Mulai beberapa edisi yang lalu, aku rutin menulis untuk setiap Buletin Insan. Buletin ini diterbitkan oleh Kopdit Mekar Sai sebagai media informasi, komunikasi dan pendidikan bagi anggota atau jaringannya. Rubriknya antara lain Sajian Utama, Berita, Pendidikan, Motivasi, Ruang Anggota, dan sebagainya.
Biasanya yang kutulis masuk pada Artikel Lepas dan Cermin. Salah satu yang kutulis untuk edisi ini adalah Cermin, cerita mini, fiksi mini yang berisi kisah-kisah dari berbagai inspirasi. Judul yang kutulis untuk edisi ini adalah Kotak Keinginan. Para guru TK Fransiskus Pasirgintung atau mungkin di TK yang lain pasti paham istilah ini, karena inspirasi tulisan ini kuambil dari mereka.
Yang ingin mendapatkan versi cetaknya, silakan datang ke Kantor Mekar Sai di Jalan Juanda, Pahoman.
Biasanya yang kutulis masuk pada Artikel Lepas dan Cermin. Salah satu yang kutulis untuk edisi ini adalah Cermin, cerita mini, fiksi mini yang berisi kisah-kisah dari berbagai inspirasi. Judul yang kutulis untuk edisi ini adalah Kotak Keinginan. Para guru TK Fransiskus Pasirgintung atau mungkin di TK yang lain pasti paham istilah ini, karena inspirasi tulisan ini kuambil dari mereka.
Yang ingin mendapatkan versi cetaknya, silakan datang ke Kantor Mekar Sai di Jalan Juanda, Pahoman.
KOTAK KEINGINAN
Rike biasa mempunyai kotak keinginan yang diletakkan
di rak paling atas lemari baju. Setiap hari dia menyisihkan uangnya untuk
dimasukkan dalam kotak tersebut. Kalau ditanya sejak kapan dia punya kebiasaan
membuat kotak keinginan, Rike mengingat sejak masih di Taman Kanak-kanak (TK) dia
sudah memilikinya.
“Dulu guru TK meminta kami menyebutkan satu benda yang
paling diinginkan. Aku bilang ingin memiliki boneka yang matanya bisa
berkedip.”
Nah, setelah itu guru meminta dia dan kawan-kawannya
membawa kotak bekas dari rumah. Rike membawa kotak susu ukuran sedang. Guru
mengajari mereka menghias kotak itu dengan kertas kado dan kertas warna-warni
yang dimiliki.
“Lalu bu guru bilang, itu namanya kotak keinginan. Bu
guru membantu membuat lubang kecil yang cukup untuk memasukkan uang. Aku
menuliskan namaku di kotak itu lalu meletakkan di rak kelas berjejer dengan
kotak teman-teman yang lain. Setiap hari setelah mengantar ibu belanja aku boleh
mendapatkan beberapa uang koin dari ibu. Kadang 500 rupiah, kadang 1000. Kadang
aku mendapat tambahan di jalanan. Orang seringkali mengabaikan uang recehan
koin, entah 100 atau 200 rupiah. Kalau aku menemukan uang koin seperti aku akan
ambil. Uang itu aku bawa ke sekolah dan dimasukkan ke dalam kotak.”
Rike mengisahkan pada saat menjelang menerima raport,
gurunya mengajak mereka semua membongkar kotak keinginan itu.
“Aku senang sekali waktu itu. Bunyi uang receh itu
terdengar indah banget saat dihitung. Hehehe. Ada 31.500 rupiah yang ada di
dalam kotak. Bu guru memberi kantong plastik pada kami untuk membawa koin itu
pulang. Hari itu aku mendapatkan boneka yang kuingin. Mungkin mama memberi
tambahan karena aku ndak tahu persisnya harga boneka itu.”
Sejak itu, Rike selalu membuat kotak keinginan yang
diisinya sepanjang tahun. Dia akan membongkarnya pada akhir tahun untuk memberi
hadiah bagi dirinya sendiri atau orang-orang yang disayanginya. Bahkan dia bisa
melakukan travelling ke berbagai tempat sebagai backpacker karena kotak
keinginan itu. Sekarang bukan lagi uang koin yang dimasukkan walau jika dia
menemukan uang yang disepelekan orang dan dibuang di jalanan tetap dia ambil
dan dimasukkan dalam kotak. *** (Yuli
Nugrahani)
No comments:
Post a Comment