Semalam aku melewatkan malam romantis di dermaga 1 Pelabuhan Bakauheni. Tidak, aku tidak sedang dalam perjalanan kemana-mana. Hanya di dermaga 1 saja tujuanku. Berderet lampu di kejauhan, mengingatkan Panderman dengan lampu natal keabadian. Laut sedang tenang membayangkan banyak pantai di langit tanpa purnama. Berderet lelaki memancing, dan berderet perempuan berdandan. Para lelaki mendapat ikan, dan para perempuan mendapat uang.
Aku duduk di salah satu tikar. Memesan kopi untuk Ucok di sebelahku. Tapi aku tidak minum setegukpun. Aku menikmati wangi perempuan tua cantik berdandan di sampingku. Bahasa kacau yang keluar dari mulutnya membuatku tidak bisa mengerem senyum. Dan berhamburan segala cerita karena senyum itu. Anaknya, rumahnya, pekerjaannya, jemarinya, malam-malamnya, siang-siangnya, jemarinya...
Ucok tak bicara sepatahpun. Heran ada kehidupan yang seperti itu.
Aku hanya tersenyum. Membawanya pada romantismeku. Pada maklumku.
Hingga larut malam. Tengah malam.
Tuesday, December 11, 2007
Friday, November 30, 2007
Kehilangan
Pagi ini aku kelimpungan terbengong di Pasar Pasir Gintung. Aku tahu lapak-lapak sekitar jalan pasar ini 'dibereskan' oleh dinas terkait. Digusur, diusir,...lalu ditendang, dirampok! Waktu itu aku ikut marah melihat kesemenaan pemerintah yang 'gagah' mengendalikan kota dengan cara 'mengusir'.
Hari ini aku merasakan akibat langsung. Jika kemarin-kemarin rasa marah itu menjadi diskusi sosial panjang lebar dengan siapa saja kelompok apa saja, sekarang rasa marah itu menyentil ruang hati yang mengendap paling bawah. Ruang yang menyimpan seluruh memori masa kecil.
Pasalnya, penjual nasi pecel dari Madiun, yang menjadi langgananku saat kangen rumah Gringging, yang menyediakan nasi pecel di pincuk dengan peyek kacang kedelai dan irisan tipis tempe, dengan bumbu pecel khas Jawa Timur, dengan sayuran hijau ditambah cambah mentah dan daun kemangi, hilang!!! Lapaknya rata tidak ada lagi. Yang ada hamparan tikar dan plastik penjual lombok, tempe dan bumbu dapur di lokasi itu. Aku berputar-putar sepanjang pasar dan tidak kutemukan ibu itu.
Laparku hilang keluar lewat keringat dan baju yang basah kuyup di pagi belum ada jam 7. Aku kebingungan di tengah pasar. Sedih dan marah.
Ya ampun. Aku keluar pasar dengan rasa kehilangan. Kehilangan sarana penghubung. Dimana aku bisa mencari nasi pecel yang bisa membawa aku ke ruang waktu di Gringging, Sembak, waktu aku masih kanak-kanak tanpa mikir masalah apapun? Entahlah, aku rupanya tetap akan butuh memory kanak-kanakku seperti itu.
Hari ini aku merasakan akibat langsung. Jika kemarin-kemarin rasa marah itu menjadi diskusi sosial panjang lebar dengan siapa saja kelompok apa saja, sekarang rasa marah itu menyentil ruang hati yang mengendap paling bawah. Ruang yang menyimpan seluruh memori masa kecil.
Pasalnya, penjual nasi pecel dari Madiun, yang menjadi langgananku saat kangen rumah Gringging, yang menyediakan nasi pecel di pincuk dengan peyek kacang kedelai dan irisan tipis tempe, dengan bumbu pecel khas Jawa Timur, dengan sayuran hijau ditambah cambah mentah dan daun kemangi, hilang!!! Lapaknya rata tidak ada lagi. Yang ada hamparan tikar dan plastik penjual lombok, tempe dan bumbu dapur di lokasi itu. Aku berputar-putar sepanjang pasar dan tidak kutemukan ibu itu.
Laparku hilang keluar lewat keringat dan baju yang basah kuyup di pagi belum ada jam 7. Aku kebingungan di tengah pasar. Sedih dan marah.
Ya ampun. Aku keluar pasar dengan rasa kehilangan. Kehilangan sarana penghubung. Dimana aku bisa mencari nasi pecel yang bisa membawa aku ke ruang waktu di Gringging, Sembak, waktu aku masih kanak-kanak tanpa mikir masalah apapun? Entahlah, aku rupanya tetap akan butuh memory kanak-kanakku seperti itu.
Monday, November 26, 2007
Surat Cinta
Pagi ini aku dapat surat cinta dari kayu cemara. Setetes embunnya cemerlang mengenai ujung bulu mataku. Ada keindahan yang tiba-tiba membayang di bukitku yang ramai. Ya, pagiku selalu ramai dengan anak-anak sehingga kadang-kadang aku lupa bagaimana rasa hening di sudut bukit, di bawah pohon cemara, di ujung kerling matahari pagi.
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
Benang Kusut
Tiap bulan selalu ada saat dimana benang kusut yang besar ada di depan hidungku. Baunya bisa bermacam-macam. Yang jelas akan mengentak adrenalin dan mencipta mimpi-mimpi yang melelahkan. Dari pengalaman, selalu benang kusut itu akan dapat terurai. Dengan syarat mau mengurainya sedikit demi sedikit dengan telaten. Dan akan selalu ada benang kusut baru ketika benang yang lama sudah indah tergulung.
Akhir-akhir ini aku justru menikmati adanya benang kusut. Bahkan jika tidak kutemukan di ruang-ruang yang biasa aku tandangi, aku akan menyempatkan diri mengembara di ruang-ruang lain yang belum terjamah sehingga aku menemukan benang-benang aneka rupa yang bisa aku urai.
Kepuasan bukan hanya pada saat gulungan-gulungan tercipta. Kepuasan muncul saat tanganku menarik atau mengulur benang. Kadang-kadang ada simpul yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya. Biasanya akan ada seseorang yang ikut membantu dengan sukarela atau terpaksa, menyumbangkan tangan atau jarumnya. Kadang hanya sendirian aku bersimbahpeluh, karena bagi orang lain benang kusut yang sedang aku urai ini hanya buang-buang waktu.
Sesekali memang aku akan ambil jalan pintas. Memotong simpul dengan gunting yang ada di laci hatiku, lalu membuat simpul baru untuk menyambung benang. Harus dilakukan dengan hati-hati, supaya darah tidak menyembur dari benang maupun dari jariku. (Ini rahasia kita, kadang benang-benang punya darah di dalam selnya.) Memotong simpul lalu menyambung lagi selalu menimbulkan bekas, jadi ini langkah yang paling terpaksa.
Tentu saja akan sangat puas jika gulungan benang warna-warni bisa terbuat. Aku tersenyum lega di akhir tugas itu. Biasanya aku juga selalu tertarik memainkannya di tanganku, melempar dan mengelindingkannya ke mana aku ingin. Akan ada benang kusut lagi pada gulungan yang sama.
Ini biasa terjadi.
Akhir-akhir ini aku justru menikmati adanya benang kusut. Bahkan jika tidak kutemukan di ruang-ruang yang biasa aku tandangi, aku akan menyempatkan diri mengembara di ruang-ruang lain yang belum terjamah sehingga aku menemukan benang-benang aneka rupa yang bisa aku urai.
Kepuasan bukan hanya pada saat gulungan-gulungan tercipta. Kepuasan muncul saat tanganku menarik atau mengulur benang. Kadang-kadang ada simpul yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya. Biasanya akan ada seseorang yang ikut membantu dengan sukarela atau terpaksa, menyumbangkan tangan atau jarumnya. Kadang hanya sendirian aku bersimbahpeluh, karena bagi orang lain benang kusut yang sedang aku urai ini hanya buang-buang waktu.
Sesekali memang aku akan ambil jalan pintas. Memotong simpul dengan gunting yang ada di laci hatiku, lalu membuat simpul baru untuk menyambung benang. Harus dilakukan dengan hati-hati, supaya darah tidak menyembur dari benang maupun dari jariku. (Ini rahasia kita, kadang benang-benang punya darah di dalam selnya.) Memotong simpul lalu menyambung lagi selalu menimbulkan bekas, jadi ini langkah yang paling terpaksa.
