Di mana letak Gus Dur? Jawabanku : di dalam cangkir kopi. Itulah letaknya Gus Dur untuk sekarang ini saat nama Gus Dur masih wangi dalam hati, bukan hanya sekadar ejaan yang terbentuk dari huruf-huruf untuk sampai pada namanya, tapi menjadi roh yang menghidupi gerak orang-orang NU dan juga orang-orang yang dicintainya atau mencintainya.
Karena itu, buku yang ditulis oleh Chepry C. Hutabarat dan kawan-kawannya ini sangatlah tepat. Secangkir kopi itu menjadi aroma yang mendekatkan tubuh pada semangat dan niat untuk bergerak.
Ada 10 tulisan dalam buku yang berjudul Gus Dur & Catatan yang Hilang Makna, diterbitkan oleh Lampung Literature tahun 2019 ini. Penulisnya adalah: Chepry C. Hutabarat, Dedy Indra Prayoga, Een Riansah AS, Umar Robani, Sandika Wijaya, Ahmad Mufid, Yogi Prazani, Asep Sugiarto, M. Muhammad Putra dan Lukman Pidada.
Mereka menulis Gus Dur dari berbagai sudut pandang, yang walau tidak lengkap, tidak bikin kencang, toh membuat mata melek. Seperti secangkir kopi itulah. Persis. Tanpa aneka rasa, tapi pas untuk dihirup pelan-pelan dalam waktu yang tidak buru-buru.
Masa tidak ada posisi lain untuk Gus Dur selain dalam cangkir kopi? Lha ya terserah kalian saja. Orang yang sudah mati memang hanya bisa diperbincangkan. Jika dulu banyak orang merasa beruntung karena bisa bercakap-cakap langsung dengan Gus Dur maka sekarang 'aroma' itulah yang bisa dicecap ulang.
Kemarin ketika buku ini dilaunching di Wood Stairs Cafe, 2 Mei 2019 pas dengan hari Pendidikan Nasional, buku ini sudah mendesak Iswadi dan Inaya bicara dengan pancingan moderator M. Yunus. Orang-orang yang hadir dari berbagai kalangan itu seakan menjadi penguat apa yang sudah disampaikan oleh Iswadi dan Inaya. Lalu acara itu selesai.
Tapi 'aroma' Gus Dur selesaikah? Tidak. Kalau secangkir kopi sudah tandas, cangkir itu toh masih bisa terus diisi dan disuguhkan kembali untuk dihirup kembali oleh siapapun. Dan selayaknya zat hara yang masuk dalam tubuh, Gus Dur memberi pengaruh bukan hanya pada satu unsur tubuh tapi seluruh hati, pikiran dan tubuh.
Selebihnya apa? Ya bergeraklah. Bergerak tak hanya ke jamban membuang ampas-ampas tapi terus menjalankan kehidupan yang penuh cinta, menghayati kesetaraan martabat manusia yang sama sebagai 'hanya ciptaan'. Apa jal yang bisa disombongin dari seorang ciptaan? Ra ono.
Wis kono, ngopi.
No comments:
Post a Comment