Pada bulan Juli lalu aku sudah menulis bagaimana mesti merancang perjalanan (klik sini jika lupa) dan juga bagaimana cara mengurus paspor sendiri (klik sini). Nah, sekarang sudah dekat hari libur akhir dan awal tahun, aku ingin ajak lihat bagaimana kami mempersiapkan diri untuk liburan kali ini.
1. Jadwal perjalanan.
Kami membuat daftar perjalanan. Rencananya perjalanan ini akan dilakukan dari tanggal 23 Desember 2012 - 2 Januari 2013. Maka, daftar itu berisi apapun yang akan kami lakukan mulai dari tanggal itu dari rumah sampai kembali di rumah. Yaitu tujuan, alat transportasi, tempat makan dan di baris yang sama kami beri perkiraan rupiah/ringgit/bath yang diperlukan.) Perjalanan kali ini kami akan menempuh 3 negara mulai dari Indonesia (Lampung dan Jakarta), lalu Malaysia (Kualalumpur) dan Thailand (Hatyai). Kami catat juga di lembaran itu apa yang mesti diperhatikan di tiap-tiap point. Referensinya dari Google dan teman yang sudah pernah ke sana.
2. Catatan kecil
Ini kami pisah dari daftar perjalanan, tapi ditaruh di buku agenda kecil yang akan kami bawa. Isinya adalah alamat tempat kami akan menginap (Tempat menginap harus dipastikan jauh-jauh hari. Kali ini kami akan menginap di tempat saudara saat di KL, jadi cukup aman dan murah meriah lah. Di Hatyai akan memakai hotel murah yang terjangkau.), nomor-nomor penting, dan jadwal penerbangan plus kode penerbangan. Ohya, tentu harus dilengkapi dengan alamat dan nomor Kedutaan Besar negara setempat yang akan dikunjungi. Hanya untuk jaga-jaga saja. Buku agenda ini mesti dijadikan satu dengan dokumen-dokumen identitas diri.
3. Dokumen penting
Dokumen-dokumen mulai kami kumpulkan, yaitu paspor, kartu keluarga dan tiket. (Tiket sudah kami beli beberapa bulan lalu, supaya dapat harga murah. Pun kami beli nyicil. Beli dulu untuk berangkat, lalu baru untuk pulang pada kesempatan yang berbeda. Jadinya pulang pergi Jakarta - Kualalumpur jatuhnya Rp. 760.000,- per orang. Cukup murah untuk ukuran hari libur. Jadi cukup puaslah. Ini tidak akan melebihi budget andai kami pulang kampung.) Ketiganya kami fotokopi dan nanti akan kami taruh kopiannya di tas besar, terpisah dari tas kecil tenteng yang melekat di badan.
4. Menukar uang
Berdasar itinery, kami mulai tukar uang dalam bentuk ringgit dan bath. Menyisakan beberapa ratus rupiah untuk airport tax dan keperluan di Indonesia, dan juga menyiapkan bentuk US Dollar untuk saving. Saat aku tukar beberapa hari lalu, ringgit sedang langka (belum dapat) sedang bath dihargai Rp. 329,-. Ini pun kami lakukan dengan nyicil, dikit-dikit kan lama-lama menjadi bukit. Sebagian dari hasil membuka kotak keinginan kami masing-masing. Den Hendo pemecah rekor dapat Rp. 499.000,-. Aku urutan kedua cuma dapat Rp. 147.000,-. Dan masing-masing anak-anak tidak lebih dari Rp. 100.000,- Minimal bisa untuk beli oleh-oleh untuk pribadi. Hehehe...
5. Menyiapkan barang-barang keperluan perjalanan.
Kamera plus baterai, pulsa telepon yang kira-kira cukup untuk SMS antar negara selama beberapa hari itu, alat-alat mandi, pena yang masih penuh isinya, baju ringan seminim mungkin dan baju dalam agak banyak. Juga sepatu yang cukup nyaman untuk perjalanan. Makanan dan minuman juga kami siapkan karena anak-anak suka tidak terduga jika merasa lapar. Tapi tidak bawa banyak, hanya beberapa roti, susu kotak dan air putih yang bisa dikonsumsi sambil nunggu pesawat. Juga vitamin, tolak angin dan minyak kayu putih. Ukuran kecil saja.
6. Stamina tubuh
Ini yang paling penting. Den Hendro dan Bernard beberapa hari terakhir ini sudah mulai batuk-batuk karena kehujanan beberapa kali, maka beberapa hari sebelum keberangkatan harus ada dopping. Minum madu secara rutin bisa membantu untuk menjaga stamina tubuh. Jangan sampai sakit saat perjalanan. Sungguh, itu sama sekali tidak enak.
7. Menyiapkan mental.
Perjalanan yang akan kami lakukan adalah perjalanan minim ongkos dengan gaya backpacker. Maka seluruh peserta perjalanan yaitu aku, Den Hendro dan anak-anak mesti membayangkan akan banyak jalan kaki, transportasi umum, menahan keinginan memborong barang-barang, dan tidak ada manja-manjaan. Juga harus akur. Walau ada jadwal perjalanan, targetnya adalah menikmati perjalanan. Jadi selalu fleksible.
8. Packing
Pengemasan akan dilakukan pada hari terakhir sebelum berangkat walau semua barang sudah disiapkan. Maka hari terakhir itu jangan membuat janji terlalu banyak untuk keluar rumah. Lebih baik untuk istirahat dan packing. Hanya membawa 4 tas sesuai jumlah orangnya. Ini akan nikmat kalau tidak banyak bawaan. Dan lagi tiket yang kami beli kan tanpa bagasi, jadi lebih irit. Hehehe...
Nah, begitu deh. Semua akan siap, dan selamat berlibur.
Thursday, December 20, 2012
Monday, December 17, 2012
Berkawan Dengan Kantuk
Bukan karena tak ada pilihan
aku berkawan denganmu pagi ini, siang dan malam
tanganku sudah memelukmu ketika
aku memilih gunakan malam hingga subuhku
dalam pesta raya denyut otak
kau akan jadi teman bagi gerakku
hanya pintaku, jangan menggangguku!
ciumi aku, cumbui aku
tapi, jangan menggangguku
hari ini aku tak akan mengikuti maumu
bergelas kopi lari atau rock and roll
akan menghadang ganggumu jika kau berniat begittu
hari ini aku akan sangat sibuk
duduklah di depanku
dan jadi kawanku tak berkianat.
aku berkawan denganmu pagi ini, siang dan malam
tanganku sudah memelukmu ketika
aku memilih gunakan malam hingga subuhku
dalam pesta raya denyut otak
kau akan jadi teman bagi gerakku
hanya pintaku, jangan menggangguku!
ciumi aku, cumbui aku
tapi, jangan menggangguku
hari ini aku tak akan mengikuti maumu
bergelas kopi lari atau rock and roll
akan menghadang ganggumu jika kau berniat begittu
hari ini aku akan sangat sibuk
duduklah di depanku
dan jadi kawanku tak berkianat.
Saturday, December 15, 2012
Dharma Wanita
Dulu yang namanya Dharma Wanita itu akrab di telinga. Ibu Titik, ibuku termasuk penggiat di Kecamatan Grogol Kediri, maka tak asing kalau tiba-tiba suatu hari ibu bilang akan rapat Dharma Wanita. Ibu akan memakai seragam yang berbeda dari biasanya ketika mengajar, dan berangkat pulangnya pun pada jam yang berbeda. Dan karena rapatnya akan diadakan di kantor kecamatan atau kantor dinas atau kantor mana gitu, biasanya pulangnya akan membawa oleh-oleh. Sebenarnya bukan oleh-oleh yang sengaja beli, tapi sekotak kue atau nasi yang dibagikan saat rapat. Seingatku ibu selalu membaca kotak itu utuh dan 'dipurak', dibagi beramai-ramai oleh kami bertiga anak-anaknya. Tidak pernah dimakan sendiri (Kok beda sama aku ya, setiap dapat jatah rapat atau acara aku langsung santap di tempat. Jarang kubawa pulang. Akan kuingat lain kali bahwa dibawain oleh-oleh ibunya itu menyenangkan walau rebutan.)
Sekian lama, nama Dharma Wanita tidak bergaung di telinga maupun otak juga hati. Aku bukan istri Pegawai Negeri Sipil (PNS) jadi tidak tergabung dalam cabang Dharma Wanita manapun. Ini adalah organisasi yang berdiri pada tahun 1974 oleh Tien Soeharto, istri presiden RI waktu itu. Organisasi ini berubah nama menjadi Dharma Wanita Persatuan pada tahun 1998 dengan visi menjadi organisasi istri pegawai negeri yang kukuh, bersatu, dan mandiri. Misinya adalah menyejahterakan anggota melalui bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya secara demokratis. Dan suamiku orang swasta yang tidak punya macam ini di pabriknya. Jadi jauhlah.
Nah, lalu kenapa aku tiba-tiba masuk dalam topik ini? Mulanya adalah kerjaan Indri (dosen FISIP Unila) dan Melly (dosen FISIP Unila juga dan kebetulan menjadi Ketua Dharma Wanita Fakultas Teknik (FT) Unila) untuk mewarnai pertemuan rutin arisan para ibu istri dosen FT itu dengan 'sesuatu'. Entah aku dianggap punya sesuatu atau hanya sekedar kolusi antar teman (hehehe), aku diminta datang (Jumat 14/12) di Gedung A (?) FT Unila. Harus ngomong apa? Tentang apa saja terkait peran ibu dalam pembangunan. Weh. Astaga.
"Aku mau tapi bentuknya talk show ya. Ada moderator bertanya dan aku tinggal menjawab. Kalau disuruh nggambleh sendiri, ndak mau aku." Indri setuju. Dan aku bilang ke Melly lanjutannya. "Bukan kasih materi, tapi ngerumpi."
Alkisah, aku pun berdiri di depan para ibu hebat itu, menjadi orang yang paling tidak hebat di antara mereka, tapi aku beruntung karena aku punya hak suara lebih banyak dari semua orang yang ada di ruangan itu kecuali Melly tentu saja, sang ketua dan pemandu acara ini. (Sayang aku lupa bawa kamera sehingga tidak ada foto. Sayang sekali.)
Dan bener-bener ngerumpi. Aku bilang tentang asyiknya hidup jika relasi suami istri okey. (yang berat jadi ringan, yang ringan jadi lebih menyenangkan.) Menjadi pengantarku tengan smsku dan suami pagi itu tentang roti kelinci yang lucu untuk sarapan. Lalu tentang tugas pokok istri dan ibu yang tidak boleh ditinggalkan, plus nambah pulsa luar biasa kalau harus meninggalkan keluarga. Juga tentang sebuah baju sederhana buatan anak-anak Citra Baru hasil latihan mereka. Baju cantik seharga belasan ribu rupiah, hanya lurus potongannya, warna hitam polkadot putih transparan yang aku pakai itu aku ambil sebagai contoh, betapa dengan memakainya saja, sudah menyumbang sedikit percaya diri pada anak-anak disable di Citra Baru. Dan itu aksi konkret yang ketika diceritakan banyak banget inspirasi yang muncul. Gerakanku membuka tali-tali baju itu membuat mereka sedikit antusias memandangku dan otomatis aku merasa sebagai sahabat mereka. Hihihi, mungkin lebay juga yang sudah aku lakukan. Pasti kelihatan seksi deh. Hehehe...