Tentu saja akan sangat puas jika gulungan benang warna-warni bisa terbuat. Aku tersenyum lega di akhir tugas itu. Biasanya aku juga selalu tertarik memainkannya di tanganku, melempar dan mengelindingkannya ke mana aku ingin. Akan ada benang kusut lagi pada gulungan yang sama.
Ini biasa terjadi.
Monday, November 19, 2007
Bangun Kesiangan
Jaman hidup masih sendiri, di kamar kost, di kamar rumah Gringging atau dimana saja, bangun siang adalah kenikmatan. Molet panjang sambil tetap berbaring bermalasan. Jam 8, 9, 10 atau bahkan lebih tetaplah jam bangun pagi. Walau matahari sudah penuh panas di atas kepala. Selebihnya lapar dominan akan mengusik untuk jalan ke dapur, kamar mandi lalu bergegas ke warung, atau justru duduk ngelosor di ruang tamu membaca koran. Yang terakhir ini pasti terjadi jika rupanya isi dompet tidak memungkinkan. Baca koran kan bisa kenyang perut (atau mual hingga gak nafsu makan), khususe halaman 3 dan seterusnya (yang isi kriminal!)
Nah ketika sekarang ini bangun kesiangan, amboi! Mesti cepat meloncat, mandi (jika suami tersayang sudah masak nasi. Jika belum ya masak nasi secepat kilat, baru mandi), teriak sana-sini supaya Abet bangun. (Bapake yang mandiin dan nyiapin baju) Cepat membuat susu untuk anak-anak, sesegera mungkin menyiapkan semua untuk berangkat. Lalu ngebut nganter Abet ke sekolah. Pasti macet. Usai cium pipi kanan kiri, salaman, dan Abet lari ke halaman dalam sekolah, aku langsung memutar motor. Terlambat dikit, satpam akan menutup gerbang depan sehingga motor harus lewat jalan di samping gerbang, yang susah bagiku karena naik, berbelok dan sempit. Akan kena macet lagi, tapi begitu sampe di kantor, jam 7, semua akan luruh. Akan lapar tapi akan sangat tenang. Dan di depan komputer aku bisa sarapan. Sarapan sungguhan sambil makan lontong sayur, uduk atau apa saja yang bisa dimakan. Bisa juga sarapan tidak sungguhan melalap segala surat email dan berita di mirifica, detik, kompas atau mana saja. Sambil nunggu jam minum 10.00 untuk nebeng nyomot snack di sekretariat keuskupan.
Nah ketika sekarang ini bangun kesiangan, amboi! Mesti cepat meloncat, mandi (jika suami tersayang sudah masak nasi. Jika belum ya masak nasi secepat kilat, baru mandi), teriak sana-sini supaya Abet bangun. (Bapake yang mandiin dan nyiapin baju) Cepat membuat susu untuk anak-anak, sesegera mungkin menyiapkan semua untuk berangkat. Lalu ngebut nganter Abet ke sekolah. Pasti macet. Usai cium pipi kanan kiri, salaman, dan Abet lari ke halaman dalam sekolah, aku langsung memutar motor. Terlambat dikit, satpam akan menutup gerbang depan sehingga motor harus lewat jalan di samping gerbang, yang susah bagiku karena naik, berbelok dan sempit. Akan kena macet lagi, tapi begitu sampe di kantor, jam 7, semua akan luruh. Akan lapar tapi akan sangat tenang. Dan di depan komputer aku bisa sarapan. Sarapan sungguhan sambil makan lontong sayur, uduk atau apa saja yang bisa dimakan. Bisa juga sarapan tidak sungguhan melalap segala surat email dan berita di mirifica, detik, kompas atau mana saja. Sambil nunggu jam minum 10.00 untuk nebeng nyomot snack di sekretariat keuskupan.
Saturday, November 17, 2007
kumuh
Aku melewati pasar Bambu Kuning setiap kali. Beberapa hari terakhir ini sedang dibangun pagar pembatas jalan. Aku tahu maksudnya, biar tertib, rapi. Pembangunan ini menyertai penggusuran pedagang di sekitar ruas jalan dan tempat parkir.
Tapi, jalan ini adalah jalan pasar tradisional. Bapak-bapak, ibu-ibu, dapatkah anda sekalian membayangkan bagaimana becak, gerobak sayur, (pejalan kaki bisa lewat jembatan penyeberang), gerobak pedagang dan para penjual angkring ketika akan menyeberang jalan ini? Bisa dibayangkan akan lebih semrawut kota ini karena para 'pengais rejeki' itu akan mengambil jalan yang terdekat terserah mau searah atau berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
Kenapa hal ini tidak dipikirkan? Tata kota tanpa memikirkan para 'bawah' ini sama juga menciptakan neraka. Pasti akan lebih kumuh. Coba kebutuhan-kebutuhan mereka yang pertama dirancang. Yakin, kota Tanjungkarang ini akan rapi tertib. Dan manusiawi.
Tapi, jalan ini adalah jalan pasar tradisional. Bapak-bapak, ibu-ibu, dapatkah anda sekalian membayangkan bagaimana becak, gerobak sayur, (pejalan kaki bisa lewat jembatan penyeberang), gerobak pedagang dan para penjual angkring ketika akan menyeberang jalan ini? Bisa dibayangkan akan lebih semrawut kota ini karena para 'pengais rejeki' itu akan mengambil jalan yang terdekat terserah mau searah atau berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
Kenapa hal ini tidak dipikirkan? Tata kota tanpa memikirkan para 'bawah' ini sama juga menciptakan neraka. Pasti akan lebih kumuh. Coba kebutuhan-kebutuhan mereka yang pertama dirancang. Yakin, kota Tanjungkarang ini akan rapi tertib. Dan manusiawi.
Monday, November 12, 2007
Gundul
Mataku mengalir melihat tungkal pohon
tersisa di batas median jalan
gundul tanpa batang dan daun
antara rumah sakit hingga tengah kota
dadaku sesak membayangkan
gersang dan panas kekurangan O2 saat aku berjalan melintasi
jalan-jalan di kota tanjungkarang
aku akan rindu kesejukannya
aku akan rindu harum bunga kuning oranye
yang jika berguguran daunnya pun
menghamparkan permadani jalan ini khusus untukku
menyambutku semata
mataku mengalir
kesedihan
di saat yang sama kekecewaan
karena membayangkan orang-orang seperti apa
yang menjadi pengambil keputusan di kota ini
orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan
adalah orang-orang penebar kematian
mengubah pepohonan menjadi ketertiban
mengubah kesejukan menjadi keramaian
dan semuanya menjadi keserakahan
aku sedih
tersisa di batas median jalan
gundul tanpa batang dan daun
antara rumah sakit hingga tengah kota
dadaku sesak membayangkan
gersang dan panas kekurangan O2 saat aku berjalan melintasi
jalan-jalan di kota tanjungkarang
aku akan rindu kesejukannya
aku akan rindu harum bunga kuning oranye
yang jika berguguran daunnya pun
menghamparkan permadani jalan ini khusus untukku
menyambutku semata
mataku mengalir
kesedihan
di saat yang sama kekecewaan
karena membayangkan orang-orang seperti apa
yang menjadi pengambil keputusan di kota ini
orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan
adalah orang-orang penebar kematian
mengubah pepohonan menjadi ketertiban
mengubah kesejukan menjadi keramaian
dan semuanya menjadi keserakahan
aku sedih
Monday, November 05, 2007
malam takbir
Ingat bagaimana aku menghabiskan malam takbiran. Malam takbir tahun ini dengan terpaksa aku ngadain rapat sama Tim Kerja Nuntius. Tidak ada waktu lain setelah itu untuk ngumpul bersama karena agenda lebaran dll masing-masing pribadi. Rapatnya sendiri tidak ada masalah, ok diadakan pada persis malam takbiran. Ruangan AC Nuntius membungkus diri. Selesai jam 21.00 tet.
Dengan Mio-ku aku keluar kantor dengan kelegaan. Tidak lama, rasa lega karena beresnya satu agenda kerja berganti dengan kaget melihat jalan Sudirman, penuh sesak dengan motor dan truk yang penuh orang, hingar bingar. Astaga, aku lupa sama sekali kalau setiap malam takbir orang-orang akan keluar rumah untuk meneriakkan gema kemenangan.
