Saturday, December 09, 2017

Para Lelaki yang Tidak Menikah

Foto yang kupasang ini adalah hiasan janur yang terpasang pada salah satu tiang tenda dalam acara tahbisan diakonat di Way Kandis Bandarlampung, Jumat, 8 Desember 2017, yang kuambil persis sebelum aku pulang sekitar pukul 20.00. Tak ada foto lain yang bisa kupasang selain foto janur-janur ini, sedangkan salah seorang agenku sampai jam segini juga belum bangun untuk mengirim foto-foto yang kuminta.

Pasti bukan kebetulan janur-janur kuning ini dipakai oleh panitia sebagai penghias tenda, seperti juga mereka sepakat untuk memakai baju-baju daerah yang beraneka ragam sebagai dress code untuk menyambut dan melayani para tamu yang datang. Walau mungkin mereka tak pernah menyangka kalau rangkaian janur-janur inilah yang tertangkap oleh kamera ponsel Yuli Nugrahani sebagai inspirasi tulisan ini.

Acara kemarin itu sangat ramai. Pak Totok, seorang teman mengatakan : "Semuanya sesuai rencana, kecuali urutan makan malam dan rangkaian pentas seni yang memang harus ditukar. Rencananya makan malam akan diberikan pada penghujung acara sebelum pentas wayang dimulai, tapi melihat kondisi para tamu hal itu tak mungkin dilaksanakan." Jadinya memang makan malam nasi kotak beredar duluan. Itu saja yang berubah.

Ada 3.000 an orang kukira yang hadir di tempat ini. Tidak tahu persisnya. Aku mengiranya dari nasi kotak yang beredar. Ada 250 X 11 kotak yang beredar untuk tamu, masih ditambah jamuan prasmanan untuk VIP. Jadi kukira kisaran itulah orang yang hadir dalam hingar bingar semalam. Sangat ramai.

Tapi selalu, dalam acara seperti ini aku selalu menitikkan air mata. Keheningan, kesendirian dan kedalaman, dapat kurangkai simbolnya seperti rangkaian janur kuning pada salah satu tiang itu. Dia mencuat dalam gerakan yang lembut mengikuti angin, sedang sekelilingnya adalah keramaian dan waktu yang terus berjalan.

Suasana kontemplasi dalam keramaian seperti ini selalu aku dapatkan dalam upacara tahbisan entah diakon, pastur atau uskup. Di mana pun posisiku berada. Ingat jaman dahulu aku selalu memanggul kamera dan membaca notes kecil dan pena supaya aku tidak melewatkan moment menarik yang bisa kutangkap. Kali ini ini pun suasana seperti masih spontan menyergapku.

Lihatlah 5 laki-laki di depan itu. Mereka berjanji setia untuk hidup selibat, tidak menikah. Memilih cara hidup yang seberat itu dalam kehendak bebas mereka. Untuk apa? Mereka tidak sekadar memilih untuk tidak menikah seperti beberapa orang yang juga tidak menikah di luar sana. Dengan cara hidup selibat, mereka diharapkan menjadi tanda bahwa Allah dicintai melebihi segala-galanya dengan cinta yang tidak terbagi-bagi. Mereka akan menjalankan hidup di sekitar altar dalam pelayanan, tradisi iman, dan ketaatan.

Melihat mereka, aku selalu spontan menjadi ibu. Dipenuhi oleh kasih juga kasihan. Dipenuhi penghargaan sekaligus juga dukungan. Fr. Kris, Fr. Dista, Fr. Michael, Fr. Lukas dan Fr. Bagas, semoga kalian selalu dalam cinta bersama Allah yang sudah memulainya dalam hati kalian, hingga selesai nanti dalam kemuliaan. Ini baru tahap awal, masih banyak peristiwa yang membutuhkan perjuangan, tapi minimal hatiku, sebagai ibu, terus membawa kalian dalam doa.

Hiasan janur kuning dalam keramaian pun mereka tetap hening dan anggun bergerak. Mereka membuat tenda-tenda bukan hanya sebagai tempat bernaung, tapi menjadi waktu dan ruang yang indah. Begitupun keberadaan para diakon yang hanya sebentar itu, semoga begitu...

No comments:

Post a Comment