Di bagian akhir, aku bilang pentingnya seorang perempuan jujur terhadap kebutuhannya sendiri. Berusaha menyuarakannya di ranah domestik depan suami anak dan keluarga, juga di ranah publik sosial politik semaksimal yang bisa dilakukan. Dengan begitu orang-orang lain akan paham apa yang dibutuhkan oleh perempuan karena cirinya yang khas berbeda dengan laki-laki. Dan hidup sebagai istri, ibu dan pribadi menjadi lebih asyik.
Ketika seorang ibu bertanya bagaimana tips mengatasi anak-anak, aku terbengong. Hadeuh, aku bukan ahlinya. Pun aku masih sering galau soal anak-anak. Untung seorang ibu, yang ternyata Pembantu Dekan II FT, ibu manis yang anak-anaknya sudah ko-as, sudah kuliah, Dra. Sumiharni, S.T., M.T., dengan suara lembut keibuan (beda dengan suaraku yang mendesak gelisah orasi. hehehe.) menceritakan keterlibatannya bersama anak-anaknya. "Tidak memaksa, tapi mengajak. Hingga keinginan muncul dari anak sendiri." Itu pointnya.
Wah, terimakasih para ibu. Seperti biasa, aku yang dapat paling banyak : materi, pengalaman, teman, dan thank a lot, Mel, Ndri, sudah ngundang aku plus traktiran kwetiau goreng dan kopi hangatnya di kantin FISIP. Hmmm, sedap. Aku pasti kecanduan dharma dharmi macam gini lagi bersama kalian.
Sekian lama, nama Dharma Wanita tidak bergaung di telinga maupun otak juga hati. Aku bukan istri Pegawai Negeri Sipil (PNS) jadi tidak tergabung dalam cabang Dharma Wanita manapun. Ini adalah organisasi yang berdiri pada tahun 1974 oleh Tien Soeharto, istri presiden RI waktu itu. Organisasi ini berubah nama menjadi Dharma Wanita Persatuan pada tahun 1998 dengan visi menjadi organisasi istri pegawai negeri yang kukuh, bersatu, dan mandiri. Misinya adalah menyejahterakan anggota melalui bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya secara demokratis. Dan suamiku orang swasta yang tidak punya macam ini di pabriknya. Jadi jauhlah.
Nah, lalu kenapa aku tiba-tiba masuk dalam topik ini? Mulanya adalah kerjaan Indri (dosen FISIP Unila) dan Melly (dosen FISIP Unila juga dan kebetulan menjadi Ketua Dharma Wanita Fakultas Teknik (FT) Unila) untuk mewarnai pertemuan rutin arisan para ibu istri dosen FT itu dengan 'sesuatu'. Entah aku dianggap punya sesuatu atau hanya sekedar kolusi antar teman (hehehe), aku diminta datang (Jumat 14/12) di Gedung A (?) FT Unila. Harus ngomong apa? Tentang apa saja terkait peran ibu dalam pembangunan. Weh. Astaga.
"Aku mau tapi bentuknya talk show ya. Ada moderator bertanya dan aku tinggal menjawab. Kalau disuruh nggambleh sendiri, ndak mau aku." Indri setuju. Dan aku bilang ke Melly lanjutannya. "Bukan kasih materi, tapi ngerumpi."
Alkisah, aku pun berdiri di depan para ibu hebat itu, menjadi orang yang paling tidak hebat di antara mereka, tapi aku beruntung karena aku punya hak suara lebih banyak dari semua orang yang ada di ruangan itu kecuali Melly tentu saja, sang ketua dan pemandu acara ini. (Sayang aku lupa bawa kamera sehingga tidak ada foto. Sayang sekali.)
Dan bener-bener ngerumpi. Aku bilang tentang asyiknya hidup jika relasi suami istri okey. (yang berat jadi ringan, yang ringan jadi lebih menyenangkan.) Menjadi pengantarku tengan smsku dan suami pagi itu tentang roti kelinci yang lucu untuk sarapan. Lalu tentang tugas pokok istri dan ibu yang tidak boleh ditinggalkan, plus nambah pulsa luar biasa kalau harus meninggalkan keluarga. Juga tentang sebuah baju sederhana buatan anak-anak Citra Baru hasil latihan mereka. Baju cantik seharga belasan ribu rupiah, hanya lurus potongannya, warna hitam polkadot putih transparan yang aku pakai itu aku ambil sebagai contoh, betapa dengan memakainya saja, sudah menyumbang sedikit percaya diri pada anak-anak disable di Citra Baru. Dan itu aksi konkret yang ketika diceritakan banyak banget inspirasi yang muncul. Gerakanku membuka tali-tali baju itu membuat mereka sedikit antusias memandangku dan otomatis aku merasa sebagai sahabat mereka. Hihihi, mungkin lebay juga yang sudah aku lakukan. Pasti kelihatan seksi deh. Hehehe...
Di bagian akhir, aku bilang pentingnya seorang perempuan jujur terhadap kebutuhannya sendiri. Berusaha menyuarakannya di ranah domestik depan suami anak dan keluarga, juga di ranah publik sosial politik semaksimal yang bisa dilakukan. Dengan begitu orang-orang lain akan paham apa yang dibutuhkan oleh perempuan karena cirinya yang khas berbeda dengan laki-laki. Dan hidup sebagai istri, ibu dan pribadi menjadi lebih asyik.
Ketika seorang ibu bertanya bagaimana tips mengatasi anak-anak, aku terbengong. Hadeuh, aku bukan ahlinya. Pun aku masih sering galau soal anak-anak. Untung seorang ibu, yang ternyata Pembantu Dekan II FT, ibu manis yang anak-anaknya sudah ko-as, sudah kuliah, Dra. Sumiharni, S.T., M.T., dengan suara lembut keibuan (beda dengan suaraku yang mendesak gelisah orasi. hehehe.) menceritakan keterlibatannya bersama anak-anaknya. "Tidak memaksa, tapi mengajak. Hingga keinginan muncul dari anak sendiri." Itu pointnya.
Wah, terimakasih para ibu. Seperti biasa, aku yang dapat paling banyak : materi, pengalaman, teman, dan thank a lot, Mel, Ndri, sudah ngundang aku plus traktiran kwetiau goreng dan kopi hangatnya di kantin FISIP. Hmmm, sedap. Aku pasti kecanduan dharma dharmi macam gini lagi bersama kalian.
Thursday, December 13, 2012
Nyanyian
pagiku bersenandung segala nyanyi
melompat diangkat para dikini
berselimut energi
hingga ketukan di tepi mata
memintaku duduk paksa
"betapa aku cintainya. dimana?"
aku menggeleng tak tahu
wajahnya kecewa sendu
mata mengalirkan sungai debu
deras sekuat gelengan kepalaku
kibasan tangan meruntuhkan ragaku
juga semua lagu
para dikini membantu
yang butuh dibantu
bukan aku,
si kikir berhati batu!
melompat diangkat para dikini
berselimut energi
hingga ketukan di tepi mata
memintaku duduk paksa
"betapa aku cintainya. dimana?"
aku menggeleng tak tahu
wajahnya kecewa sendu
mata mengalirkan sungai debu
deras sekuat gelengan kepalaku
kibasan tangan meruntuhkan ragaku
juga semua lagu
para dikini membantu
yang butuh dibantu
bukan aku,
si kikir berhati batu!
Wednesday, December 12, 2012
12 - 12 - 12
kiamat disiram hujan
mandi massal segala alam
aku terlanjur meloncat jendela
mengetuk pintu berbisik
"bolehkah aku masuk?"
tampias basah seluruh badan
aku telanjang mengering
di sudut pendiangan
gemetar
pada adventku
yang belum usai
mandi massal segala alam
aku terlanjur meloncat jendela
mengetuk pintu berbisik
"bolehkah aku masuk?"
tampias basah seluruh badan
aku telanjang mengering
di sudut pendiangan
gemetar
pada adventku
yang belum usai
Monday, December 10, 2012
Pembantaian
adventku bukan sekedar penantian
serupa jalan kalvari bagi dua pengkianat
di samping kanan dan kiri
darah dan keringat membalur
tengkukku masih tegar tegak
menahan luap air mata
paksa aku bersimpuh, wahai
buat hatiku rela bagi pembantaian
menghanguskan kesombongan jiwa
demikian eranganku adalah hamba
dan lukaku adalah upeti, bagi raja
yang sudah mencipta leluasa penuh cinta
serupa jalan kalvari bagi dua pengkianat
di samping kanan dan kiri
darah dan keringat membalur
tengkukku masih tegar tegak
menahan luap air mata
paksa aku bersimpuh, wahai
buat hatiku rela bagi pembantaian
menghanguskan kesombongan jiwa
demikian eranganku adalah hamba
dan lukaku adalah upeti, bagi raja
yang sudah mencipta leluasa penuh cinta
Friday, December 07, 2012
Lesu
kalau aku menulis lagi tentang lesu, kau pasti tidak percaya.
kau akan katakan bahwa aku bohong lalu kau akan bergelanyut di ujung senyumku
menggosok lidahku hingga mengeluarkan suara lucu
kemudian kau akan memaksaku mendengar ringkikanmu
persis di gendang telinga
adalah kabut yang sudah ditaruh sembarangan entah siapa
terasa ketika aku mulai menghela kakiku melewati jalan ini
mata remang tak mampu melihat jelas di sekitarku
berpuluh meter kemudian adalah pekat
ya, kalau aku menulis lagi tentang lesu, kau pasti tidak percaya
malah menggandengku dan bergurau tebak-tebakan apa di depan kita,
di belakang, di samping, di atas, di bawah?
jangan kuatir begitu kau katakan sembari menyenggol bahuku
kau bisikkan ada banyak kunang-kunang di saku
kau pastikan akan meletakkan mereka di bulu mataku, nanti
kau akan katakan bahwa aku bohong lalu kau akan bergelanyut di ujung senyumku
menggosok lidahku hingga mengeluarkan suara lucu
kemudian kau akan memaksaku mendengar ringkikanmu
persis di gendang telinga
adalah kabut yang sudah ditaruh sembarangan entah siapa
terasa ketika aku mulai menghela kakiku melewati jalan ini
mata remang tak mampu melihat jelas di sekitarku
berpuluh meter kemudian adalah pekat
ya, kalau aku menulis lagi tentang lesu, kau pasti tidak percaya
malah menggandengku dan bergurau tebak-tebakan apa di depan kita,
di belakang, di samping, di atas, di bawah?
jangan kuatir begitu kau katakan sembari menyenggol bahuku
kau bisikkan ada banyak kunang-kunang di saku
kau pastikan akan meletakkan mereka di bulu mataku, nanti
Tuesday, December 04, 2012
Pak Sam dan Bu Titik, Proficiat!