Rasa capek sudah menggeliat di badanku karena dari jam 7 pagi aku belum pulang bahkan belum istirahat, ngejar deadline Nuntius ditambah rapat yang berat karena banyak PR belum tergarap. Tanganku kaku di setir Mio. Tidak bisa jalan. Merayap, sangat padat, bahkan berhenti dan sangat bising. Truk-truk penuh orang membawa tambur, bedug dan pengeras suara. Paduan suara Allahuakbar dari ujung ke ujung. Beberapa truk nekat membawa tape rekorder dengan musik-musik islami di setel kenceng. Aku merasa seperti kesasar di tempat asing. Bukan di Indonesia, bukan di Lampung bahkan juga bukan di Jalan Sudirman.
Rasa jengkelku aku tekan sekuatnya. Rencana untuk cari jalan alternatif aku tekan. Biarlah aku nikmati suasana ini. Dan rupanya jalur pulangku persis merupakan jalur yang dipakai oleh 'para pemenang' itu untuk berparade. Polisi-polisi memasang tali pembatas di tiap persimpangan sehingga konvoi itu lurus melewati Sudirman, Kartini, Teuku Umar, Pagar Alam tidak bisa belok kemana-mana. Belokan tunggal di Ki Maja, jalan dua jalur yang longgar menuju GOR Way Halim.
Aku terjebak dalam arak-arakan ini lebih dari satu jam! Satu jam lebih terlempar di negeri antah berantah yang aneh. Lebih aneh ketika gema Allahuakbar lambat laun menghilang diganti teriakan dan suara lain yang entah apa. Bedug dan tambur hilang di ganti bunyi petasan dan kembang api. Jilbab dan surban diganti pasangan-pasangan 'mumpung boleh keluar malam' berangkulan di sepeda motor. Gema kemenangan diganti teriakan umpatan karena badan atau kendaraan saling menyenggol. Dan lampu mati (PLN nakal lagi main-main). Aku terbawa arus ini dengan dandanan paling lengkap. Berjaket helm sarung tangan sepatu. Tidak mengerti mengapa aku ada di situ.
Dengan Mio-ku aku keluar kantor dengan kelegaan. Tidak lama, rasa lega karena beresnya satu agenda kerja berganti dengan kaget melihat jalan Sudirman, penuh sesak dengan motor dan truk yang penuh orang, hingar bingar. Astaga, aku lupa sama sekali kalau setiap malam takbir orang-orang akan keluar rumah untuk meneriakkan gema kemenangan.
Rasa capek sudah menggeliat di badanku karena dari jam 7 pagi aku belum pulang bahkan belum istirahat, ngejar deadline Nuntius ditambah rapat yang berat karena banyak PR belum tergarap. Tanganku kaku di setir Mio. Tidak bisa jalan. Merayap, sangat padat, bahkan berhenti dan sangat bising. Truk-truk penuh orang membawa tambur, bedug dan pengeras suara. Paduan suara Allahuakbar dari ujung ke ujung. Beberapa truk nekat membawa tape rekorder dengan musik-musik islami di setel kenceng. Aku merasa seperti kesasar di tempat asing. Bukan di Indonesia, bukan di Lampung bahkan juga bukan di Jalan Sudirman.
Rasa jengkelku aku tekan sekuatnya. Rencana untuk cari jalan alternatif aku tekan. Biarlah aku nikmati suasana ini. Dan rupanya jalur pulangku persis merupakan jalur yang dipakai oleh 'para pemenang' itu untuk berparade. Polisi-polisi memasang tali pembatas di tiap persimpangan sehingga konvoi itu lurus melewati Sudirman, Kartini, Teuku Umar, Pagar Alam tidak bisa belok kemana-mana. Belokan tunggal di Ki Maja, jalan dua jalur yang longgar menuju GOR Way Halim.
Aku terjebak dalam arak-arakan ini lebih dari satu jam! Satu jam lebih terlempar di negeri antah berantah yang aneh. Lebih aneh ketika gema Allahuakbar lambat laun menghilang diganti teriakan dan suara lain yang entah apa. Bedug dan tambur hilang di ganti bunyi petasan dan kembang api. Jilbab dan surban diganti pasangan-pasangan 'mumpung boleh keluar malam' berangkulan di sepeda motor. Gema kemenangan diganti teriakan umpatan karena badan atau kendaraan saling menyenggol. Dan lampu mati (PLN nakal lagi main-main). Aku terbawa arus ini dengan dandanan paling lengkap. Berjaket helm sarung tangan sepatu. Tidak mengerti mengapa aku ada di situ.
Tuesday, October 30, 2007
Yang Terlewat
Awal bekerja kembali. Selama lebaran hingga hari ini tidak ada aktifitas 'ngantor'. Yang ada adalah 'ngrumah'. Artinya hanya di rumah, bersama anak-anak dan suami. Disertai kesibukan tidak henti antara kamar, kamar mandi, dapur, halaman depan belakang, tukang sayur. Bener-bener jadi orang rumahan selama 3 minggu. Hari-hari yang hebat. Walau ternyata ketika aku cermati lagi banyak yang terlewat. Satu contoh agenda yang ingin aku kerjakan dalam masa yang lama itu adalah target membuat dua cerpen. Tidak kesampean. Yang ada adalah draft cerpen tak selesai. Menulis satu untuk Pilar itu pun pesanan. Tentang Perempuan Pekerja di Indonesia. Selesai terengah-engah pada titik hari akhir cutiku.
Astaga! Aku bayangkan andaikata sepanjang tahun aku hanya di rumah mengurus dapur kasur sumur dan pupur, apakah aku akan sempat mengerjakan sesuatu? Apakah aku akan sempat membuat 'karya'? Bagaimana para ibu hebat itu bisa melakukan seumur hidup mereka? Apakah aku akan puas dengan hidupku? Aku salut dengan para perempuan yang mengabdi karya dalam keluarga. Merekalah pahlawan.
Aku terlalu liar jika hanya untuk rumah. Tidak akan bisa hidup dalam arti sebenarnya. Jendela hidupku sudah terlanjur menerbangkan mata dan rasa mencapai pelosok-pelosok merdeka. Kakiku selalu mengajak mengarungi padang-padang di seberang.
Ah ya. Aku tidak bisa bilang anak-anak dan suamiku adalah batasanku. Tidak mau. Karena saat aku kembali kerja di kantor hari ini, aku bersyukur gembira bahwa aku punya kesempatan hidup bersama mereka. Matahari-matahari kecil yang penuh warna.
Astaga! Aku bayangkan andaikata sepanjang tahun aku hanya di rumah mengurus dapur kasur sumur dan pupur, apakah aku akan sempat mengerjakan sesuatu? Apakah aku akan sempat membuat 'karya'? Bagaimana para ibu hebat itu bisa melakukan seumur hidup mereka? Apakah aku akan puas dengan hidupku? Aku salut dengan para perempuan yang mengabdi karya dalam keluarga. Merekalah pahlawan.
Aku terlalu liar jika hanya untuk rumah. Tidak akan bisa hidup dalam arti sebenarnya. Jendela hidupku sudah terlanjur menerbangkan mata dan rasa mencapai pelosok-pelosok merdeka. Kakiku selalu mengajak mengarungi padang-padang di seberang.
Ah ya. Aku tidak bisa bilang anak-anak dan suamiku adalah batasanku. Tidak mau. Karena saat aku kembali kerja di kantor hari ini, aku bersyukur gembira bahwa aku punya kesempatan hidup bersama mereka. Matahari-matahari kecil yang penuh warna.
Saturday, October 06, 2007
Mutun Beach
Entah mengapa Mutun yang indah jadi gersang di hatiku. Orang-orang di sekitarku pun kehilanganan pendar spontan indahnya. Tapi menikmati gelora ombak yang besar dengan perahu nelayan, di ujung depan aku duduk, dengan air asin sesekali menerpa wajah, membayangkan doa di benak orang-orang itu karena ketakutan, aku jadi merasa begitu kuat.
Monday, September 24, 2007
Pantai Blebuk
Pantai Blebuk terletak di Bakauheni. Tidak sampai satu jam perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, naik ojek atau mobil pribadi. Jalan sangat jelek tapi menawarkan pemandangan hijau berliku yang bervariasi : kebun pisang, kelapa, perkampungan, sawah, samar-samar laut. Pantainya sendiri masih perawan. Ada deretan potongan-potongan karang yang terhampar jadi benteng antara laut dan pantai berpasir putih. Aku dan Bernard berdiri di sana di kelilingi air, beberapa meter dari pantai. Lihat, ada burung besar melayang di atas! Dan para nelayan yang baru pulang melaut di ujung pantai sebelah sana itu mendapatkan banyak ikan karena bulan belum purnama.
