Setelah beberapa bulan sakit yang cukup parah, aku tak juga mendapat kesempatan untuk mengunjungi bapak. Kanker pada prostat dan batu ginjal membuat bapak terlihat sangat surut jika mengamati foto-foto yang dikirim Mas Hendro atau saudara-saudari kerabat dekat lewat WA.
Salah satu titik di B 29 Lumajang saat matahari terbit. |
Ninik, adik Mas Hendro yang di Lumajang beberapa kali menelpon. Aku merasa seperti sedang menunggu kelahiran tanpa terlalu jelas bagaimana dan mengapa. Saat pukul 04.00 Ninik menelpon lagi, aku sudah tahu kalau bapak sudah berpulang. Mas Hendro menandaskan kemudian : Bapak sudah tak ada.
Aku terduduk, diam. Sedih, tapi juga lega. Mungkin malah yang dominan adalah perasaan lega. Beberapa tetes air mata mengalir. Aku duduk menempel Mas Hendro yang juga diam. Baru kemudian aku membangunkan Albert dan Bernard sambil berbisik tentang kabar duka itu.
Ini bukan hal yang biasa kurasakan walau aku selalu melihat kematian adalah suatu kewajaran, kepastian. Menyamakan kematian dengan kelahiran rupanya bisa menjadi titik acuan pikiran-pikiran selanjutnya. Bukankah kematian menjadi gerbang untuk masuk ke 'alam lain' dalam penyatuan dengan Yang Ilahi? Bukankah kematian adalah awal bagi kehidupan abadi?
Misteri yang selamanya jadi misteri.
No comments:
Post a Comment