PANTAI
CEMARA
Aku
menyebutnya pantai cemara
Sebuah
tepian kadang sesak dengan orang
Tapi
seringkali ditinggalkan
Banyak
perbincangan menjadi sebab
antara kehadiran dan kepergian
Seperti
sirine laut bagi pelayaran
Tak
ada rambu-rambu yang menjadi pembatas
Hanya
kompas di tangan juga sebuah dayung
Sesekali
jangkar menahan keras arus gelombang
"Tak
ada percakapan abadi," katamu suatu hari
Dalam
lambai cemara yang mencatat riuh hujan
Deru
angin, menerbangkan desah daun-daun
Di
pantai cemara
Sumbang
gemuruh ombak bagai merekam wajahmu
Sepintas
diretas musim dan layu ranting-ranting
Tak
tersentuh kenangan
Siang
belum paham,
liuk
cemara yang jatuh di karang.
Catatan,
080516
----------------
Meisya Zahida lahir di Sumenep, Jawa Timur, 29 Desember. Saat ini bekerja di Kantor UPK PNPM Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Baginya, menulis adalah cara paling indah untuk menuangkan isi hati,
mengungkapkan perih juga emosi. "Jangan pernah ada kata berhenti, sebab
berhenti adalah kekalahan, sebelum kau meraih mimpi." Begitu katanya.
Beberapa karyanya bisa dinikmati dalam beberapa buku, seperti Akar Rumput (Kampoeng Jerami 2016), Get Married (RosieBook 2016), Keteduhan Jiwa (2015), Sajak Embara (Rose Book 2016), Mata Cinta (Rose Book
2016), Akuarium Melankolia (Ruas 2015) dan sebagainya. Bisa disapa di akun Facebook
Meisya Zahida atau email meisyazahida414 @gmail com. Saat ini sedang menunggu buku kumpulan puisinya berjudul Jendela Tanpa Kaca, diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami, 2017.
No comments:
Post a Comment