Sunday, September 16, 2007
Ruang Rindu
(Punya Letto)
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
Monday, September 10, 2007
Petani Latihan Jurnalistik
21 petani dan penggeraknya berlatih tekun selama 2 hari 7-8 September lalu. Bukan latihan tentang pertanian, tapi jurnalistik. Aku mendampingi n memandu mereka, tercengang-cengang melihat semangat para bapak dan ibu itu. Acaranya sendiri diadakan oleh Lembaga Karya Bakti (LKB), n Mas Yudo meminta aku n Nuntius yang memberikan materi. Tidak banyak ngomong, aku buat satu buku kecil panduan jurnalistik. Peserta datang langsung nulis. Bahkan ketika harus keluyuran, heboh. Mereka serius deg-degan dan wawancara tukang cendol, tukang parkir dsb. Saat menceritakan pengalaman itu lebih heboh lagi.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Saturday, September 01, 2007
Ngeteng Slipi - Rajabasa
Pulang dari Pelatihan Kampanye di Wisma PKBI 25 - 27 Agustus, aku pulang 'ngeteng'. Naik mobil sambung-sambung. Lama sekali aku tidak melakukan ini dalam perjalanan yang agak jauh. Biasanya travel atau bis menjadi pilihan. Lebih nyaman, lebih aman. Terlebih jika bersama anak-anak. Tapi perjalanan untuk pelatihan ini sudah dipenuhi romantisme sejak dari berangkat. (Aku berangkat naik Sriwijaya Air, 30 menit sudah tiba di Sukarno-Hatta)
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Friday, August 24, 2007
Naik Pesawat
Waktu aku masih kecil, pesawat adalah sebuah mimpi. Dia itu seperti salah satu benda langit yang bisa dilihat namun tidak bisa dipegang. Semacam bulan, bintang, awan, matahari, pelangi. Kalau sebuah pesawat terlihat dengan gemuruhnya, aku dan juga banyak orang lain akan keluar rumah, menyorakinya. Juga melontarkan banyak keinginan :"Njaluk duite!!!"
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
Thursday, August 23, 2007
kubunuh kau tuhan!!
kubunuh kau tuhan!!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat
kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....
Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....
Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat
kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....
Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....
Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!
Lesbi
Lesbi atau lesbian. Tema ini jarang sekali masuk dalam tema perbincangan (ku) sehari-hari. 4 -5 hari ini mengherankan, kata ini terus menerus mengusik. Aku berpikir tentang lesbi. Tentang X dan X.
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"
Friday, August 10, 2007
Pagi cerah, tidak gerimis dan hujan. Salut pada pak polisi yang memakai tubuhnya sebagai tameng bagi anak-anak sekolah yang terburu-buru tidak mau telat masuk kelas. Mereka stop kendaraan supaya anak-anak itu bisa menyeberang.
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)
Saturday, August 04, 2007
Friday, August 03, 2007
Menengok Petani Gurem di Podorejo
Petani di Desa Podorejo, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Lampung mendapatkan 1 ton gabah dari seperempat hektar tanah yang diolah. Digarap selama 4 bulan, 1 ton gabah itu setara dengan 2,350 juta rupiah. Selama penggarapan mereka membutuhkan 2 kilo benih jenis unggul seharga 80 ribu rupiah, 120 ribu sewa traktor, 50 ribu untuk menanam padi, 75 ribu obat basmi rumput, 50 ribu insektisida. Ini belum termasuk sewa penyedot air 6000 rupiah dan bahan bakar 5000 rupiah perjam dari Sungai Way Sekampung jika masa tanpa hujan seperti sekarang ini.
Menghitung bersama Joko seorang petani di sana, jika petani mempunyai tanah seperempat hektar hanya mendapatkan sekitar 250 rupiah tiap bulannya, setelah dipotong segala biaya itu. Padahal lebih banyak petani yang tidak punya lahan. Menggarap tanah orang lain hanya mendapatkan separoh dari hasil itu.
Bagaimana mereka bisa hidup dengan uang itu bersama istri dan anak-anak? Joko bersama 13 petani lain mengelola lumbung paceklik, atau akhir-akhir ini disebut juga sebagai lumbung sosial. Keberadaan lumbung ini dirasakan manfaatnya oleh lebih dari 50 keluarga petani lainnya yang ada di Pekon (desa) Podorejo.
”Lumbung ini dibuat oleh generasi bapak-bapak kami pada tahun 1980-an. Mulanya hanya untuk menampung sisa hasil panen yang melimpah, untuk kemudian dipakai di masa paceklik, saat kemarau panjang,” jelas Joko.
Joko menjadi pengurus lumbung sejak tahun 1997. Lumbung yang semula ala kadarnya, direhap sehingga lebih mendekati standar untuk mempertahankan mutu gabah. Lumbung dibangun dengan kapasitas 20 ton terbuat dari bambu dengan lapisan terpal di bagian dalamnya. Dengan sistem bangunan tertentu, gabah bisa tahan lebih dari satu musim (6 bulan) jika disimpan di sini.
Pada awal tahun ini ketika membongkar lumbung, 13 anggota masing-masing bisa meminjam 200 kilogram gabah dan 70 petani lain yang bukan anggota bisa meminjam antara 50 – 200 kilogram. Mereka akan mengembalikan gabah itu pada masa panen dengan tambahan ’nilai susut’ sebanyak 15 kilogram per kwintalnya. Tambahan dari angka inilah lumbung itu bisa berkembang. Bahkan tiap panen bisa menyisihkan 100 kilogram dipakai untuk keperluan sosial antar mereka.
Joko lalu menceritakan bagaimana ramainya orang datang ke lumbung, yang kebetulan terletak dekat rumahnya, saat ’bukaan lumbung’. Beberapa tahun terakhir ini bahkan pengurus lumbung, menerapkan nomor antrean supaya mereka tidak berdesakan. Jika gagal panen, petani yang sudah mengambil gabah dari lumbung ini dapat mengembalikannya pada musim panen yang berikutnya, tanpa ada bunga atau biaya tambahan. Semua bermodal pada rasa percaya antar mereka.
Selasa (31/7) lalu waktunya bagi Joko untuk ’nyedot’ air dari Way Sekampung. Mesin sedot yang disewa sangat berat untuk ukuran tubuh Joko. Maka begitu turun ke sawah, spontan beberapa bapak yang sedang bekerja di sawah yang berdekatan petaknya, datang membantu Joko mengangkut mesin sedot di dekat sungai dan membantunya memasang hingga air mengalir ke petak sawahnya. Hujan yang beberapa minggu tidak turun membuat para petani hanya bisa mengandalkan mesin sedot air sewaan. Penyedotan itu dilakukan setiap 6 – 7 hari sekali sampai panen tiba.
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*
Saturday, July 28, 2007
Jumat terakhir pada bulan, seperti biasa kelompok kecil relawan Nuntius berkumpul. Warna-warninya membuat aku tercengang. Selalu tercengang setiap bertemu mereka. Setiap kali! Aku merasa sangat tua melihatnya. Bahasa para muda ini, Gusti! Bahasa apa itu? Aku tidak paham. Aku coba mengikuti. Tapi tetap menjadi tanda tanya. Seriuskah mereka? Tahukah apa yang sedang mereka kerjakan sekarang ini? Benarkah mereka mau belajar? Apakah mereka hanya main-main? Apakah tawaran-tawaranku dipikirkan oleh mereka dengan serius? Apakah nilai-nilai yang diomongkan itu benar-benar mau dihayati? Atau aku yang kurang gaul? Apakah aku yang terlalu serius? Apakah aku yang terlalu memaksakan diri? Aahhh....Gusti.....
Thursday, July 26, 2007
Wednesday, July 25, 2007
aku berjalan
aku berjalan di samping anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
diteriakinya aku yang sudah terengah-engah
balas teriak aku di sela nafas
putaran rodanya kembali menghampiri
'cepat, bu! nanti kehabisan!'
tidak bisa lari lagi aku mengikutinya
aku berjalan jauh di belakang anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
dan sesekali di teriak
sesekali dia kembali menghampiri
tapi selalu
cepat dengan irama sendiri dia melaju
aku berjalan di samping anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
diteriakinya aku yang sudah terengah-engah
balas teriak aku di sela nafas
putaran rodanya kembali menghampiri
'cepat, bu! nanti kehabisan!'
tidak bisa lari lagi aku mengikutinya
aku berjalan jauh di belakang anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
dan sesekali di teriak
sesekali dia kembali menghampiri
tapi selalu
cepat dengan irama sendiri dia melaju
Tuesday, July 24, 2007
Batam - Galang
Minggu lalu, 16 - 18 Juli 2007 aku dapat kesempatan ke Batam. Folk communication for church apostolate, itu pembicaraan utama di Vista Hotel bersama para koordinator Komsos se regio Sumatera. Hanya belasan orang, kebanyakan para selibat. Tema yang menarik! Folk communication, folk media. Sebagai alternatif gerakan perjuangan.