"Bapak dan ibu, selamat. Puluhan tahun bukan masa yang pendek. Bukan selalu sempurna, tapi aku bersyukur terlahir dalam keluarga ini. Salam dan doa dari Lampung."
Minus keluarga Yeni. Lupa kapan dibuat. |
Kami anak-anaknya belum seujung kuku menyamai hal itu. Mbak Lis, aku dan Yeni masih mengembara mempelajari terjal perkawinan. Belum mampu juga meraup pembelajaran dari mereka berdua.
Keluarga Yeni, kesempatan beda |
Ah, aku telah mendapat wujud ragaku karena persetubuhan mereka, sekaligus juga mendapat watak-watak dasar dari perpaduan mereka. Selanjutnya, pun mendapat pengaruh dan pengalaman dari mereka. Semuanya dibungkus rasa kasih sayang yang masih belum bisa kutiru untuk anak-anakku.
"Selamat, pak dan bu. Terimakasih banyak sudah menyediakan diri bagi perkembangan jiwa dan ragaku hingga kini. Tidak selalu sempurna, tapi aku ingin selalu bersyukur karena terlahir dari anda berdua." Tulus dalam doa hari ini, 4 Desember 2012.
Monday, December 03, 2012
Awestruck
panggilan itu nyata tersadari
menjadi pintu ke persemayaman
lidah-lidahnya menyemat kunci
pembuka laci-laci sentuhan
aku berjingkat memungutnya
satu-per-satu lumat
'manis di mulut
pahit di perut'
hujan membantuku mencerna
sungguh pelan
hingga tidak diare
terbuang
malam secangkir kopi pekat
untuk mengendapkan
kekaguman
(Tak ingin lupa detail cukil kata dari obrolan bersama Erwin di teras Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (2/12). Seluruhnya adalah cuplikan ilmu, yang akan terkupas di perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Sudah kudapat rangkumannya, akan kuserap seluruhnya! Pasti.)
menjadi pintu ke persemayaman
lidah-lidahnya menyemat kunci
pembuka laci-laci sentuhan
aku berjingkat memungutnya
satu-per-satu lumat
'manis di mulut
pahit di perut'
hujan membantuku mencerna
sungguh pelan
hingga tidak diare
terbuang
malam secangkir kopi pekat
untuk mengendapkan
kekaguman
(Tak ingin lupa detail cukil kata dari obrolan bersama Erwin di teras Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (2/12). Seluruhnya adalah cuplikan ilmu, yang akan terkupas di perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Sudah kudapat rangkumannya, akan kuserap seluruhnya! Pasti.)
Thursday, November 29, 2012
Rhoma Irama, Capres Indonesia 2014
Awalnya dari semalam ingin menulis tentang Michael Learns To Rock (MLTR) yang akan nyambangi 3 kota di Indonesia. Tapi gara-gara pagi ini melihat gambar bagus punya Widjana, aku merubah topik. MLTRnya besok-besok saja. Ini tentang Raja Dangdut yang 'mempunyai wacana' menjadi calon presiden Indonesia 2014, yaitu Rhoma Irama (66).
Nah, harus diakui bahwa sosok ini adalah manusia multi talenta. Pertama, dia penyanyi dangdut hebat, legendaris. Lewat Soneta Grup, lagu-lagunya menghiasi jalan, warung, pesta, dan sebagainya. Sebut saja judulnya, kita langsung beralun berdendang hafal sedikit banyak liriknya. Begadang, Judi, Darah Muda, Terajana dan sebagainya. Kedua, dia pemain film-film dengan penonton berjubel di era 70 - 80an. Aku ingat bulik-bulikku termasuk penggemar beratnya. Waktu SD aku pernah diajak nonton film Satria Bergitar, yang dimainkan bersama Ricca Rachim, yang kemudian menjadi istrinya. Ketiga, dia ustadz termasyur. Lihat jadwal ceramah kotbahnya di berbagai belahan dunia. Di Lampung pun pernah diundang sama Eva Dwiana Herman HN di sebuah acara pengajian. Keempat, dia punya banyak penggemar dan pengikut. Penggemarnya mencakup banyak generasi. Gambar-gambarnya masih menghiasi banyak kamar para bujang gadis bapak ibu. Kelima, dia orang yang kuat bersemangat secara fisik maupun dalam berpendapat. Lihat saja sepak terjangnya dalam percintaan. Hanya orang yang kuat yang bisa melakukannya. Juga amati kalau sudah berpendapat, dia akan mempertahankan habis-habisan dengan segala argumentasi. Keenam, dia seorang politikus yang pernah bertahan di partai kabah PPP, pernah jadi utusan GOLKAR, dan juga menjadi ketua di sejumlah organisasi.
Jadi, percaya kan kalau dia multi talenta? Sebagai Raja Dangdut yang kokoh beberapa dasa warsa, dia tak tertandingi. Hebat. Untuk jadi Presiden Indonesia, aku berpikir beberapa tips serius yang bisa membantunya untuk sampai pada impian itu.
1. Melakukan pemetaan secara obyektif tentang orang Indonesia masa kini. Pendapat beberapa ulama, orang dekat, bukan ulama, bukan orang dekat, harus didengarkan untuk mendapatkan gambaran ini. Kan di Jakarta mudah banget ditemui orang-orang yang beragam macam itu, tidak harus keliling Indonesia untuk mendapatkan manusia yang beragam. Jangan mudah percaya pada satu dua orang yang isinya hanya memuji. Memuji dan menjilat itu sangat tipis sekatnya.
2. Mulai menahan diri bicara tentang isu-isu tertentu yang SARA tentang etnis atau agama lain. Pendapatnya tentang etnis atau agama bisa sangat-sangat melukai hati. Bukan hanya etnis atau agama tertentu saja, tapi juga mereka yang bersahabat dengan orang dengan etnis atau agama tersebut. Jika secara hati nurani susah bicara yang sebaliknya karena memang sesadarnya itu yang dipikirkan dan dihayati, minimal tidak usah bicara dulu sampai 2014. Diam-diam saja jika ada hasrat diri ingin bicara tentang hal itu.
3. Mulai membaca koran. Ini biar tidak terjadi peristiwa memalukan seperti dalam Mata Najwa semalam (28/10). Masa ditanya pendapat tentang masalah-masalah sosial yang umum seperti subsidi bahan bakar, malah ngeles. Jika diteruskan bicara, yang ngeles-ngeles kayak gitu pasti ngawur logikanya. Kalau memang tidak biasa terjun langsung ke rakyat luas, membaca koran bisa membantu.
4. Melakukan rekonsiliasi seisi rumah dalam keluarganya. Pendekatan pertama-tama harus dilakukan pada para istri dan anak. Dengan demikian mereka akan menjadi sekutu utama dalam perjalanan ke RI 1 ini. Jangan sampai skandal-skandal lama dan baru terungkap ke publik lewat media apapun. Para istri dan anak sebisa mungkin satu suara dalam urusan pribadi keluarga ini. Pendapat tentang poligami dan kawin siri bisa simpang siur di Indonesia ini.
5. Hati-hati menggunakan ayat-ayat Al Quran. Al Quran bukanlah alat politik, tapi alat untuk kesucian diri. Di dalamnya sudah lengkap disebutkan tentang berbagai hal. Jika urusan sosial dunia masih bisa ngeles, nah urusan yang ini jangan lagi ngeles. Jadi, baca secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Sungguh hati-hati. Ini urusannya dengan Yang Di Atas.
Nah, aku sudah bekerja selama kurang lebih satu jam untuk membuat 5 tips ini. Jika ada hal yang perlu ditambahkan, akan ditambahkan sesegera mungkin. Semoga berguna bagi Rhoma Irama dan tim suksesnya. Good luck ya.
Gambar dari Widjana. |
Jadi, percaya kan kalau dia multi talenta? Sebagai Raja Dangdut yang kokoh beberapa dasa warsa, dia tak tertandingi. Hebat. Untuk jadi Presiden Indonesia, aku berpikir beberapa tips serius yang bisa membantunya untuk sampai pada impian itu.
1. Melakukan pemetaan secara obyektif tentang orang Indonesia masa kini. Pendapat beberapa ulama, orang dekat, bukan ulama, bukan orang dekat, harus didengarkan untuk mendapatkan gambaran ini. Kan di Jakarta mudah banget ditemui orang-orang yang beragam macam itu, tidak harus keliling Indonesia untuk mendapatkan manusia yang beragam. Jangan mudah percaya pada satu dua orang yang isinya hanya memuji. Memuji dan menjilat itu sangat tipis sekatnya.
2. Mulai menahan diri bicara tentang isu-isu tertentu yang SARA tentang etnis atau agama lain. Pendapatnya tentang etnis atau agama bisa sangat-sangat melukai hati. Bukan hanya etnis atau agama tertentu saja, tapi juga mereka yang bersahabat dengan orang dengan etnis atau agama tersebut. Jika secara hati nurani susah bicara yang sebaliknya karena memang sesadarnya itu yang dipikirkan dan dihayati, minimal tidak usah bicara dulu sampai 2014. Diam-diam saja jika ada hasrat diri ingin bicara tentang hal itu.
3. Mulai membaca koran. Ini biar tidak terjadi peristiwa memalukan seperti dalam Mata Najwa semalam (28/10). Masa ditanya pendapat tentang masalah-masalah sosial yang umum seperti subsidi bahan bakar, malah ngeles. Jika diteruskan bicara, yang ngeles-ngeles kayak gitu pasti ngawur logikanya. Kalau memang tidak biasa terjun langsung ke rakyat luas, membaca koran bisa membantu.
4. Melakukan rekonsiliasi seisi rumah dalam keluarganya. Pendekatan pertama-tama harus dilakukan pada para istri dan anak. Dengan demikian mereka akan menjadi sekutu utama dalam perjalanan ke RI 1 ini. Jangan sampai skandal-skandal lama dan baru terungkap ke publik lewat media apapun. Para istri dan anak sebisa mungkin satu suara dalam urusan pribadi keluarga ini. Pendapat tentang poligami dan kawin siri bisa simpang siur di Indonesia ini.
5. Hati-hati menggunakan ayat-ayat Al Quran. Al Quran bukanlah alat politik, tapi alat untuk kesucian diri. Di dalamnya sudah lengkap disebutkan tentang berbagai hal. Jika urusan sosial dunia masih bisa ngeles, nah urusan yang ini jangan lagi ngeles. Jadi, baca secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Sungguh hati-hati. Ini urusannya dengan Yang Di Atas.
