Pagi ini aku dapat surat cinta dari kayu cemara. Setetes embunnya cemerlang mengenai ujung bulu mataku. Ada keindahan yang tiba-tiba membayang di bukitku yang ramai. Ya, pagiku selalu ramai dengan anak-anak sehingga kadang-kadang aku lupa bagaimana rasa hening di sudut bukit, di bawah pohon cemara, di ujung kerling matahari pagi.
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
No comments:
Post a Comment