Di hari terakhir, jalan ke Galang lewat jembatan Barelang nan dibanggakan, masa kejayaan Habibie dengan teknologinya yang meretas batas laut. Ada 5 jembatan penghubung Batam - Galang. Melewati pulau Tonton, Nipah, Setako, Rempang dan akhirnya Galang. Rempang merupakan pulau terpanjang dan tersubur. Di sana-sini terlihat petak kebun sayur yang sayang kurus, kurang subur. Coba teknologi pertanian dikembangkan.
Tiba di Galang keliling peninggalan 'manusia perahu' pada tahun 65-an sampai 96 lalu. sebuah kota kecil yang dibangun untuk menampung para pengungsi yang tersisa dari Vietnam. Barak-barak sudah dibongkar, tapi sisa-sisa 'kota' itu masih tampak. Bahkan ada 'Ngha trang', Tin Lanh, Cuaky vien, dan Ta on duc me. Sebuah patung Maria tampak megah berdiri di atas bumi bergambar Vietnam, mantap di atas sebuah perahu : O, Mary, we are all deeply cracefull for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be mighly appreciated in our heart forever.
Dan konon, di depannya pernah terjadi puluhan bunuh diri massal karena tidak ada ruang hidup bagi mereka untuk merdeka. Tidak ada satu negara pun yang mau mengakui mereka sebagai warga. Kembali ke negaranya akan mati.
Banyak barang di Batam. Tidak ada yang bisa dibeli. Oleh-oleh? Gantungan kunci dengan tulisan "I love Singapore". Ngenes Indonesiaku!
Di hari terakhir, jalan ke Galang lewat jembatan Barelang nan dibanggakan, masa kejayaan Habibie dengan teknologinya yang meretas batas laut. Ada 5 jembatan penghubung Batam - Galang. Melewati pulau Tonton, Nipah, Setako, Rempang dan akhirnya Galang. Rempang merupakan pulau terpanjang dan tersubur. Di sana-sini terlihat petak kebun sayur yang sayang kurus, kurang subur. Coba teknologi pertanian dikembangkan.
Tiba di Galang keliling peninggalan 'manusia perahu' pada tahun 65-an sampai 96 lalu. sebuah kota kecil yang dibangun untuk menampung para pengungsi yang tersisa dari Vietnam. Barak-barak sudah dibongkar, tapi sisa-sisa 'kota' itu masih tampak. Bahkan ada 'Ngha trang', Tin Lanh, Cuaky vien, dan Ta on duc me. Sebuah patung Maria tampak megah berdiri di atas bumi bergambar Vietnam, mantap di atas sebuah perahu : O, Mary, we are all deeply cracefull for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be mighly appreciated in our heart forever.
Dan konon, di depannya pernah terjadi puluhan bunuh diri massal karena tidak ada ruang hidup bagi mereka untuk merdeka. Tidak ada satu negara pun yang mau mengakui mereka sebagai warga. Kembali ke negaranya akan mati.
Banyak barang di Batam. Tidak ada yang bisa dibeli. Oleh-oleh? Gantungan kunci dengan tulisan "I love Singapore". Ngenes Indonesiaku!
Friday, July 06, 2007
tuan, aku pengin selingkuh
pengin selingkuh dari kebiasaan
melompati pagar dan mengunyah hijau segar tetangga
kembali pada keliaran masa lalu
'ahh...tiba-tiba tercium parfum tidak biasa
memenuhi rongga dada
hingga membuncah jadi mesra'
pengin selingkuh kali ini
lepas dari tradisi tiap hari
mengecap kebebasan tubuh masa lalu
'wahai...berdirilah diam sejenak di hadapanku
aku akan meletakkan kepala di dada
menikmati saat mesra ini'
kini menjelang 33
aku ingin mati
untuk mesra
bersamamu
pengin selingkuh dari kebiasaan
melompati pagar dan mengunyah hijau segar tetangga
kembali pada keliaran masa lalu
'ahh...tiba-tiba tercium parfum tidak biasa
memenuhi rongga dada
hingga membuncah jadi mesra'
pengin selingkuh kali ini
lepas dari tradisi tiap hari
mengecap kebebasan tubuh masa lalu
'wahai...berdirilah diam sejenak di hadapanku
aku akan meletakkan kepala di dada
menikmati saat mesra ini'
kini menjelang 33
aku ingin mati
untuk mesra
bersamamu
Tuesday, June 26, 2007
sebuah kesadaran
sebuah kesadaran menciprat ke luar mataku
menjadi setitik air mata kesedihan
betapa kekuatan dari ketidakpedulian
sudah meluluhlantakkan sesosok jiwa
hingga sakit dan hancur tanpa harapan
hingga luka dan berkabung dalam keterasingan
tidak ada daya lagi
terlanjur sudah kutanam dalam waktu yang lampau
tak kusangka
buahnya begitu pahit harus terkunyah
oleh sosok renta tanpa tenaga
yang ingin mati karena hasrat cinta
sebuah kesadaran siang ini
tak tahu lagi kemana harus kubawa
setelah kamar pengakuan
tak dapat mengatasinya
sebuah kesadaran menciprat ke luar mataku
menjadi setitik air mata kesedihan
betapa kekuatan dari ketidakpedulian
sudah meluluhlantakkan sesosok jiwa
hingga sakit dan hancur tanpa harapan
hingga luka dan berkabung dalam keterasingan
tidak ada daya lagi
terlanjur sudah kutanam dalam waktu yang lampau
tak kusangka
buahnya begitu pahit harus terkunyah
oleh sosok renta tanpa tenaga
yang ingin mati karena hasrat cinta
sebuah kesadaran siang ini
tak tahu lagi kemana harus kubawa
setelah kamar pengakuan
tak dapat mengatasinya
Thursday, May 24, 2007
Kekuatan Kang Ora Kawedhar
(Catetan seje saka Balikpapan)
(Tanda tanya besar menyertai tulisan ini. Ungkapannya sendiri muncul di lantai 2 rumah Balikpapan, usai nikah Veka)
(Catetan seje saka Balikpapan)
Aku nemokake 'kekuatan sabda' kang pinayungan para pinisepuh saka sakupenge samodra kidul. Ana pesen kanggo para putra wayah, kang gamblang cetha wela-wela. Yaiku, supaya ngati-ati ing tahun 2007 lan 2008. Gesekan hawa bakal panas, bisa dadi perang sedulur. Guyub rukun dadi sarana utomo kang kudu diusahake. Guyup rukun kang dadi kekuatan.
Iku mau pesen saka Lurah Sarirejo, Dusun Sekararum. Sing gapura pendopone katulis "Tritunggal' nganggo boso dan huruf jawa. Kang kawibawane kasebut asma "Pengayom". Ing asma iki sadaya pinisepuh wus ngumpul dadi kekuatan sabda. Metu ing simbol timbangan lan wit ringin. Adil lan ayem.
Pesen iki saka Eyang Putri Ratu Mas kanggo para putra wayah, yaiku sapa bae kang migunaake sakabehing akal budi kanggo 'leres'. Pesen kang kawedhar amarga prihatin mring para wayah kang ora mangerteni maneh bebasan wingit. Ora percaya maneh marang kakuatan adi kang ora ketingal!
(Tanda tanya besar menyertai tulisan ini. Ungkapannya sendiri muncul di lantai 2 rumah Balikpapan, usai nikah Veka)
Antara Kebun Sayur dan Klandasan
Berjalan-jalan di Balikpapan dalam waktu yang singkat, dan prioritas pada pesta manten, tetap menyisakan semangat dan energi untuk belanja berlama-lama mencari oleh-oleh atau sesuatu yang unik.
