Friday, November 24, 2017

Masih Tentang Cinta

Mainou Island Germany, April 2017

Ini adalah puisi yang kubuat pada 24 Nopember 2015. Muncul lagi hari ini gegara Facebook menampilkan memory. Mesti kupasang di sini sebagai pengingat dan juga karena kaitan dengan crazy love yang kutulis kemarin. Ini semodel cinta gila. Saat dikatakan memang cinta itu terasa manis berlumur madu dan coklat. Nah saat dikerjakan ya potongan brotowali itulah rasanya.

TEORI SANG PERAMU
Sepasang pleci milik sang peramu mengabarkan semi
bertabur kuning kelopak-kelopak angsana
berderap di pintu rumah pemiliknya 
sebagai kabar sukacita bagi para petani.
Bersama dengan hujan pertama bulan ini
sebiji tekad dibenamkan dalam lumpur sawah
dan sang peramu berbisik di pipiku.
"Nak, cintamu tak mungkin disebut cinta
jika kau membutuhkannya."
Aku mengalihkan pandang pada kunyit
kapulaga, dedaunan dan akar-akar
dalam remasan tangannya.
Setetes sari memercik pahit di sudut bibir
lesap dalam sel-sel tubuhku.
"Tapi aku membutuhkannya untuk denyut semestaku."
Sang peramu mengatupkan bibirnya
menahan suara di ulir urat daun sirih.
"Aku mencintainya dan aku membutuhkannya."
Lolong yang tak kukenali menguar dari tenggorokanku
bercampur dengan isak tangis asing dari mataku sendiri.
Sang peramu bertahan diam
menyorongkan air perasan jahe dan gula jawa.
"Benarkah cinta yang murni itu terjadi
jika aku tidak membutuhkan orang yang kucintai?
Benarkah aku tak berhak memaksakan perpaduan cinta
dan membuatku bahagia?"
Sang peramu menggelengkan kepala
meraup segenggam biji juwawut,
melangkah ke ujung beranda.
Sepasang pleci miliknya menguatkan suara
bernyanyi lebih merdu untuk telapak yang penuh sajian.
"Aku peduli padanya,
ingin tersambung terus dengannya
ingin merasainya."
Setengah malas angin membawa bisikannya
tentang ukuran-ukuran, meteran dan alat timbang.
"Jika kebutuhanmu tak terpenuhi,
juga keinginan-keinginanmu membeku di ujung lidah,
dan nestapa menggenang di pelupuk mata,
masihkah kau ingin memberikan cinta padanya?
Atau kau sudah mulai mengikisnya?
Atau kau akan mulai menuntutnya?"
Sang peramu melemaskan tubuh di kursi goyang
menikmati dendang pleci dan mulai terkantuk-kantuk.
Diabaikannya sisa-sisa ramuan
ampas-ampas terbuang dan aku yang mulai terbatuk-batuk.
Ditunjukkannya segelas jamu berhias potongan brotowali
keruh beraroma menyengat di atas nampan pesanan.
"Untukmu."
Jemarinya bergerak pelan di gagang kursi
menyilakan tubuhku menerimanya.
Membiarkan penentuan-penentuan di mana kalimat digantung
pada koma pada titik pada tanda seru atau tanya.
Selama aku mempertimbangkan sajiannya
sang peramu telah membenahi letak tubuh
mengelesot bersandar pada pasak mahoni.
Lirih dengan nada bosan dia mengucap :
"Pulanglah."
...
24 Nopember 2015

Puisi ini belum kuedit lagi setelah setelah lewat dua tahun. Sementara kuanggap kalimat-kalimatnya memang cocok dengan pesan yang aku ingin sampaikan. Jadi biar terpasang dulu di sini.

No comments:

Post a Comment