Nah, aku sudah bekerja selama kurang lebih satu jam untuk membuat 5 tips ini. Jika ada hal yang perlu ditambahkan, akan ditambahkan sesegera mungkin. Semoga berguna bagi Rhoma Irama dan tim suksesnya. Good luck ya.
Wednesday, November 28, 2012
The Moving Office
Capucino dan nasi goreng untuk makan siang! |
Waroeng Kopi letaknya di Jl. Nusa Indah, no 3. Aku kira belum lama, karena aku baru melihatnya beberapa bulan terakhir ini. Sepertinya baru buka pada bulan Maret tahun ini. Dengan kapasitas 60 pengunjung dengan beberapa jenis ruang, silakan pilih ber-AC, untuk merokok, atau yang di taman. Musik akan mengalun, dan aku bisa kerja dengan tenang. Orang datang dan pergi tapi tidak terlalu ramai. Entah hanya untuk hari ini kebetulan sepi, atau memang tempat ini masih sepi.
Menu yang ada standar kafe kopi. Beberapa jenis kopi, minuman panas dan dingin, beberapa ragam makanan ringan dan berat. Di titik ke 14.00 perutku yang protes membuatku pesan nasi goreng WK agak pedes. Cukup berat, terlebih usai tandas secangkir capucino. Makan sembari menikmati wifi gratis. Hehehe, rasanya sih ini bukan gaya hidupku, tapi sesekali melakukannya cukup ternikmati.
Tagihan? Jika sesekali kayaknya tempat ini masih terjangkau deh. Tapi kalau ramai-ramai aku pilih ditraktir saja. Hehehehe....
Tuesday, November 27, 2012
Selamat Jalan, Romo Alex Ganggu, SVD.
Siang ini (27/10) usai misa prasetya kekal beberapa suster FSGM di Pringsewu, sebuah surat elektronik masuk. Dari Romo Ronnie Neto Wuli, Pr, seorang sahabat dari Ende di timur jauh sana :
"Saat ini saya sedang berada di Ende-Flores mengikuti serangkaian acara penghormatan, misa requiem dan pemakaman seorang tokoh "guru dan sahabat" JPIC, GPP dan GATK Keuskupan Agung Ende dan SVD Flores : Pater Alex Ganggu, SVD. Misa requiem di Aula BBK St. Kondradus Ende dipimpin langsung Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota dan pemakaman di Taman Pemakaman Biara Bruder St. Kondradus Ende dipimpin mantan Ketua Komisi JPIC-KAE Rm.DR.Domi Nong, Pr. Terlihat yang sibuk diantara panitia sidang perkabungan ini adalah teman2 alumni Pendas dan Promotor GATK Kevikepan Bajawa dan Ende-K.A.E. Dari sambutan2 termasuk dari Bupati Ende menyebutkan : "Kita kehilangan seorang tokoh kemanusiaan, pemberdayaan dan pejuang keutuhan ciptaan, promotor Active Non-Violence serta sahabat lingkungan alam ciptaan." Alm Pater Alex ikut Pendidikan Promotor GATK di Mataloko dengan Fasilitator Rm. Danny Sanusi dan mbak Yuli Nugrahani. Demikian sekilas info dari Ende "central Flores"-Nusa Bunga untuk Nusantara."
Surat itu mengingatkanku pada sosok yang setia dan tekun yang pernah aku kenal di tahun 2010. Tidak cukup kenal tapi dia bukan orang sembarangan. Dalam sebuah blog francisobon.wordpress.com, dijelaskan sedikit yang pernah dilakukan oleh 'bapak tua' ini.
"Pater Alex Ganggu SVD dari Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Provinsi SVD Ende mengatakan, gerakan lingkungan hidup yang getol diperjuangkan oleh JPIC selama ini dilandaskan pada konsep bahwa kita membangun relasi tidak saja dengan Tuhan dan sesama, tetapi juga dengan lingkungan hidup.
"Saat ini saya sedang berada di Ende-Flores mengikuti serangkaian acara penghormatan, misa requiem dan pemakaman seorang tokoh "guru dan sahabat" JPIC, GPP dan GATK Keuskupan Agung Ende dan SVD Flores : Pater Alex Ganggu, SVD. Misa requiem di Aula BBK St. Kondradus Ende dipimpin langsung Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota dan pemakaman di Taman Pemakaman Biara Bruder St. Kondradus Ende dipimpin mantan Ketua Komisi JPIC-KAE Rm.DR.Domi Nong, Pr. Terlihat yang sibuk diantara panitia sidang perkabungan ini adalah teman2 alumni Pendas dan Promotor GATK Kevikepan Bajawa dan Ende-K.A.E. Dari sambutan2 termasuk dari Bupati Ende menyebutkan : "Kita kehilangan seorang tokoh kemanusiaan, pemberdayaan dan pejuang keutuhan ciptaan, promotor Active Non-Violence serta sahabat lingkungan alam ciptaan." Alm Pater Alex ikut Pendidikan Promotor GATK di Mataloko dengan Fasilitator Rm. Danny Sanusi dan mbak Yuli Nugrahani. Demikian sekilas info dari Ende "central Flores"-Nusa Bunga untuk Nusantara."
Surat itu mengingatkanku pada sosok yang setia dan tekun yang pernah aku kenal di tahun 2010. Tidak cukup kenal tapi dia bukan orang sembarangan. Dalam sebuah blog francisobon.wordpress.com, dijelaskan sedikit yang pernah dilakukan oleh 'bapak tua' ini.
"Pater Alex Ganggu SVD dari Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Provinsi SVD Ende mengatakan, gerakan lingkungan hidup yang getol diperjuangkan oleh JPIC selama ini dilandaskan pada konsep bahwa kita membangun relasi tidak saja dengan Tuhan dan sesama, tetapi juga dengan lingkungan hidup.
“Itulah alasannya mengapa JPIC getol dalam persoalan
tambang. Karena masalah tambang bukan saja soal sosial ekonomi, tetapi lebih
jauh dari itu adalah soal keutuhan ciptaan,” katanya."
Maka, sejenak aku tunduk ikut berdoa dalam duka cita kepergian Romo Alex. Senyumnya pasti sudah menyebar luas, di kalangan SVD maupun Ende. Selamat jalan, Romo Alex! Rest in peace, father.
Sunday, November 25, 2012
Membanggakan Anak-anak
Di Malioboro saat libur lalu. |
Nah sebaliknya, seorang ibu akan cenderung sinis jika mendengar ibu lain bercakap seru tentang anak-anak mereka. Jadinya tidak antusias mendengarkan, dan pengin 'ngejori', nyaingi dengan cerita lain tentang anak-anak mereka sendiri.
"Kalau anak saya...bla...bla...bla..." Tidak mau kalah.
Bisa jadi kesinisan ini merupakan ujung dari pemahaman bahwa para ibu yang lain itu ya sama saja dengan diri sendiri. Jadi walau bibir tersenyum kepala manggut-manggut, dalam hati menyimpan rasa,"Ah, anakmu gak sepenuhnya seperti itu. Sama seperti kalau aku cerita tentang anak-anakku, ada bagian yang tidak kuceritakan juga."
Hehehe...sebegitu pahamnya aku akan situasi ini, ternyata aku pun melakukan hal yang serupa juga. Jika yang diceritakan tentang anak-anak, maka anak-anakkulah yang paling top, the best of the best lah. Walau aku cerita tentang kesalahan, kenakalan, kenaifan mereka, aku tetap bisa menemukan sisi yang bisa kubanggakan dari kisah itu.
Mungkin, ini sebentuk harapan. Mungkin juga ini menggelapkan mata para ibu. Tapi, harapan adalah doa, adalah sugesti. Maka aku akan tetap melakukannya, aku rasa. Anak-anakku selalu anak-anak yang paling tepat bagiku. Begitupun anak-anak lain selalu paling tepat bagi ibunya masing-masing. Maka tentu saja mereka adalah anak-anak paling hebat yang pernah ada.
Friday, November 23, 2012
Pesan Pastoral Sidang KWI Tahun 2012 tentang Ekopastoral
“Keterlibatan
Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan”
Pendahuluan
1. ”
Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan
dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari
tanah” (Mzm. 104:14). Yang dikutip
untuk mengawali Pesan Pastoral ini adalah Mazmur Pujian atas keagungan Tuhan
yang tampak dalam segala ciptaan-Nya. Pujian itu mengandung kesadaran iman
pemazmur akan tanggungjawab dan panggilannya
untuk menjaga dan melestarikan keutuhan ciptaan, dengan mengusahakan keselarasan
dan perkembangan seluruh ciptaan (Kej 2:15).
Inilah kesadaran Gereja juga. Sadar akan pentingnya tanggungjawab dan panggilan tersebut, para
Uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia menyampaikan Pesan Pastoral sebagai buah dari sidang
yang diselenggarakan pada tanggal 5 – 15 November 2012.
Kondisi yang memprihatinkan
2. Alam semesta
dan manusia sama-sama diciptakan oleh
Allah karena kasih-Nya, sehingga manusia tidak bisa tidak menyadari
kesatuannya dengan alam. Itulah sebabnya manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama
ciptaan dan mengolahnya secara bertanggung jawab.
Bumi sendiri merupakan rumah bagi manusia
dan seluruh makhluk yang lain. Hal ini mengharuskan manusia melihat lingkungan
hidup sebagai tempat kediaman dan sumber kehidupan. Oleh karena itu, sejak awal Allah
menciptakan langit dan bumi serta isinya baik adanya (Kej 1:10.12.18.21.25.31)
dan Allah mempercayakan alam kepada manusia untuk diusahakan dan dipelihara.
3. Alam
semesta bukanlah obyek yang dapat dieksploitasi sesuka hati tetapi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sumber daya alam yang diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan
manusia di bumi ini diperuntukkan bagi siapa saja tanpa memandang suku, agama
dan status sosial. Sumber daya itu akan
cukup apabila dikelola secara bertanggung jawab, baik untuk kebutuhan generasi
saat ini maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, alam
harus diperlakukan dengan adil, dikelola dan digarap dengan penuh rasa hormat dan tanggung
jawab.
4. Tetapi kenyataannya, lingkungan yang adalah anugerah Allah itu, dieksploitasi oleh manusia secara serakah dan ceroboh serta tidak
memperhitungkan
kebaikan bersama, misalnya penebangan hutan, pembukaan lahan untuk
perkebunan dan pertambangan yang kurang bertanggung jawab. Lingkungan menjadi rusak, terjadi bencana
alam, lahir konflik sosial, akses pada sumber daya alam hilang dan terjadi marginalisasi masyarakat lokal/adat,
perempuan dan anak-anak. Keadaan itu diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik
sesaat dan pola pikir jangka pendek yang mengabaikan keadilan lingkungan. Akibatnya antara lain pemanasan bumi, bertumpuknya
sampah, pencemaran air, tanah,
laut, udara serta tanah, pengurasan sumber daya alam
yang menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala besar.
