-jam melihat panggung gemerlap. Ludruk dan ketoprak sudah semakin jarang, tapi ada panggung-panggung lain. Semakin banyak jenisnya dengan bertambahnya usia dan pengalamanku.
Saat ini pun aku masih suka melihat panggung pertunjukan. Tempat yang lampunya kelap-kelip kadang menyala kadang gelap dengan frekwensi dan jeda yang tidak tentu. Dengan benda-benda penghias di situ dan juga orang-orang yang bergerak kesana kemari dengan irama dan suara yang sudah ditata. Sesekali terwakili pada film-film, drama, teater, konser dsb.
Ada satu panggung yang sekarang ini sedang aku lihat. Panggung kelabu tak ketahuan warnanya karena cahaya sedang diredupkan. Beberapa benda mati kaku gagu di beberapa sudut. Dan tokoh yang di tengah panggung adalah...diriku sendiri. Hilir mudik memenuhi panggung dengan segala suara. Dan satu-satunya penonton adalah...diriku sendiri. Duduk terpaku diam menahan kecewa karena sangat buruknya pertunjukan.
No comments:
Post a Comment