Monday, March 30, 2009

Via Dolorosa

Via dolorosa adalah jalan sengsara. Benarkah? Aku sedang mempertanyakannya. Tidak mungkin hanya diartikan seperti itu jika jalan ini menjadi jalan yang dipilih secara bebas oleh sebagian orang.

Seorang gembong gerombolan pejalan, anak tukang kayu, si gondrong yang aku puja setengah mati, yang awalnya memilih melalui jalan ini. Dia mengajakku berdansa dalam jalan penderitaan. Memintaku tertawa sukacita dalam sengsara. "Seperti itulah orang-orang yang berbahagia." Katanya lembut suatu ketika di bukit. Menderita, miskin dan sengsara jadi kriteria bahagia. Astaga, apapula ini.

Biasanya dia hanya ngakak kalau aku mempertanyakan kepadanya. "Cari dan temukan sendiri." Centil dia menggodaku sambil menunjukkan rekaman-rekaman jejak hidupnya dalam setumpuk file karya para muridnya, kalau-kalau aku mau menirunya.

"Aduh, berat. Mana mungkin aku bisa, sedang seluruh hidupku seringkali terpaksa?" Aih, aih, dia hanya memeluk cium lalu menegakkan punggungku (seringkali membongkok tanpa kusadar) dan menadahkan wajahku hingga lurus pada wajahnya. "Jangan takut." Bisiknya dalam bau pinus sejuk.

Lalu, biasanya dia mengajakku berjalan-jalan memperlihatkan dimana saja wajahnya bisa dilihat sewaktu-waktu, kapanpun aku rindu atau aku mau. Lorong-lorong yang tak mungkin kulupa, di jalan-jalan kota, di pematang pedesaan, di dekat hutan, di dekat sungai, di dekat laut, di pelosok jauh, di tumpukan sampah, di dalam pabrik, di penjara, rumah sakit, panti jompo, panti asuhan, rumah keluarga-keluarga, ...
Genggaman tangannya yang tak lepas membuatku tersenyum dalam basah air mata, terlebih ketika mendengar rayuannya. "Aku mengasihimu."
Aku sedang berusaha memahaminya, sabarlah.

1 comment:

  1. Saya senang dikunjungi, saya pun senang mengunjungi. Salam kenal,Mba yang puitis ini. hehe..

    ReplyDelete