Gereja peduli
5. Gereja telah lama menaruh
keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus
Paulus VI dalam Ensiklik
Populorum Progressio (1967, No. 12)
mengingatkan kita bahwa masyarakat setempat harus
dilindungi dari kerakusan pendatang. Hal ini diperjelas oleh Paus
Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan bahwa alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh
digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral karena dampak pengelolaan yang
tidak bermoral tidak
hanya dirasakan oleh manusia saat ini tetapi juga generasi mendatang. Paus
Benediktus XVI dalam
Ensiklik Caritas in Veritate (2009,
No. 48) menyadarkan kita bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang
sehingga harus dikelola secara bertanggungjawab bagi seluruh umat manusia.
6. Gereja Katolik Indonesia pun telah menaruh perhatian besar pada masalah
lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam Pesan SAGKI 2005 berjudul “Bangkit dan
Bergeraklah” yang mengajak kita untuk segera mengatasi berbagai ketidakadaban
publik yang paling mendesak, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan. Gereja juga telah
melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi dan negosiasi dalam
mengatasi pengrusakan lingkungan yang masih berlangsung terus bahkan kian
meningkat kualitas dan kuantitasnya.
Gereja meningkatkan kepedulian
7. Kami mengajak seluruh umat untuk meneruskan langkah dan meningkatkan kepedulian
dalam pelestarian keutuhan ciptaan dalam semangat pertobatan ekologis
dan gerak ekopastoral. Kita
menyadari bahwa perjuangan ekopastoral untuk melestarikan keutuhan ciptaan tak
mungkin dilakukan sendiri. Oleh karenanya, komitmen ini hendaknya diwujudkan dalam bentuk kemitraan
dan gerakan bersama, baik dalam Gereja sendiri maupun dengan semua pihak yang
terlibat dalam pelestarian keutuhan ciptaan.
8.Pada akhir Pesan Pastoral ini, kami akan
menyampaikan beberapa pesan:
8.1.Kepada saudara-saudari kami yang berada pada posisi
pengambil kebijakan publik : kebijakan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) hendaknya membawa peningkatan kesejahteraan hidup
masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Undang-undang yang mengabaikan
kepentingan masyarakat perlu ditinjau ulang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya
haruslah lebih
diperketat.
8.2. Kepada saudara-saudari kami yang bekerja di
dunia bisnis : pemanfaatan sumber
daya alam hendaknya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga
keuntungan sosial yaitu tetap terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya
jaminan bahwa sumber daya alam akan
tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang. Di samping itu,
usaha-usaha produksi di kalangan
masyarakat kecil dan terpinggirkan, terutama masyarakat adat, petani dan
nelayan, serta mereka yang rentan terhadap perubahan iklim dan bencana
lingkungan, perlu lebih didukung.
8.3. Kepada
umat kristiani sekalian : umat kristiani hendaknya mengembangkan habitus baru, khususnya hidup selaras dengan
alam berdasarkan kesadaran dan perilaku
yang peduli lingkungan sebagai bagian perwujudan iman dan pewartaan dalam bentuk tindakan pemulihan keutuhan ciptaan. Untuk
itu, perlu dicari usaha bersama misalnya pengolahan
sampah, penghematan
listrik dan air,
penanaman pohon, gerakan
percontohan di bidang ekologi, advokasi persuasif
di bidang hukum terkait dengan hak hidup dan keberlanjutan alam serta lingkungan. Secara khusus lembaga-lembaga
pendidikan diharapkan dapat mengambil peranan yang besar dalam gerakan penyadaran akan masalah
lingkungan dan pentingnya kearifan lokal.
9. Tahun Iman yang
dibuka oleh Paus
Benediktus XVI pada tanggal 11 Oktober 2012, antara
lain mengingatkan kita untuk mewujudkan iman kita pada
Tuhan secara nyata dalam tindakan kasih (bdk. Mat 25: 31-40). Dengan
demikian tanggungjawab dan panggilan kita untuk memulihkan keutuhan ciptaan sebagai wujud iman makin dikuatkan dan komitmen
ekopastoral kita untuk peduli pada lingkungan kian diteguhkan. Kita
semua berharap agar sikap
dan gerakan
ekopastoral kita menjadi kesaksian kasih nyata dan “pintu kepada iman” yang
“mengantar kita pada hidup dalam persekutuan dengan Allah” (Porta Fidei, No.1). Kita yakin bahwa karya
mulia di bidang ekopastoral ini diberkati Tuhan dan mendapat dukungan semua
pihak yang berkehendak baik.
Penutup
10. Akhirnya kami mengucapkan terima
kasih kepada saudara-saudari yang telah setia menekuni, mengusahakan dan
memperjuangkan kelestarian keutuhan ciptaan dengan caranya masing-masing. Semoga
Allah yang telah mencipta segala sesuatu, senantiasa memberkati rencana
dan usaha kita bersama ini.
Jakarta, 15 November 2012
P R E S I
D I U M
KONFERENSI
WALIGEREJA INDONESIA,
Mgr. Ignatius
Suharyo
K e t u a
|
Mgr. Johannes
Pujasumarta
Sekretaris Jenderal
|
Thursday, November 22, 2012
KANVI
KANVI seperti Kampung Bena, kecil di tengah semesta raya. |
Alkisah, aku diajak untuk datang ke suatu acara pada suatu sore di suatu bulan tahun 1995. Aku lupa persisnya siapa yang mengajak. Mungkin Ines atau orang lain, tapi semua yang datang sepertinya sudah aku kenal semuanya entah dekat atau tidak. Bertemu di sebuah ruangan di bangunan berjajar miliknya Komkep Malang. Dalam pertemuan itu Fr. Wawan (dan Ines?) bercerita sebuah pengalaman yang baru saja diperoleh dari pertemuan di Jogja.
Intinya adalah active non violence (ANV). Bertindak aktif tanpa kekerasan. Kami yang hadir tidak lebih dari 7 orang, membuat janji-janji untuk kencan secara periodik. Mau saling sharing, belajar tentang seorang tokoh yang melakukan tindak ANV, merangkainya dalam sabda Tuhan dan mempererat persahabatan. 2 minggu sekali akan bertemu.
Bukan hanya bertemu dengan model itu (dipandu secara bergantian yang sudah disepakati bersama dalam pertemuan), kami juga merencanakan beberapa aksi untuk stop kekerasan, untuk hidup tanpa kekerasan. Bagi stiker, bunga atau seruan-seruan lain merupakan bagian dari aksi bersama.
Lalu tahun 1996, kami membuat sebuah acara di Surabaya. Muncul nama-nama lain yang rupanya turut memberikan warna pada ajakan Fr. Wawan waktu itu. Adi Wardaya, SJ., salah satunya dan orang inilah yang menjadi biang keladi utama. Lalu ya teman-teman lain. Acara itu disebut studi refleksi ANV dipadu dengan latihan teater rakyat. Sangat menarik. Usai acara itu, aku ingat kami memakai KANVI beberapa kali untuk mengumpulkan orang muda. Salah satu yang kuingat diadakan di Sawiran.
Masuk tahun 2000 aku lupa sama sekali pada KANVI selain persahabatan yang tiada henti dengan orang-orangnya. Fr.Wawan yang sudah jadi romo, Ines dan Gatot, Senot, Joko, Vivi, dan beberapa nama lain. Hingga kemudian di tahun 2008 aku bertemu lagi dengan Mbah Adi. Dia mengingatkanku pada ANV, dan tentu saja tentang KANVI. Yang tiada henti adalah tentang api yang harus dikobarkan dalam diri. ANV bukan sekedar wadah atau gerakan atau jaringan, tapi menjadi pilihan sarana untuk sampai pada kesejatian diri. Dalam relasi sosial dan alam, yang harmonis sebagai ciptaan utuh Sang Agung.
Foto yang aku pasang adalah gambar Kampung Bena di Flores sana, yang aku ambil saat aku mengunjunginya tahun 2010. Seperti kampung itulah aku bisa menggambarkan KANVI. Komunitas kecil di tengah semesta raya. Bisakah berkembang? Bisakah bertahan? Secara history pernah aku kunjungi, pernah aku gulati, dan masih menyimpan mimpi untuk mengunjunginya atau menggulatinya lagi.
Tuesday, November 20, 2012
Selamat Jalan, Kai.
Kai (72) meninggal kemarin (Senin, 19 Nopember 2012). Kabarnya jam 14.00, menghembuskan nafas terakhir di RS. Advent Bandarlampung. Tidak terlalu mengagetkan karena Kai sudah sakit dari setahun lalu, dan sebelum meninggal mengalami koma dari hari Minggu pagi.
"Malam Sabtu itu aku mendengar Kai batuk beberapa kali. Lalu tidur bahkan ngorok, sampai pagi. Ketika pagi-pagi belum juga bangun, lalu kami bangunkan. Tidak bangun. Jadi kami bawa ke rumah sakit." Jelas anak mantunya.
Aku sempat menjenguk ke rumah sakit di ruang ICU. Kai dalam kondisi koma. Telapak tangan dan kakinya dingin sekali, dengan nafas yang berat bersuara seperti ngorok. Air matanya berlinang, itu terlihat ketika diajak bicara. Tapi tidak ada gerakan lain lagi. Matanya kosong menatap ke atas, dan seluruh badannya terbujur tak bergerak selain guncangan karena nafasnya yang tersengal berat. Selang-selang tertancap di hidung, mulut, dan lengan. Beberapa kabel terpasang juga di dada.
Aku pulang ke rumah menjelang pemakaman. Halaman rumahku pun ramai orang karena Kai tinggal persis di depan rumah. Usai Magrib Kai dimakamkan di pemakaman perumahan Polri Hajimena setelah disholatkan di Masjid. Aku mengikuti prosesi dengan kelu. Tak tahu harus melakukan apa, berpikir apa atau mengatakan apa. Lantunan doa tak henti di kepalaku.
"Ini yang terbaik. Juga terbaik bagi semua." Batinku.
Ah, 10-an tahun Kai aku kenal karena tinggal di depan rumah. Pernah menempati rumahku sementara waktu sambil menunggu rumah bersama anak-anaknya itu selesai dibangun. Tapi bahkan aku lupa, siapa namanya ya? Kai adalah panggilan kakek dari bahasa Banjar, karena dia pernah tinggal di sana.
"Kai, selamat jalan. Semua akan baik-baik saja. Kau bisa melihat nenek, Tatik, dan semua anak dan cucumu dari atas sana dengan damai. Selamat jalan, Kai."
