Setelah lunch di halaman Colloseum, Italy, April 2017. |
Dari pengalaman itu aku mengambil beberapa pembelajaran yang kemudian kupakai untuk hidup. Yaitu bahwa hidup itu adalah aliran. Aku mengikuti arus sungai. Kadang dangkal, kadang dalam, kadang berkelok dan sebagainya. Saat air tenang, aku harus menggunakan dayungku sekuat tenaga terlebih di daerah kedung yang dalam. Kalau tidak, aku akan santai saja diam di tempat berputar-putar, ndak maju-maju. Sebaliknya ketika menemui air yang deras dengan riak yang besar, aku tidak mungkin mungkin mendayung. Dayung kupakai untuk menjaga keseimbangan. Menghindari batu-batu. Kadang air begitu curamnya untuk dilalui, bahkan menjadi air terjun. Itulah saatnya aku minggir sebentar, naik memanggul perahu, berjalan hingga rintangan terlampaui lalu kembali ke air melanjutkan perjalanan.
Semacam itulah hidup. Kadang terasa tak punya daya menghadapinya. Seperti naik pesawat yang hanya bergantung pada nasib. Kalau memang pesawat jatuh, ya sudah. Benang halus nyawa kita akan terputus dan selesai. Isinya hanya pasrah. Tak lagi mampu berkehendak. Jika hal ini terjadi, apa yang akan aku lakukan? Aku bertahan dengan tetap melakukan kewajiban-kewajiban. Sebagai manusia hakiki dengan berbagai peran yang memang menuntut kewajiban-kewajiban. Menjalankan keseharian sebagai ibu, istri, karyawan, penulis, penganut agama, anak, anggota masyarakat, dan sebagainya. Mantra pun dirapal : Aku tak akan menyerah.
No comments:
Post a Comment