panggilan itu nyata tersadari
menjadi pintu ke persemayaman
lidah-lidahnya menyemat kunci
pembuka laci-laci sentuhan
aku berjingkat memungutnya
satu-per-satu lumat
'manis di mulut
pahit di perut'
hujan membantuku mencerna
sungguh pelan
hingga tidak diare
terbuang
malam secangkir kopi pekat
untuk mengendapkan
kekaguman
(Tak ingin lupa detail cukil kata dari obrolan bersama Erwin di teras Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (2/12). Seluruhnya adalah cuplikan ilmu, yang akan terkupas di perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Sudah kudapat rangkumannya, akan kuserap seluruhnya! Pasti.)
No comments:
Post a Comment