"Malam Sabtu itu aku mendengar Kai batuk beberapa kali. Lalu tidur bahkan ngorok, sampai pagi. Ketika pagi-pagi belum juga bangun, lalu kami bangunkan. Tidak bangun. Jadi kami bawa ke rumah sakit." Jelas anak mantunya.
Aku sempat menjenguk ke rumah sakit di ruang ICU. Kai dalam kondisi koma. Telapak tangan dan kakinya dingin sekali, dengan nafas yang berat bersuara seperti ngorok. Air matanya berlinang, itu terlihat ketika diajak bicara. Tapi tidak ada gerakan lain lagi. Matanya kosong menatap ke atas, dan seluruh badannya terbujur tak bergerak selain guncangan karena nafasnya yang tersengal berat. Selang-selang tertancap di hidung, mulut, dan lengan. Beberapa kabel terpasang juga di dada.
Aku pulang ke rumah menjelang pemakaman. Halaman rumahku pun ramai orang karena Kai tinggal persis di depan rumah. Usai Magrib Kai dimakamkan di pemakaman perumahan Polri Hajimena setelah disholatkan di Masjid. Aku mengikuti prosesi dengan kelu. Tak tahu harus melakukan apa, berpikir apa atau mengatakan apa. Lantunan doa tak henti di kepalaku.
"Ini yang terbaik. Juga terbaik bagi semua." Batinku.
Ah, 10-an tahun Kai aku kenal karena tinggal di depan rumah. Pernah menempati rumahku sementara waktu sambil menunggu rumah bersama anak-anaknya itu selesai dibangun. Tapi bahkan aku lupa, siapa namanya ya? Kai adalah panggilan kakek dari bahasa Banjar, karena dia pernah tinggal di sana.
"Kai, selamat jalan. Semua akan baik-baik saja. Kau bisa melihat nenek, Tatik, dan semua anak dan cucumu dari atas sana dengan damai. Selamat jalan, Kai."
Monday, November 19, 2012
Keroyokan
jadi,
kalian akan mengeroyokku?
mengira aku mampu menahan
dengan telapak tanganku?
bisa benar, bisa salah
aku hanya pasang kuda-kuda
ayolah kalian semua
maju dan keroyok aku
ini seperti melumat mawar
dengan seluruh telapakku
akan jatuh kelopak-kelopaknya
bercampur keringat hangat
pasti akan menguarkan harum asam
yang nikmat, seperti perempuan mengidam
merindukan mangga belum matang
aku akan menikmatinya
(Ini tentang otakku, aku, yang sedang dikeroyok banyak impian dan kerjaan.)
kalian akan mengeroyokku?
mengira aku mampu menahan
dengan telapak tanganku?
bisa benar, bisa salah
aku hanya pasang kuda-kuda
ayolah kalian semua
maju dan keroyok aku
ini seperti melumat mawar
dengan seluruh telapakku
akan jatuh kelopak-kelopaknya
bercampur keringat hangat
pasti akan menguarkan harum asam
yang nikmat, seperti perempuan mengidam
merindukan mangga belum matang
aku akan menikmatinya
(Ini tentang otakku, aku, yang sedang dikeroyok banyak impian dan kerjaan.)
Friday, November 16, 2012
Kantuk Pagi
dia biasanya menyambutku hangat
memberiku kalungan bunga
mengurapiku dengan embun
mendupaiku dengan kabut
hari ini dia menahanku di pintu
menarik mata dalam lesak kantuk
dirantainya aku dengan tubuhnya yang tambun
disodorkannya mimpi setengah jadi
hai, lepaskan aku!
malam sudah lewat
tidakkah uap kopi memendarkan malasmu?
ayolah!
aku ingin melihat tarianmu
aku harus bergerak hari ini.
memberiku kalungan bunga
mengurapiku dengan embun
mendupaiku dengan kabut
hari ini dia menahanku di pintu
menarik mata dalam lesak kantuk
dirantainya aku dengan tubuhnya yang tambun
disodorkannya mimpi setengah jadi
hai, lepaskan aku!
malam sudah lewat
tidakkah uap kopi memendarkan malasmu?
ayolah!
aku ingin melihat tarianmu
aku harus bergerak hari ini.
Tuesday, November 13, 2012
Conspiracy (10)
(Kisah sebelumnya. )
Hmmm, aku yang harus pegang kendali. Aku tidak akan membiarkan mereka membuat semua ini berlarut-larut.
"Aku mau Dew kembali. Brain, kau tidak menginginkannya kan?"
Brain diam memandangku dengan mata tak mengerti. Cepat aku mengalihkan pandangan ke Heart.
"Heart, aku mencintaimu. Tapi, kau mesti belajar mengalah juga."
Heart diam, ada lekukan tidak terima di bibirnya, namun matanya menatapku lembut.
"Dan kalian semua, aku membutuhkan kalian. Jadi bantulah aku."
Mereka pelan-pelan duduk di kursinya masing-masing. Brain cepat-cepat mengandengku untuk duduk di tahtaku. Aku melihat sekilas senyum di bibirnya. Ah, dia selalu menjadi penjagaku. Aku sengaja bertumpu pada tangannya ketika mulai menekuk kakiku untuk duduk.
"Kali ini, aku yang akan menjadi pemimpin kalian. Tidak ada lagi kerja masing-masing. Semua mesti dalam kesadaranku, kendaliku. Brain akan membantuku dalam pembagian tugas." Aku memandang Brain. Dia mengangguk.
"Kita tidak akan menggantungkan diri lagi pada angin, para Gobi, maupun hujan, ..." Aku menghela nafas. Heart kelihatan sedikit gelisah, namun dia tetap di kursinya dan memandangku.
"Dan kita akan menggunakan strategi." Brain berdehem. Kedengaran lebih keras dari biasanya.
"Pertama-tama adalah membuat gambaran yang tepat tentang Dew. Kita akan membuat sketsanya. Wajahnya, tubuhnya, dan segala ciri tentangnya. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa Dew seperti itulah yang akan kita cari, bersama-sama. Bukan Dew menurut gambaran Brain, Heart atau salah satu dari antara kalian. Dew sejati, dan tidak salah lagi."
Brain mengacungkan tangannya. Kelihatan wajahnya lebih cemerlang dari biasanya.
"Putri, putriku yang mulia. Aku akan menyiapkan segala alat untuk membuat gambar seperti itu. Seluruh kotak-kotak kenangan akan menjadi referensi. Dan selama itu, Heart akan menemanimu untuk mencatat segala perasaanmu terhadap Dew, juga seluruh kerjap yang kau tangkap saat berjumpa dengan Dew."
Aku setuju. Brain melanjutkan dengan mantap.
"Yang lain berjaga-jagalah. Eyes, Noses, Mouth, Ears, Skins, rapikan pasukan kalian masing-masing. Siagakan mereka, dan pekalah. Kami akan memanggil kalian setiap kali dibutuhkan. Gambar itu akan cepat kita selesaikan, secara detail dan cermat."
Semua menyatakan persetujuannya. Aku mengibaskan tangan, tanda mereka semua boleh pergi. Brain dan Heart yang paling akhir pergi. Brain menciumku dengan kasihnya. Suatu yang biasanya paling enggan dilakukannya. Lalu ia berjalan tegak ke tempat dimana kotak-kotak kenangan yang penuh data dan pengalaman disimpan. Sedang Heart mengajakku ke taman, mencari tempat paling nyaman, dan mulai memijit kakiku. * (Bersambung)
Hmmm, aku yang harus pegang kendali. Aku tidak akan membiarkan mereka membuat semua ini berlarut-larut.
"Aku mau Dew kembali. Brain, kau tidak menginginkannya kan?"
Brain diam memandangku dengan mata tak mengerti. Cepat aku mengalihkan pandangan ke Heart.
"Heart, aku mencintaimu. Tapi, kau mesti belajar mengalah juga."
Heart diam, ada lekukan tidak terima di bibirnya, namun matanya menatapku lembut.
"Dan kalian semua, aku membutuhkan kalian. Jadi bantulah aku."
Mereka pelan-pelan duduk di kursinya masing-masing. Brain cepat-cepat mengandengku untuk duduk di tahtaku. Aku melihat sekilas senyum di bibirnya. Ah, dia selalu menjadi penjagaku. Aku sengaja bertumpu pada tangannya ketika mulai menekuk kakiku untuk duduk.
"Kali ini, aku yang akan menjadi pemimpin kalian. Tidak ada lagi kerja masing-masing. Semua mesti dalam kesadaranku, kendaliku. Brain akan membantuku dalam pembagian tugas." Aku memandang Brain. Dia mengangguk.
"Kita tidak akan menggantungkan diri lagi pada angin, para Gobi, maupun hujan, ..." Aku menghela nafas. Heart kelihatan sedikit gelisah, namun dia tetap di kursinya dan memandangku.
"Dan kita akan menggunakan strategi." Brain berdehem. Kedengaran lebih keras dari biasanya.
"Pertama-tama adalah membuat gambaran yang tepat tentang Dew. Kita akan membuat sketsanya. Wajahnya, tubuhnya, dan segala ciri tentangnya. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa Dew seperti itulah yang akan kita cari, bersama-sama. Bukan Dew menurut gambaran Brain, Heart atau salah satu dari antara kalian. Dew sejati, dan tidak salah lagi."
Brain mengacungkan tangannya. Kelihatan wajahnya lebih cemerlang dari biasanya.
"Putri, putriku yang mulia. Aku akan menyiapkan segala alat untuk membuat gambar seperti itu. Seluruh kotak-kotak kenangan akan menjadi referensi. Dan selama itu, Heart akan menemanimu untuk mencatat segala perasaanmu terhadap Dew, juga seluruh kerjap yang kau tangkap saat berjumpa dengan Dew."
Aku setuju. Brain melanjutkan dengan mantap.
"Yang lain berjaga-jagalah. Eyes, Noses, Mouth, Ears, Skins, rapikan pasukan kalian masing-masing. Siagakan mereka, dan pekalah. Kami akan memanggil kalian setiap kali dibutuhkan. Gambar itu akan cepat kita selesaikan, secara detail dan cermat."
Semua menyatakan persetujuannya. Aku mengibaskan tangan, tanda mereka semua boleh pergi. Brain dan Heart yang paling akhir pergi. Brain menciumku dengan kasihnya. Suatu yang biasanya paling enggan dilakukannya. Lalu ia berjalan tegak ke tempat dimana kotak-kotak kenangan yang penuh data dan pengalaman disimpan. Sedang Heart mengajakku ke taman, mencari tempat paling nyaman, dan mulai memijit kakiku. * (Bersambung)
Monday, November 12, 2012
Awalnya NN
Awalnya adalah NN.
Tertabrak BRT, pagi tadi.
Aku berlalu, abai, dengan gelenyar di kulit.
Aku daraskan doa, berulang : Ampuni dia.
