Seseorang pergi ke pasar untuk menjual periuk tanah liat. Periuk itu hasil karya tangannya. Dia mengerjakankan berminggu-minggu. Dia ambil tanah liat pilihan yang bisa diambilnya dari dalam tanah, dicampur dengan air dalam komposisi yang tepat. Karena latihannya bertahun-tahun, dia juga tahu cara mengaduk tanah liat itu menjadi adonan yang tepat dan bagus. Itu soal bagaimana, berapa lama dan di mana.
Setelah menjadi adonan yang tepat, dia pun mulai memutar roda dan menyentuh tiap bagian calon periuk untuk mendapatkan bentuk yang paling dia ingini. Dia mesti melakukan hal itu dengan hati-hati. Putaran yang tak terlalu cepat juga tak terlalu lambat. Menghentikannya saat diperlukan, dan seterusnya.
Kalau sudah berbentuk seperti yang diingini, dia mengangkat periuk setengah basah itu ke tempat yang tepat untuk mengeringkannya. Matahari bisa membuatnya pecah, dan air akan membuatnya lembab. Dia harus bersahabat dengan cuaca sampai dia yakin periuk yang dia buat itu siap untuk dibakar.
Pembakaran adalah saat kritis yang selanjutnya. Panas akan menentukan seluruh hasil kerjanya. Kesalahan atau ketepatan dalam proses sebelumnya akan ditampakkan usai pembakaran. Retak? Utuh? Meliuk? Simetris? Pecah? Dan berbagai kemungkinan. Kalau dari awal sampai masuk dalam pembakaran bisa dianggap sebagai masa dikandung, nah dalam setelah pembakaran dia akan dilahirkan. Seperti itulah bentuk akhirnya. Tukang periuk yang ini bisa menambahkan cat tapi bentuknya sudah susah untuk diubah.
Dia pun pergi ke pasar dengan bangga. Menentengnya di pinggul dan menawarkan pada semua orang. Dia bangga pada periuk buatannya. Dia akan tunjukkan kekuatan dan keindahan periuk pada semua orang. Saat periuk itu mulai diangkat oleh pembelinya, dia masih juga menepuk-nepuk periuk itu dengan bangga.
Apa yang akan dibuat oleh pembelinya terhadap periuk itu setelah itu? Bukan urusannya lagi. Dia akan pulang dan mulai membuat periuk yang berikutnya, dengan hati-hati, dengan perhitungan, dengan bangga.
No comments:
Post a Comment