Aku ingat buku Gemuruh Ingatan, Antologi 8 Tahun Lumpur Lapindo diterbitkan pada Mei 2014. Aku terlibat di dalamnya dengan satu puisi berjudul Tanggulangin, bersama dengan puluhan penyair dari berbagai penjuru Indonesia.
Buku itu diluncurkan di Porong dalam suatu kegiatan yang aku tak bisa hadiri, tapi hatiku tetap saja tertancap di sana. Minggu lalu saat aku lewat di pinggir-pinggirnya, rasanya begitu miris. Bagaimana para korban bisa mengolah hidupnya dalam kekuatan masa kini dan masa depan? Bagaimana mengembalikan seluruh yang hilang termasuk peninggalan kenangan-kenangan seperti nostalgia, pemakaman dan sebagainya? Aku tak bisa bercerita lebih dalam, tapi aku tetap pada keprihatinan yang mendalam saat mengingat tempat ini.
Ini adalah puisiku yang ada dalam buku itu :
TANGGULANGIN
Lumpur menggenangi kuburan ketika aku datang
Ujung nisan berganti gelembung didih cairan belerang
Jalanan memeluk batu berselimut keranjang kawat
Lasak menyeret kaki mencari celah paksa untuk lewat
Di ujung liang mata terbuka petunjuk setapak
Mereka tengah mengembalikan meja-meja lapak
Lembar penerbitan dengan namaku. |
Palu pertama diketukkan pada sol-sol sepatu
Benang-benang dikaitkan pada saku-saku baju
Mereka sembunyikan air mata bukan untuk lupa
Darah dialirkan bukan semata menghias luka
"Tangan kami bukan mengatung, kau lihat
Tangan kami mengepal. Tanda seru di akhir kalimat.!"
Aku sengaja tarik tali busur menghujam dada
Jantungku teriris kata yang mengucap : Saudara.
Mei 2013
No comments:
Post a Comment