Sembari berpikir berhati berseteru tak henti,
andai saudara, andai keluarga, andai kenalan...
Aku daraskan doa, berulang : Ampuni aku.
Sepercik rasa bersalah,
karna aku berlalu, abai, dengan gelenyar di kulit.
Kini bukan lagi NN, tapi orang yang jelas.
Mungkin tidak kenal, tapi aku berdoa untuknya.
Jhon Sukirjo, semoga damai di surga.
Sopir BRT, orang-orang yang bantu dan yang abai,
semoga damai di dunia sisa.
(Berharap tidak ada lagi korban keganasan lalulintas.)
Tertabrak BRT, pagi tadi.
Aku berlalu, abai, dengan gelenyar di kulit.
Aku daraskan doa, berulang : Ampuni dia.
Sembari berpikir berhati berseteru tak henti,
andai saudara, andai keluarga, andai kenalan...
Aku daraskan doa, berulang : Ampuni aku.
Sepercik rasa bersalah,
karna aku berlalu, abai, dengan gelenyar di kulit.
Kini bukan lagi NN, tapi orang yang jelas.
Mungkin tidak kenal, tapi aku berdoa untuknya.
Jhon Sukirjo, semoga damai di surga.
Sopir BRT, orang-orang yang bantu dan yang abai,
semoga damai di dunia sisa.
(Berharap tidak ada lagi korban keganasan lalulintas.)
Maarif, Belajar dari Si Tukang Kebun
Judul : Maarif
Karya : Bahauddin Walad
Penyadur dan apresiasi : Ahmad Yulden Erwin
Cetakan 1 : Januari 2006
Penerbit : One Earth Media
Halaman : xiv + 456
Dimensi : 14,5 X 21
ISSBN : 979-99877-9-2
Buku ini sudah ada dalam koleksi bukuku dari tahun 2007 (atau 2008 ya?). Aku mendapatkannya sebagai specially gift from my Babe. (Seperti halnya aku mempunyai banyak ibu, maka aku juga mempunyai banyak bapak. Si pemberi adalah salah satu bapak yang kucintai, yang telah keras mengajarku dengan tangan besi, sekaligus memberiku petunjuk pada kelembutan sebagai mata cinta. Thanks, Be.)
Pada awalnya buku ini aku terima secara biasa. Toh aku sering sekali mendapat hadiah buku dari banyak orang. Namun kemudian menjadi tidak biasa ketika kami sempat mendiskusikannya dalam satu kesempatan luar biasa. Aku lupa siapa saja yang terlibat dalam obrolan, tapi kuingat mereka ini 'orang-orang yang sedang gila', waktu itu. Hehehe... Nama Ahmad Yulden Erwin pun pop up, terlebih kasak-kusuk konon orangnya tinggal di Lampung. "Tetanggamu tuh, Yul." Mereka minta aku mencari si tetangga ini. "Siapa tahu bisa kita undang ke Jakarta untuk diskusi mendalam tentang Maarif." Sayangnya saat itu aku tidak sungguh-sungguh mencari 'tetanggaku' ini walau aku beberapa kali datang ke seputaran Gotong Royong, alamat yang muncul sebagai petunjuk keberadaan Ahmad Yulden Erwin.
Kemudian bertahun buku ini tersuruk begitu saja di rak bukuku, hingga tiba-tiba mencuat lagi di weekend kemarin, semata-mata karena aku ketemu 'tetanggaku' itu secara tidak sengaja. Awalnya aku kurang yakin. Aku memastikan dengan menelusuri koleksiku. Tulisan Maarif, Ahmad Yulden Erwin, dalam warna putih, kuning dengan background biru gradasi kemerahan langsung kelihatan menonjol dari buku-buku yang lain. Dan aku pun mulai membolak-balik buku itu lagi. Betul dia ini orangnya, hehehe... Telat banget. Sahabat-sahabat gilaku sudah tersebar entah di mana.
Belum semua bab dalam buku ini sudah aku baca. Aku ingat aku membacanya secara melompat-lompat. Syukurnya, buku ini bisa dibaca dengan cara demikian. Bebagai topik sufistik ditulis oleh Bahauddin Walad sebagai prosa puitis, diterjemahkan dan disadur oleh Erwin dalam bahasa Indonesia secara demikian juga. Aku tidak pasti dari bahasa apa dia menterjemahkan, tapi aku bisa katakan ini terjemaahan yang 'utuh' dan indah. (Dalam beberapa buku terjemaahan aku sering sok mencela-cela, 'terlalu bau Perancis', atau 'Belanda banget deh'. Buku ini tidak memberiku alasan untuk mencela karena aku tidak mendapat baunya selain Indonesia, yang indah.)
Ketika aku buka kembali, ada tiga pembatas buku yang terselip di buku ini. Ini pasti menandai bab-bab terakhir yang aku baca sebelum aku 'onggokkan' di rak dindingku. Pembatas buku yang paling akhir ada pada bab 57, Berdusta (hal. 201). "Seseorang yang berkata :"Aku telah beriman.", mungkin saja berdusta. Sebab, ketergantungannya kepada Tuhan mungkin saja lebih dimotivasi untuk mengejar kenikmatan, atau untuk menghindari penderitaan."
Kata-kata Bahauddin Walad, ayah dari Jalaludin Rumi yang tarian berputarnya sudah menjadi inpirasi pada beberapa cerpen dan puisiku, adalah kumpulan kata lembut yang menyusup pelan, sekaligus memberikan rasa sakit saat membacanya. Pasti ini semacam rasa sakit yang diterima oleh kerang mutiara saat raganya disusupi 'pencemar' atau 'pengganggu'. Dan spontan tubuh dan jiwa bereaksi 'menggulatinya', melumuri dengan 'penyembuhan diri', hingga tebal dan suatu ketika nanti akan jadi mutiara berharga.
Maka, di setiap satu bab yang aku baca, aku menyempatkan diri dalam pengendapan sebelum lanjut pada bab berikutnya. Dengan demikian buku ini bukan hanya teks kata, tidak semata sekedar kumpulan kata. Bahauddin Walad menyebut diri si tukang kebun, dan aku si pekerja di ladang Tuhan yang belum berani mengaku, tersindir habis oleh kata-kata yang diungkap olehnya. Hmm, sebenarnya bukan semata sindiran. Beberapa bab adalah hiburan, yang lain pencerahan, lainnya lagi kritikan, dukungan, dan sebagainya.
Erwin memberikan apresiasi di tiap bab. Jujur, bagian yang ini tidak terlalu kusuka karena terasa melelahkan. Aku melakukan usaha yang cukup keras supaya tidak terpancing tulisan Erwin ini. Aku yakin Erwin mengungkapkan apresiasi dari refleksinya yang mendalam. Di beberapa bab, refleksi itu ada juga yang senada dengan irama jiwaku saat membaca bab yang bersangkutan. Namun, sejarah dan konteksku berbeda dengan Erwin. Jadi, di beberapa bab aku menahan diri supaya aku tidak masuk dalam 'kurungan' (?) yang sudah dibuat oleh Erwin. Hehehe, mungkin bukan dimaksudkan sebagai kurungan, jadi aku pun bertahan memerdekakan diri dalam mengendapkannya.
Apresiasiku sangat besar untuk manuskrip Maarif, dan juga untuk Erwin yang sudah membawaku pada Bahauddin Walad. Buku ini berjajar dengan buku-buku favorit yang tak akan kubiarkan hilang. Surely.
Karya : Bahauddin Walad
Penyadur dan apresiasi : Ahmad Yulden Erwin
Cetakan 1 : Januari 2006
Penerbit : One Earth Media
Halaman : xiv + 456
Dimensi : 14,5 X 21
ISSBN : 979-99877-9-2
Buku ini sudah ada dalam koleksi bukuku dari tahun 2007 (atau 2008 ya?). Aku mendapatkannya sebagai specially gift from my Babe. (Seperti halnya aku mempunyai banyak ibu, maka aku juga mempunyai banyak bapak. Si pemberi adalah salah satu bapak yang kucintai, yang telah keras mengajarku dengan tangan besi, sekaligus memberiku petunjuk pada kelembutan sebagai mata cinta. Thanks, Be.)
Pada awalnya buku ini aku terima secara biasa. Toh aku sering sekali mendapat hadiah buku dari banyak orang. Namun kemudian menjadi tidak biasa ketika kami sempat mendiskusikannya dalam satu kesempatan luar biasa. Aku lupa siapa saja yang terlibat dalam obrolan, tapi kuingat mereka ini 'orang-orang yang sedang gila', waktu itu. Hehehe... Nama Ahmad Yulden Erwin pun pop up, terlebih kasak-kusuk konon orangnya tinggal di Lampung. "Tetanggamu tuh, Yul." Mereka minta aku mencari si tetangga ini. "Siapa tahu bisa kita undang ke Jakarta untuk diskusi mendalam tentang Maarif." Sayangnya saat itu aku tidak sungguh-sungguh mencari 'tetanggaku' ini walau aku beberapa kali datang ke seputaran Gotong Royong, alamat yang muncul sebagai petunjuk keberadaan Ahmad Yulden Erwin.
Kemudian bertahun buku ini tersuruk begitu saja di rak bukuku, hingga tiba-tiba mencuat lagi di weekend kemarin, semata-mata karena aku ketemu 'tetanggaku' itu secara tidak sengaja. Awalnya aku kurang yakin. Aku memastikan dengan menelusuri koleksiku. Tulisan Maarif, Ahmad Yulden Erwin, dalam warna putih, kuning dengan background biru gradasi kemerahan langsung kelihatan menonjol dari buku-buku yang lain. Dan aku pun mulai membolak-balik buku itu lagi. Betul dia ini orangnya, hehehe... Telat banget. Sahabat-sahabat gilaku sudah tersebar entah di mana.
Belum semua bab dalam buku ini sudah aku baca. Aku ingat aku membacanya secara melompat-lompat. Syukurnya, buku ini bisa dibaca dengan cara demikian. Bebagai topik sufistik ditulis oleh Bahauddin Walad sebagai prosa puitis, diterjemahkan dan disadur oleh Erwin dalam bahasa Indonesia secara demikian juga. Aku tidak pasti dari bahasa apa dia menterjemahkan, tapi aku bisa katakan ini terjemaahan yang 'utuh' dan indah. (Dalam beberapa buku terjemaahan aku sering sok mencela-cela, 'terlalu bau Perancis', atau 'Belanda banget deh'. Buku ini tidak memberiku alasan untuk mencela karena aku tidak mendapat baunya selain Indonesia, yang indah.)
Ketika aku buka kembali, ada tiga pembatas buku yang terselip di buku ini. Ini pasti menandai bab-bab terakhir yang aku baca sebelum aku 'onggokkan' di rak dindingku. Pembatas buku yang paling akhir ada pada bab 57, Berdusta (hal. 201). "Seseorang yang berkata :"Aku telah beriman.", mungkin saja berdusta. Sebab, ketergantungannya kepada Tuhan mungkin saja lebih dimotivasi untuk mengejar kenikmatan, atau untuk menghindari penderitaan."