Pasar Kebun Sayur
Ini merupakan pasar yang menyajikan berbagai benda-benda etnik dari Kalimantan. Perhiasan dari batu-batuan, manik-manik, kayu dan logam tampak memikat mata. Pernak-pernik kalung, gelang, cincin, giwang dan bros berderet memenuhi kios-kios. Selain itu juga ada baju, kain, tas dan benda-benda lain. Tidak melulu kalimantan sih, karena ketika diamati ada juga tenun songket dari Palembang.
Kali pertama yang kepikir adalah membeli oleh-oleh murah meriah untuk para sahabat. Pilihan jatuh pada gelang-gelang dari untaian batu. Hah, sepertinya sih di Lampung atau Jakarta dengan mudah dapat dijumpai di pusat perbelanjaan, tapi ini kan dibawa dari Kalimantan asli. Jadi beli beberapa untai sesuai siapa yang akan diberi. Harga agak meragukan, karena para penjual berusaha menjual dengan harga setinggi-tingginya. Kalau tidak nawar pasti nyesel. Tiga yang aku minati dijual dengan harga 10 ribu rupiah. Baju dayak lengkap untuk anak-anak 110 ribu. Bros mutiara 15 ribu. Kain motif dayak 15 ribu per meter. Tas manik-manik cangklong 15 ribu. Kaos bergambar etnis 25 ribu.
Senengnya ada pada jalan-jalannya. Pelan-pelan saja liat sana-sini. Para penjual itu memang melayani pelancong, jadi tidak masalah kita hanya lihat-lihat saja, tidak perlu beli. Tapi semakin susah mencari yang benar-benar asli tradisional, selain ada mandau, baju dayak. Aku tolah-toleh penjual kaset tidak terlihat yang menjual musik tradisional Dayak. Aku ingat aku dulu pernah direkamin seorang bapak di Nangapinoh beberapa musik pengiring untuk tarian Dayak. Tapi tidak bisa mendapat kaset yang asli. Yang aku ingat musiknya sangat sederhana, diulang-ulang. Gerakannya pun begitu.
Pasar Klandasan
Ini pasar segala ada. Jalan-jalan di sini seperti jalan di pasar-pasar tradisional lain di seluruh penjuru Indonesia. Yang asyik adalah tempatnya persih di pinggir laut. Dalam satu kesempatan, kami berjalan mencari makanan di pasar ini. Letaknya berderet di pinggir laut. Makanan yang ada alamak...rawon, nasi padang, bakso malang, ....yang khas Balikpapan apa ya? Akhirnya makan bakso juga.
Jalan-jalan di dalam pasar, kami tertarik pada perhiasan emas yang dipajang. Katanya emas di sini lebih bagus dari di Jawa. Maka huntinglah kami mencari bentuk yang bagus dengan detail yang unik. Ibu berniat membelikan untuk kami, jadi ok banget. Kalau dari kantong sendiri mana ada anggaran untuk beli giwang atau cincin.
Seperti biasa, jalan dan lihat lebih banyak ketimbang beli. Hingga kemudian ketemu sejumlah perhiasan yang pas. 155 ribu rupiah per gramnya. yang buatan malaysia bisa lebih mahal sedikit tapi memiliki detail yang lebih asyik.
Makan di Dandito
Yach, susah jika tanya makanan khas Balikpapan. Berhubung letaknya pinggir laut, maka harus mencari makanan dari laut. Pilihan terpaut pada kepiting, dan salah satu tempat yang enak adalah Dandito. Hanya beberapa saat dari Bandara Sepinggan. Menu andalan tempat ini memang kepiting. Wuih, satu porsi berisi 2,5 kepiting yang dipotong-potong. Besar dan keras! Perjuangan ekstra sebelum mendapat dagingnya yang empuk, putih dan gurih. 65 ribu satu porsi kepiting asam manis ini. Jika mentok gak bisa nggigit cangkangnya yang keras, panggil salah satu pelayannya, mereka dengan senang hati memecahkannya untuk pembeli. Katanya banyak yang pesan menu ini untuk dibawa sebagai oleh-oleh ke Jawa. Dibawa terbang 2 jam aku kira masih bisa sih dimakan. Tapi gak minat!
Cari Oleh-Oleh
Ada banyak pilihan oleh-oleh makanan. Amplang paling sering aku lihat dulu dibawain keluarga Mbak Tres jika pulang Jawa. Maka beli ini. Tapi di toko makanan oleh-oleh ada beberapa pilihan lain. Lempok duren, abon ikan, dan aneka makanan merk Apollo. Ini merek impor Malaysia. Ada beberapa jenis tinggal pilih, bisa bolu, stik, roll kek, wafer, coklat. Dikemas kecil-kecil jika dibagikan ke sanak dan sahabat mudah. Rasanya hanya lumayan saja. Tidak terlalu istimewa.
Toko-toko oleh-oleh akan merapikan barang-barang yang kita beli itu dalam dus dan dikemas bagus. Siang angkut.
Wednesday, May 23, 2007
Pesta Jawa di Kampung Pelayaran
Tidak kebayang! Bahkan di pulau Kalimantan nun jauh di sana itu, sebuah pesta Jawa lengkap bisa diikuti. Acara tonjok menonjok nan heboh masih dipeliharan. Ini nih adalah tradisi untuk menghantarkan makanan ke para tetangga dan sanak keluarga sebelum acara pesta manten. Beberapa hari sebelumnya. Tiba di Kampung Pelayaran sehari sebelum pesta manten, tuan rumah sedang sibuk dengan acara tonjokan ini. Makanan-makanan dikemas dalam rantang dan diantar menurut daftar yang sudah dibuat. Lihat menunya, mi goreng, ayam dan telur bumbu merah, sambel goreng. Jawa banget resepnya.
Calon manten sendiri dirawat dengan lulur dan temung. Supaya kulitnya bersih bersinar dan tidak keringatan saat dirias nanti. Tentu saja dia tidak boleh keluar rumah.
Jumat 18 Mei 2007 menjadi saat untuk ijab kabul. Dengan perhitungan hari tanggal yang matang, juga jam hingga ditentukan saat yang paling baik adalah pukul 8 malam. Riasan Jawa, makanan Jawa, cara Jawa. Hehehe...bahasa Jawa pula.
Hari Sabtu 19 Mei jadi hari spesial. Manten dengan kebaya hitam bersulam emas khas manten Solo temu di depan rumah. Mengikuti adat lempar beras kuning, pecah telur, cuci kaki, sungkem suami, lalu diboyong ke pelaminan dengan gendongan mesra ibu memakai kain sidomukti (jadi bahagia). Di pelaminan, mereka sungkem ke orang tua. Kacar kucur, yaitu menumpahkan biji-bijian ke pangkuan istri menjadi simbol bahwa suami mencari nafkah dan memberikannya kepada istri. Lalu suap-suapan nasi kuning dan minum.
Aku selalu tertarik pada makanan. Ada beberapa deret menu yang bisa diambil secara prasmanan oleh para tamu. Kekhasan Jawa muncul dengan kuat. Ya, wong menunya ada gudeg lengkap dengan ayam, krecek, telur. Lalu nasi pecel, dan peyek. Deretan lain yang di luar Jowo adalah coto makasar dan bakso. Kue-kue mini dan buah ada di pondok-pondokan yang lain. Aih, bener-bener pesta aku. Semua diincip. Hebatnya sambil diiringi karawitan dengan gamelan lengkap, walau beberapa lagunya lagu kontemporer campur sari campur dangdut.
Pesta meriah berlangsung hingga pukul 9 malam dengan tamu tak henti-hentinya mengalir. Pukul 9 malam, seluruh makanan ditarik ke dapur dan pentas wayang dimulai. Dalangnya Ki Greng dari Sragen dengan sinden lokal dan impor dari Jawa. Gak mudeng ceritanya apa, tapi melihat banyaknya penonton, kesenian ini masih menjadi primadona untuk tontonan rakyat Jawa di Balikpapan. Sampai pagi.
Aku bersama Yeni dan Ibu, gak melihat wayang ini, tapi malah nongkrong makan nasi pecel pincuk Tulungagung diantara deretan penjual makanan yang memeriahkan malam wayang kulit ini. Harganya? Wuih mahal. Bertiga makan nasi pecel di pincuki, pake tempe goreng dan peyek 23 rebu bok. Di Gringging angka itu bisa untuk 15 orang menu yang sama. Tapi puas nikmat, gak disesali.
