Karina Lin, kukenal beberapa tahun yang lalu. Entah di mana pertama kali ketemu, tapi yang yang jelas pasti urusan buku. Diskusi buku, bedah buku atau diskusi tema tertentu tentang Lampung. Yang kuingat aku bertemu dia di Fajar Agung, Lampung Post, Kampus Unila, hmmm... ya di tempat-tempat itu beberapa kali. Juga pernah bertemu di jalan. Sepertinya dia ini sering banget kulihat sedang berjalan kaki di seputaran Bandarlampung. Tubuhnya yang kerempeng mudah banget kukenali kalau sedang berjalan bahkan kalau aku dari arah belakangnya.
Apa yang menarik darinya dalam perjumpaan-perjumpaan awal? Dia ini ceplas-ceplos, tidak basa-basi. Bukan hanya saat mengemukakan pendapat, tapi juga ketika dia punya keinginan-keinginan. Beberapa tahun lalu saat bertemu di Fakultas Hukum Unila untuk sebuah buku, dia kulihat sedang mojok makan bekalnya. Saat aku sapa (mungkin dia lupa), dia mengatakan sekilas tentang... hmmm mungkin tentang mengapa dia bawa bekal? Atau mungkin tentang dirinya yang harus makan sesekali? Aku lupa persisnya.
Saat dia menunjukkan kumpulan esainya Lampungisme:
Sosiokultur, Alam dan Infrastuktur Bumi Ruwa Jurai aku sangat girang. Aku sudah beberapa kali membaca tulisannya itu di media massa, jadi sebagian seperti mengulang pemikirannya. Membaca kumpulan ini, aku seperti ditarik kembali untuk melihat Lampung. Iya, sehari-hari aku memang tinggal di Lampung, tapi seberapa besar aku 'melihat' Lampung. Huhuhu... Lin, thank you ya. Ini buku yang indah untuk 'nggoteki' supaya Lampung menjadi lebih indah. Buku ini diterbitkan tahun 2017 oleh Pustaka Labrak dengan editor Udo Z. Karzi, berisi tulisan Lin tentang budaya, politik, sosial dan infrastruktur di Lampung.
Membaca
buku Lampungisme: Sosiokultur, Alam dan Infrastuktur
Bumi Ruwa Jurai yang
ditulis oleh Karina Lin membuat saya seolah-olah duduk di samping Lin,
mendengarkan suaranya yang ‘cerewet’ mengisahkan bagian-bagian dari Lampung
yang pernah dia temui, pernah dia amati, pernah dia rasai. Sebenarnya bukan
hanya berkisah, karena seringkali yang muncul bukan hanya fakta, tetapi juga kritikan,
pertanyaan, protes, dan perlawanan. Pada beberapa tulisan, saya seperti terkena
kibasan tangannya yang sedang menunjuk ke berbagai arah sehingga saya tidak
mungkin tidur saat mencermati suaranya, tulisannya. Sepertinya Lin memang
sengaja menampar saya atau siapapun yang membaca tulisannya agar sadar dan terus
bergerak untuk menjadikan Lampung sebagai tempat yang indah dan manusiawi
dengan perkembangan sosial budaya yang signifikan dari masa ke masa.
Karina Lin lahir dengan nama Karina Eka Dewi Salim, pada 17 April 1983 (kau muda banget, Lin) di Tanjungkarang, Lampung yang juga sekaligus merupakan
tempat penulis berdomisili pada saat ini. Pada Maret 2009, lulus
dari Universitas Lampung dengan spesialisasi Pendidikan Sejarah. Sangat menyukai
dunia kepenulisan, di samping membaca, dan mendengarkan musik,
travelling, fotografi dan yoga.
Selama masa kuliah hingga sekarang, cukup sering mengikuti lomba-lomba
penulisan baik ilmiah maupun non ilmiah,juga menulis artikel lepas semacam (terutama) opini, cerpen dan
resensi buku. Beberapa lomba tulis menulis yang pernah diikuti,
misalnya Lomba Esai Japan (yang diadakan Japan Foundation Indonesia) pada 2006,
Lomba Esai Korea (yang diadakan Kedutaan Besar Republik Korea) pada 2004 dan
2006, Lomba Cerpen Majalah Femina
2006, Lomba Cerpen Lip Ice-Selsun Awards 2006, serta kompetisi menulis sinopsis
untuk Short Story Competition 2009 yang diadakan LA Indie Movie.
Pernah bekerja sebagai wartawan Harian Radar Lampung yang tergabung dalam Jawa
Pos Group (2010-2011). Bergabungnya penulis dengan media itu sendiri
berawal dari opini yang pernah dipublikasikan oleh harian tersebut.
Kemudian Juni 2013 menjadi wartawan di Harian Lampung Newspaper (Jawa Pos Group). Saat ini bekerja sebagai jurnalis
di media online duajurai.co (sejak
September 2015), penulis lepas (freelance writer) di surat kabar lokal dan nasional, dan tercatat
sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung.
Salah satu
esainya dimuat dalam buku mengenai lembaga kesenian di Lampung yang
berjudul Rumah BerwarnaKunyit: Polemik
Kesenian, Kesenimanan dan Lembaga Seni (di) Lampung (2015) (2015). Dalam kaitannya dengan Kota Bandar Lampung, saat ini penulis sedang berusaha mendirikan
Komunitas Greenmap Kota Bandar
Lampung
yang berfokus pada masalah perkotaan seperti kemacetan, sampah, polusi, dan lain-lain. Sedangkan dalam bidang kesejarahan, penulis mengkhususkan
diri pada sejarah peranakan Tionghoa Indonesia (dan di Lampung), sejarah seni
dan budaya dan sejarah politik. Alamat
korespondensi, email: lin.karina@yahoo.com / lin.karina83@gmail.com, Facebook: Sycarita Karina Lin, Twitter @KLin17. l
No comments:
Post a Comment