Friday, March 27, 2009

Bunga

"Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) sering kali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun, seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan, baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia." Oleh Gede Prama, Kompas, Rabu, 25 Maret 2009

Aku ingat pada masa beliaku, satu cita-cita aku tusukkan di ubun-ubunku dengan bantuan sepasang tangan tua yang aku panggil Bapak. Yaitu bahwa dalam satu saat aku akan menjadi bunga matahari mekar. Bunga dengan kelopak-kelopak kuning mengitari calon-calon benih di wajahnya. Memelihara ratusan biji hidup itu hingga bunting bernas. Menjadi bunga matahari mekar yang seluruh geraknya adalah gerak matahari dari pagi hingga sore. Tunduk pada kehangatan matahari semata, tidak yang lain. Hingga suatu ketika, saat benih itu siap tertebar, kelopaknya boleh melayu. Tak lagi indah tapi kaya dengan butir-butir kehidupan yang siap hidup ke segala arah, melanjutkan keabadian.

(Sekarang? Walah, teman, wajahku senantiasa bopeng bertopeng. Tapi aku tahu bahwa aku akan selalu mengusahakan langkahku menuju saat itu. Saat aku menjadi bunga matahari mekar.)

No comments:

Post a Comment