Mengunjungi Kampung Pelayaran, Balikpapan
Kamis hingga Minggu (17 - 20 Mei) 2007 aku mengadakan perjalanan ke Balikpapan bersama ibu dan Yeni. Bertiga lepas dari rutinitas pekerjaan rumah tangga maupun pekerjaan kantor. Tidak nyangka ini menjadi perjalanan yang menyenangkan dan jauh dari perkiraan semula yang 'hanya' niat menghadiri perkawinan Veka.
Perjalanan dimulai dari Bandara Sukarno Hatta. Aku udah cangkruk di situ dari subuh karena naik travel dari Lampung, diantar pertama kali. Dua jam kemudian baru ibu dan Yeni muncul. Aduh, ngantuk dan capek. Ikut dalam penerbangan pertama Lion Air, pukul 6.50, terasa segar kembali karena obrolan bertiga. Yah, lumayan melepas kangen. Terakhir bertemu mereka berdua pada akhir tahun kemarin. Jadi ya, seneng-seneng aja.
Perjalanan ke Balikpapan ditempuh selama 2 jam. Dengan lapar, karena rupanya Lion hanya menyediakan segelas air. Sepotong kecil wingko sisa dari travel dipotong jadi 3 untuk mengganjal perut. Hehehe...dasar tidak cerdas dan kegeeran penuh harap. Jadinya begitu itu, kelaparan di dalam pesawat. Sebenere aku niat memakai waktu 2 jam perjalanan itu untuk mewawancarai ibu berkaitan dengan silsilah keluarga Gringging. Tapi kurang nyaman, enakan ngobrol tentang apa saja. Toh beberapa kisah tentang kung dan mbah pasti muncul juga.
Bandara Sepinggan Balikpapan, sangat bersih. Keluar dari bandara ini menuju Kampung Pelayaran, kami terbengong-bengong melihat kota ini rupanya sangat rapi. Terasa aman. Indah. Bayangin, sepanjang perjalanan kami melihat laut di sisi kiri dan perbukitan hijau di sisi kanan. Kampung Pelayaran ada di dekat pelabuhan. Berada di antara perumahan untuk Pertamina. Sangat kontras. Pertamina punya, rumah sangat besar dengan halaman luas tanpa pagar, ditumbuhi rumput hijau yang rapi selalu dipotong sepertinya. Tanah yang naik turun mengingatkan perumahan ini seperti di lapangan golf. Hehehe.... Nah, rumah para warga biasa di sekitaran Kampung Pelayaran ini berjejal dan padat. Rumah-rumah berdempetan tanpa halaman, dan berusaha dibangun naik untuk membuat ruang yang longgar. Soal bersih dan indah tetep. Aku terkesan dengan tangga-tangga yang ada di setiap rumah. Ya, tentu saja mereka butuh tangga karena rumah-rumah itu berada di perbukitan naik turun. Bisa jadi ruang tamu datar, tapi dapur dan kamar mandi di bawah sana, tempat tidur naik ke atas. Bisa olah raga gratis pokoknya naik turun untuk keperluan sehari-hari.
Kampung ini dihuni oleh pendatang-pendatang dari Jawa khususnya Jawa Timur sekitar Kediri, Nganjuk, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Surabaya dan Madura. Maka bahasa sehari-hari tidak asing lagi. Pokoke jadi belajar bahasa Jawa halus kembali (dengan logat dan kosa kata amburadul). Yang aku kunjungi ini saudara dari Bapak. Pak Puh Kardoyo adalah suami dari kakak bapakku yang sudah meninggal (aku kira mbak kandung beda bapak dengan bapakku). Mereka tidak mempunyai anak tapi mengangkap seorang anak perempuan yang kami panggil Mbak Tres. Anak mbak Tres inilah si Veka yang melangsungkan pernikahan.
Kamis, terlampaui dengan ngobrol kangen-kangenan, dolan ke Kebun Sayur dan Klandasan, makan kepiting di Dandito, dan tidur dengan pulas hingga ampir siang. Jumat begitu juga, ngobrol, makan dolan, malam hari ijab kabul si Veka dengan Iwan. Ditutup dengan kunjungan ke rumah Pak Amir, salah seorang yang setiap datang ke Jawa pasti tidur menginap di rumah Kediri. Sabtu dari pagi hingga malam pesta nikah meriah. Tapi kami dolan juga di sela-selanya. Klandasan again. Minggu ngobrol makan, terus pulang. Di Sepinggan nunggu beberapa saat. Kami naik Lion Air pukul 12.40. Beberapa detail cerita Balikpapan aku ceritakan dalam tulisan lain. Aku kira bisa beberapa tulisan lagi deh. Asyikkk....
Monday, May 14, 2007
Tanggal 12 Mei lalu, hari Sabtu, aku dan Hendro mendapatkan kesempatan langka. Berbicara di depan 31 pasang peserta kursus persiapan perkawinan Katolik. Untuk pertama kalinya kami melakukannya dengan sebuah tema yang khusus, yaitu Komunikasi Pasangan Suami Istri. Berat. Sungguh berat, karena kami bukanlah pasangan yang sudah sempurna dalam berkomunikasi satu sama lain. Aku sering ngomong tentang komunikasi tapi untuk orang muda atau tema jurnalistik, tidak pernah tentang perkawinan artinya tentang kami sendiri. Terlebih Hendro, tidak pernah dia ngomong tentang komunikasi. Tapi okey juga tawaran itu.
Kami lalu membuat sebuah tulisan berdasarkan bukunya Gilarso. Lalu membuat simulasi sederhana,"Kami ingin mengajak anda sekalian untuk pacaran. Pacaran rame-rame. Jadi duduklah mepet satu sama lain." Lalu masing-masing kami pandu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang aku rasakan, apa yang aku senangi dari pasangan, jika ada yang tidak aku senangi aku akan bagaimana dan jika dariku ada yang tidak disenanginya, aku berharap dia bagaimana. Pasangan-pasangan muda itu lalu kami ajak untuk berpegangan tangan, saling menatap, saling menyalurkan kasih, dan mensharingkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Baru kemudian kami bergantian mempresentasikan tulisan dan diselipi cerita keseharian kami, mulai dari awal pernikahan hingga kini punya dua anak. Ah, lega ketika 1,5 jam selesai. Bahkan kami punya penutup tak terduga, untuk tarik kesimpulan. Albert dan Bernard tiba-tiba masuk ke dalam ruangan (sebelumnya mereka ditemani si Reni main di luar), yach anak-anak itu lalu maju begitu saja sambil panggil ibu, bapak dan nemplok di antara kami berdua. Seluruh pasangan itu tentu saja melihatnya dan itulah bayangan bagi mereka, yang akan mereka jalani nanti setelah pernikahan.
Malamnya, kami saling bicara, dan rupanya moment ini membuahkan banyak hal bagi kami berdua. Banyak yang kami pelajari dari peristiwa itu. Hendro, yang hampir tidak pernah bicara di depan umum selain omong tentang listrik, maintenance, keselamatan kerja, dll., merasa terpesona dengan pengalaman itu. "Jika diundang lagi, atau bahkan jadi pembicara tetap, mau aku!" Hahaha...ketagihan dia.
Kami lalu membuat sebuah tulisan berdasarkan bukunya Gilarso. Lalu membuat simulasi sederhana,"Kami ingin mengajak anda sekalian untuk pacaran. Pacaran rame-rame. Jadi duduklah mepet satu sama lain." Lalu masing-masing kami pandu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang aku rasakan, apa yang aku senangi dari pasangan, jika ada yang tidak aku senangi aku akan bagaimana dan jika dariku ada yang tidak disenanginya, aku berharap dia bagaimana. Pasangan-pasangan muda itu lalu kami ajak untuk berpegangan tangan, saling menatap, saling menyalurkan kasih, dan mensharingkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Baru kemudian kami bergantian mempresentasikan tulisan dan diselipi cerita keseharian kami, mulai dari awal pernikahan hingga kini punya dua anak. Ah, lega ketika 1,5 jam selesai. Bahkan kami punya penutup tak terduga, untuk tarik kesimpulan. Albert dan Bernard tiba-tiba masuk ke dalam ruangan (sebelumnya mereka ditemani si Reni main di luar), yach anak-anak itu lalu maju begitu saja sambil panggil ibu, bapak dan nemplok di antara kami berdua. Seluruh pasangan itu tentu saja melihatnya dan itulah bayangan bagi mereka, yang akan mereka jalani nanti setelah pernikahan.