Kata-kata Bahauddin Walad, ayah dari Jalaludin Rumi yang tarian berputarnya sudah menjadi inpirasi pada beberapa cerpen dan puisiku, adalah kumpulan kata lembut yang menyusup pelan, sekaligus memberikan rasa sakit saat membacanya. Pasti ini semacam rasa sakit yang diterima oleh kerang mutiara saat raganya disusupi 'pencemar' atau 'pengganggu'. Dan spontan tubuh dan jiwa bereaksi 'menggulatinya', melumuri dengan 'penyembuhan diri', hingga tebal dan suatu ketika nanti akan jadi mutiara berharga.
Maka, di setiap satu bab yang aku baca, aku menyempatkan diri dalam pengendapan sebelum lanjut pada bab berikutnya. Dengan demikian buku ini bukan hanya teks kata, tidak semata sekedar kumpulan kata. Bahauddin Walad menyebut diri si tukang kebun, dan aku si pekerja di ladang Tuhan yang belum berani mengaku, tersindir habis oleh kata-kata yang diungkap olehnya. Hmm, sebenarnya bukan semata sindiran. Beberapa bab adalah hiburan, yang lain pencerahan, lainnya lagi kritikan, dukungan, dan sebagainya.
Erwin memberikan apresiasi di tiap bab. Jujur, bagian yang ini tidak terlalu kusuka karena terasa melelahkan. Aku melakukan usaha yang cukup keras supaya tidak terpancing tulisan Erwin ini. Aku yakin Erwin mengungkapkan apresiasi dari refleksinya yang mendalam. Di beberapa bab, refleksi itu ada juga yang senada dengan irama jiwaku saat membaca bab yang bersangkutan. Namun, sejarah dan konteksku berbeda dengan Erwin. Jadi, di beberapa bab aku menahan diri supaya aku tidak masuk dalam 'kurungan' (?) yang sudah dibuat oleh Erwin. Hehehe, mungkin bukan dimaksudkan sebagai kurungan, jadi aku pun bertahan memerdekakan diri dalam mengendapkannya.
Apresiasiku sangat besar untuk manuskrip Maarif, dan juga untuk Erwin yang sudah membawaku pada Bahauddin Walad. Buku ini berjajar dengan buku-buku favorit yang tak akan kubiarkan hilang. Surely.
Saturday, November 10, 2012
Titik Maklum
Tulisan ini bagian dari 'ngeles', mencari pembenaran dari beberapa yang aku ungkapkan pada My Dear Bejo pagi ini. Aku anggap ini satu fase penting yang harus kusadari, maka aku mesti menulisnya supaya tidak lupa.
Ya, ini terkait dengan tuduhan beberapa sahabat. Mereka sahabatku, jadi jika mereka sampai menuduhku maka tuduhan itu benar adanya sesuai dengan pemahaman mereka terhadapku. Tidak salah.
Memang tidak salah jika aku dikatakan sebagai "Orang yang tidak punya prinsip." Hatiku mempertanyakan kebenarannya, tapi penilaian mereka sah.
Tidak salah jika aku dikatakan sebagai "Orang yang tidak berpihak. Orang yang netral. Ular berkepala dua atau tiga atau seribu. Yang tidak ngeblok." Aku akan protes, tapi penilaian itu benar.
Aku kira memang aku orang seperti itu. Mereka katakan harusnya aku mempunyai keterpihakan yang jelas.
Hmmm, ini yang menjadi pemikiranku sekarang. Aku ingat berpuluh tahun lalu, mungkin saat SMA, aku sudah berpikir soal "Aku akan sampai pada titik itu, titik maklum." Dulu pikiranku adalah hitam putih, dan aku akan sampai pada titik maklum, di mana tidak ada hitam atau putih. Baik atau jahat. Cek di blogku yang lain ini. Di situ ada salah satu orang yang memberiku pengaruh pada pendapat ini.
Terus terang, titik maklum menjadi visiku yang kuat sejak aku remaja. Maka nilai-nilai menjadi tengah-tengah antara hitam dan putih, mungkin tidak abu-abu tapi ada di antara hitam dan putih. Hal itu diperkuat oleh pengalaman-pengalaman. Aku bertemu orang yang pernah membunuh (jahat?) tapi dia menunjukkan kasih yang luar biasa pada suatu peristiwa, beberapa orang (baik?). Aku pernah bertemu orang suci, yang bersih dari kaki hingga kepalanya (baik?) tapi kemudian dia tanpa merasa bersalah melakukan sesuatu yang menjijikkan dan tidak bermoral menurut pandangan umum (jahat?). Aku tidak bisa membenci orang-orang itu, pun tindakan-tindakan kuanggap manusiawi antara hitam dan putih. Bahkan pada sahabat-sahabatku, saudaraku, aku menemukan sisi hitam dan putih yang sesekali membuatku sangat jengkel marah namun tak bisa membuatku berhenti mencintainya. "Terserah kau lakukan apa, aku tetap mencintaimu!" Itu kuserukan setiap waktu pada setiap orang bahkan orang-orang di jalanan. (Apalagi orang-orang yang terdekatku.)
Bejo memintaku (mendesakku) untuk berpihak. Berpihak pada 'siapa'? Berpihak pada 'apa' aku sudah berusaha lakukan dengan seluruh tindakanku, pikiranku, keterbukaanku. Tapi berpihak pada 'siapa', aku tidak bisa. Aku tidak berani menyebutkan 'belum' karena aku tidak punya visi seperti itu. Secara hati aku spontan di sisi para buruh ketimbang para pengusaha, orang muda ketimbang orang tua, korban dari pada penindas dan sebagainya. Aku lakukan juga dalam aksi, selain omongan dan tulisan. Tapi aku juga tidak bisa membuat diriku memandang salah satu sisi secara negatif antipati.
Yang sedang kupikir, hehehe, ini bagian dari 'ngeles'ku, adalah aku mesti berada pada posisi dan peran yang benar supaya cara pandangku ini memberi manfaat yang tepat pada sekitarku, pada semesta dunia. Ini yang sedang menjadi fokus pikiranku beberapa waktu (tahun?) terakhir ini. Menemukan kavling yang tepat bagi diriku. Pertapa? Hehehe. Seniman? Lebih cocok. Novelis? Ambisius. Cerpenis? Ahhh... Mungkin sesuatu yang lebih soliter. Ini masa midle of life dalam hidupku, sepertinya. Semacam puber kedua, pencarian jilid kedua. Hehehe....
Bejo, terimakasih atas secangkir kopi pekat pagi ini. Ini jadi satu tapak tanggaku. Moga aku sedang menghadap ke atas.
Ya, ini terkait dengan tuduhan beberapa sahabat. Mereka sahabatku, jadi jika mereka sampai menuduhku maka tuduhan itu benar adanya sesuai dengan pemahaman mereka terhadapku. Tidak salah.
Memang tidak salah jika aku dikatakan sebagai "Orang yang tidak punya prinsip." Hatiku mempertanyakan kebenarannya, tapi penilaian mereka sah.
Tidak salah jika aku dikatakan sebagai "Orang yang tidak berpihak. Orang yang netral. Ular berkepala dua atau tiga atau seribu. Yang tidak ngeblok." Aku akan protes, tapi penilaian itu benar.
Aku kira memang aku orang seperti itu. Mereka katakan harusnya aku mempunyai keterpihakan yang jelas.
Hmmm, ini yang menjadi pemikiranku sekarang. Aku ingat berpuluh tahun lalu, mungkin saat SMA, aku sudah berpikir soal "Aku akan sampai pada titik itu, titik maklum." Dulu pikiranku adalah hitam putih, dan aku akan sampai pada titik maklum, di mana tidak ada hitam atau putih. Baik atau jahat. Cek di blogku yang lain ini. Di situ ada salah satu orang yang memberiku pengaruh pada pendapat ini.
Terus terang, titik maklum menjadi visiku yang kuat sejak aku remaja. Maka nilai-nilai menjadi tengah-tengah antara hitam dan putih, mungkin tidak abu-abu tapi ada di antara hitam dan putih. Hal itu diperkuat oleh pengalaman-pengalaman. Aku bertemu orang yang pernah membunuh (jahat?) tapi dia menunjukkan kasih yang luar biasa pada suatu peristiwa, beberapa orang (baik?). Aku pernah bertemu orang suci, yang bersih dari kaki hingga kepalanya (baik?) tapi kemudian dia tanpa merasa bersalah melakukan sesuatu yang menjijikkan dan tidak bermoral menurut pandangan umum (jahat?). Aku tidak bisa membenci orang-orang itu, pun tindakan-tindakan kuanggap manusiawi antara hitam dan putih. Bahkan pada sahabat-sahabatku, saudaraku, aku menemukan sisi hitam dan putih yang sesekali membuatku sangat jengkel marah namun tak bisa membuatku berhenti mencintainya. "Terserah kau lakukan apa, aku tetap mencintaimu!" Itu kuserukan setiap waktu pada setiap orang bahkan orang-orang di jalanan. (Apalagi orang-orang yang terdekatku.)
Bejo memintaku (mendesakku) untuk berpihak. Berpihak pada 'siapa'? Berpihak pada 'apa' aku sudah berusaha lakukan dengan seluruh tindakanku, pikiranku, keterbukaanku. Tapi berpihak pada 'siapa', aku tidak bisa. Aku tidak berani menyebutkan 'belum' karena aku tidak punya visi seperti itu. Secara hati aku spontan di sisi para buruh ketimbang para pengusaha, orang muda ketimbang orang tua, korban dari pada penindas dan sebagainya. Aku lakukan juga dalam aksi, selain omongan dan tulisan. Tapi aku juga tidak bisa membuat diriku memandang salah satu sisi secara negatif antipati.
Yang sedang kupikir, hehehe, ini bagian dari 'ngeles'ku, adalah aku mesti berada pada posisi dan peran yang benar supaya cara pandangku ini memberi manfaat yang tepat pada sekitarku, pada semesta dunia. Ini yang sedang menjadi fokus pikiranku beberapa waktu (tahun?) terakhir ini. Menemukan kavling yang tepat bagi diriku. Pertapa? Hehehe. Seniman? Lebih cocok. Novelis? Ambisius. Cerpenis? Ahhh... Mungkin sesuatu yang lebih soliter. Ini masa midle of life dalam hidupku, sepertinya. Semacam puber kedua, pencarian jilid kedua. Hehehe....
Bejo, terimakasih atas secangkir kopi pekat pagi ini. Ini jadi satu tapak tanggaku. Moga aku sedang menghadap ke atas.
Subscribe to:
Posts (Atom)