Tulisan sebelumnya
klik sini.
|
Air terjun Lembh Pelangi. Pelanginya di atas kepalaku tuh. |
Kalau suatu ketika kalian sempat pergi ke Lembah Pelangi, Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Lampung, pastikan bahwa kalian membawa kamera yang sudah siap untuk mengambil gambar-gambar alam nan indah termasuk gambar-gambar narsis di mana kita berbaur bersama dengan semesta. Bagiku sebenarnya agak riskan ikut dalam rombongan ini hingga menyusuri setapak menuju lembah mengingat vertigo masih mencengkeramku, membuatku berhati-hati melakukan gerakan menunduk menengadah dan sebagainya. Tapi herannya, aku tak ragu sama sekali untuk berjalan ke lembah usai memasuki gerbang Lembang Pelangi. Aku hanya memastikan dalam hati,"Asal aku bergerak pelan, berjalan pelan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, maka aku aman."
Dan itulah yang terjadi. Aku tidak tergantung pada orang-orang lain yang sudah berjalan duluan. Berjalan pelan melewati setapak di antara kebun kopi, udara dingin, pemandangan hijau, langit agak kelabu karena mendung, membuatku semakin segar dalam setiap tapak yang kulakukan.
Semakin turun, semakin jauh, aku semakin segar. Kukira benar apa kata Andri bahwa udara di kawasan Lembah Pelangi ini pekat dengan O2 yang segar, dan itulah obat utama bagi vertigo.
Sampai di persimpangan, aku memilih ke air terjun di atas. Kata pemandu, jalannya lebih landai dan di sanalah pelangi-pelangi terus menerus dikibaskan kalau ada percik air dan cahaya yang tepat. Sayangnya aku tak berani lebih jauh lagi melintasi bebatuan mendekat air terjun. Andri dan Eni yang sempat naik mengatakan,"Pelangi seperti bisa kita sentuh, Mak." Wah. Kalian sangat beruntung. Pun begitu aku menghibur diri dengan meyakini bahwa pelangi berkibaran di atas kepalaku saat aku diam beberapa lama di jembatan bambu menikmati percik dari air terjun.
Setelah kurasa cukup aku berjalan naik untuk kembali ke start. Tapi entah mengapa Pak Budi dari Antara sekilas bilang kalau ada jalan lain di seberang sungai yang konon lebih dekat untuk mencapai air terjun di bawah. Air terjun di bawah bercabang dua dan katanya ada sumber air panas. Wah, tergiur dengan informasi itu aku pun menyeberang jembatan bambu lagi dan mulai menyusuri jalan setapak di seberang sungai diikuti Pak Budi.
"Bisa lewat sini tapi jarang dilewati." Begitu kata seorang pemandu yang ada di seberang yang kemudian memastikan berjalan di depan kami, mendahului dan membuatkan jalan. Rizki, seorang relawan Kawan Tani yang membantu Rumah Kolaborasi mengikuti. "Biar aku di depan, mbak."
Huaa, untuk ada si Rizki ini. Karena ternyata jalan itu sangat curam, banyak yang licin, sebagian sudah mulai tertutup semak. Kalau Rizki tidak membantuku, juga kadang-kadang merelakan kakinya kuinjak, entahlah. Aku terpeleset beberapa kali, terperosok berulang-ulang... Huhuhu... Aku lupa kalau aku masih vertigo, tapi kukira aku memang ndak merasakannya. Ini agak mengherankan.
|
Bersama sepasang air terjun yang bersanding mesra. Hehehe... |
Di bagian akhir saat air terjun sudah kelihatan aku terpeleset lagi, dan terjatuh dengan sukses. Tanpa Rizki dan si abang pemandu aku ndak yakin bisa bangun sendiri karena kepala menggantung di atas semak sedangkan tubuhku terbaring di bebatuan. Hmmm...
Semua terbayar oleh keindahan Lembah Pelangi. Air panas yang katanya ada di situ rupanya sangat kecil sumbernya hingga nyaris tidak panas lagi. Dua cabang air terjun seperti sepasang mempelai yang bersanding abadi meneriakkan gairahnya terus menerus, menderu, menggebu. Huhuhu. Ini tempat yang romantis sekali. Hehehe... Diam beberapa saat di sisi dekat aku jatuh, lalu aku berpikir,"Bagaimana menyeberang nanti yo?"
Aku nih suka air, tapi aku juga takut pada air. Melihat arus yang deras, bebatuan yang besar, aku ingat pengalaman jatuh dari perahu karet di Kali Brantas dulu. Dan rupanya sungai ini cukup dalam. Terpaksa aku masuk air dituntun Rizki sampai seberang. Hmmm. Basah kuyup sampai sepinggul. Dalam hati aku bersyukur mengingat celana tidurku yang kering, yang masih bisa kupakai sebagai ganti selepas dari Lembah Pelangi.
Nah, aku tetap menerapkan : bergerak pelan, berjalan pelan. Karena untuk kembali ke lokasi parkir jalan akan menanjak cukup membuat nafas tersengal. Dan semuanya berjalan dengan aman. Aku rasa aku semakin sehat, dengan kepala full oksigen, dan hati full dengan keindahan alam.
Lihat saja foto-foto ini. Kurasa kalau suatu waktu nanti aku mulai mengeluh sebaiknya ada seseorang yang segera menyarankanku,"Piknik sana, ke gunung, ke air terjun, ke lembah..." Hehehe... Aku merasa jauh lebih sehat dari sebelumnya.