Malamnya, kami saling bicara, dan rupanya moment ini membuahkan banyak hal bagi kami berdua. Banyak yang kami pelajari dari peristiwa itu. Hendro, yang hampir tidak pernah bicara di depan umum selain omong tentang listrik, maintenance, keselamatan kerja, dll., merasa terpesona dengan pengalaman itu. "Jika diundang lagi, atau bahkan jadi pembicara tetap, mau aku!" Hahaha...ketagihan dia.
Wednesday, May 09, 2007
Rm. Fritz mengkritik talk show di Radio Suara Wajar yang aku adakan bersama teman-teman Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL) tanggal 1 Mei lalu dalam rangka hari buruh. Menurutnya, talk show yang disiarkan langsung selama 1 jam itu terlalu menekankan buruh sebagai pihak yang lemah, tertindas dan tertekan. Mestinya sisi lain juga ditekankan yaitu soal buruh atau pekerja sebagai tangan ilahi yang turut serta dalam karya kerja Allah. Disodorkan kepadaku St. Yusuf yang diangkat sebagai pelindung para pekerja dan menurut tradisi gereja digambarkan sebagai pekerja tekun nan sederhana. Nilai-nilai kerja seperti itu juga harus diangkat supaya imbang, tidak hanya sekedar menuntut dan merasa lemah sehingga bisa lebih berdaya dan menghargai pekerjaannya. Menurut si romo, kerja bukan hanya soal perut tapi soal pengembangan diri dan menjadi tangan Allah.
Aku setuju! Tapi langsung 'mbededeg sebah' campur gelisah.
Terakhir ini yang pertama mengkili-kili perutku. "Nah, masalahnya para buruh sekarang ini bekerja masih memperjuangkan perut. Perutnya masih kosong. Bagaimana berpikir soal nilai kerja, apalagi di hadapan Allah yang punya gawe besar penyelamatan dunia. Wong kerja yang dilakoni itu karena tidak ada pilihan lain!" aku membela. Dan untuk hari buruh kemarin itu memang FKSPL ingin menekankan bahwa buruh tertindas bukan akibat diri sendiri tapi ini terkait banyak faktor, dengan pihak lain : Pengusaha dan Pemerintah. Khususnya pemerintah yang bisa menentukan abang ijone negara. Jadi mau apa, ketika teriakan : Mayday, mayday, mayday... yang semakin melemah malah dijawab dengan pleton-pleton polisi dan pagar berduri. Ini perlu pertolongan, perhatian, segera! Jika tidak, semua rusak. Buruh adalah warna bangsa. Lha nek buruh rupane segitu getirnya, segetir itulah bangsa kita. SBY-KL, pemimpin bangsa, teman-teman sekalian, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday,........
Aku setuju! Tapi langsung 'mbededeg sebah' campur gelisah.
Terakhir ini yang pertama mengkili-kili perutku. "Nah, masalahnya para buruh sekarang ini bekerja masih memperjuangkan perut. Perutnya masih kosong. Bagaimana berpikir soal nilai kerja, apalagi di hadapan Allah yang punya gawe besar penyelamatan dunia. Wong kerja yang dilakoni itu karena tidak ada pilihan lain!" aku membela. Dan untuk hari buruh kemarin itu memang FKSPL ingin menekankan bahwa buruh tertindas bukan akibat diri sendiri tapi ini terkait banyak faktor, dengan pihak lain : Pengusaha dan Pemerintah. Khususnya pemerintah yang bisa menentukan abang ijone negara. Jadi mau apa, ketika teriakan : Mayday, mayday, mayday... yang semakin melemah malah dijawab dengan pleton-pleton polisi dan pagar berduri. Ini perlu pertolongan, perhatian, segera! Jika tidak, semua rusak. Buruh adalah warna bangsa. Lha nek buruh rupane segitu getirnya, segetir itulah bangsa kita. SBY-KL, pemimpin bangsa, teman-teman sekalian, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday, mayday,........
Monday, May 07, 2007
kemarin aku berbincang dengan muder julia, pimpinan tertinggi fsgm di Indonesia. kesederhanaan mencuat darinya. saat bicara aku amati bibirnya. kecantikan biasa khas seorang wanita indonesia umur diatas setengah abad. tapi yang menarik adalah rentetan kata yang keluar darinya. pelan-pelan diucapkan kata per kata. sangat hati-hati seolah takut kata itu akan berhamburan memburat berantakan. mungkin juga takut setiap kata itu akan menggores lantai porselin yang halus yang sedang ditapaki. pokoknya ini gaya bicara yang menyenangkan.
ya tentu saja beda dengan gayaku yang seringkali kata kalimat tersembur begitu saja, lalu baru disesali kemudian. lebih-lebih lagi jika kemudian diketahui ada yang menangis karenanya. berapa kali sudah aku mengaku dosa karena mulutku tapi terulang juga setiap kali.
perjumpaan yang menyenangkan selama setengah jam itu lalu berlanjut dengan hingar bingar bersama br bambang yang bicara banyak tentang pendidikan inklusi. apa ya...tentang pendidikan yang terbuka bagi setiap orang beragama apapun, kaya dan miskin, bentuk apapun fisiknya...pendidikan yang menjadi hak bagi semua orang tanpa kecuali. br memberikan kritik terhadap sistem pendidikan indonesia, tapi terlebih pendidikan dari sekolah-sekolah yang sombong mendongak ke atas tidak melihat di sekitarnya banyak yang memelas tidak tahu apa yang harus dimakan. sebenarnya kritikan ini untuk semua orang, khususnya yang mengaku beriman tapi pelit, tidak mau senyum dengan gratis. hehehe...menurutku.
ya tentu saja beda dengan gayaku yang seringkali kata kalimat tersembur begitu saja, lalu baru disesali kemudian. lebih-lebih lagi jika kemudian diketahui ada yang menangis karenanya. berapa kali sudah aku mengaku dosa karena mulutku tapi terulang juga setiap kali.
perjumpaan yang menyenangkan selama setengah jam itu lalu berlanjut dengan hingar bingar bersama br bambang yang bicara banyak tentang pendidikan inklusi. apa ya...tentang pendidikan yang terbuka bagi setiap orang beragama apapun, kaya dan miskin, bentuk apapun fisiknya...pendidikan yang menjadi hak bagi semua orang tanpa kecuali. br memberikan kritik terhadap sistem pendidikan indonesia, tapi terlebih pendidikan dari sekolah-sekolah yang sombong mendongak ke atas tidak melihat di sekitarnya banyak yang memelas tidak tahu apa yang harus dimakan. sebenarnya kritikan ini untuk semua orang, khususnya yang mengaku beriman tapi pelit, tidak mau senyum dengan gratis. hehehe...menurutku.
Thursday, May 03, 2007
Lama aku mencari kata-kata
lucu, karena sebenarnya nemplok dekat dengan wajahku
kemarin ketika aku pergi berjumpa para muda murnijaya
aku semakin terbahak
memandu mereka dan menegaskan bahwa benda matipun bersuara
bahwa kita punya lebih dari sekedar mati, karena kita bernafas
aku semakin terbahak
karena kata-kata sudah di ujung lidah
siap menyembur
jadi kasih
atau bisa
lucu, karena sebenarnya nemplok dekat dengan wajahku
kemarin ketika aku pergi berjumpa para muda murnijaya
aku semakin terbahak
memandu mereka dan menegaskan bahwa benda matipun bersuara
bahwa kita punya lebih dari sekedar mati, karena kita bernafas
aku semakin terbahak
karena kata-kata sudah di ujung lidah
siap menyembur
jadi kasih
atau bisa
Thursday, January 18, 2007
aku ingat aku bermimpi siang kemarin
bersama bunda dalam hingar sebuah pesta
sebuah bisikan lembut menggapaiku
mengingatkan diriku pergi
jangan di situ, lihatlah kembali
tempat penuh resiko ini
aku beringsut
undur dari keramaian
dalam sebuah ruang sempit
dimana hanya ada aku dan kau
yang berbicara
tapi bukti dan kesaksian
tidak hanya bisa disiarkan
yang penting, murni
bersama bunda dalam hingar sebuah pesta
sebuah bisikan lembut menggapaiku
mengingatkan diriku pergi
jangan di situ, lihatlah kembali
tempat penuh resiko ini
aku beringsut
undur dari keramaian
dalam sebuah ruang sempit
dimana hanya ada aku dan kau
yang berbicara
tapi bukti dan kesaksian
tidak hanya bisa disiarkan
yang penting, murni
Subscribe to:
Posts (Atom)