Monday, November 12, 2012

Maarif, Belajar dari Si Tukang Kebun

Judul                            : Maarif
Karya                          : Bahauddin Walad
Penyadur dan apresiasi : Ahmad Yulden Erwin
Cetakan 1                   : Januari 2006
Penerbit                      : One Earth Media
Halaman                     : xiv + 456
Dimensi                      : 14,5 X 21
ISSBN                       : 979-99877-9-2


Buku ini sudah ada dalam koleksi bukuku dari tahun 2007 (atau 2008 ya?). Aku mendapatkannya sebagai specially gift from my Babe. (Seperti halnya aku mempunyai banyak ibu, maka aku juga mempunyai banyak bapak. Si pemberi adalah salah satu bapak yang kucintai, yang telah keras mengajarku dengan tangan besi, sekaligus memberiku petunjuk pada kelembutan sebagai mata cinta. Thanks, Be.)

Pada awalnya buku ini aku terima secara biasa. Toh aku sering sekali mendapat hadiah buku dari banyak orang. Namun kemudian menjadi tidak biasa ketika kami sempat mendiskusikannya dalam satu kesempatan luar biasa. Aku lupa siapa saja yang terlibat dalam obrolan, tapi kuingat mereka ini 'orang-orang yang sedang gila', waktu itu. Hehehe... Nama Ahmad Yulden Erwin pun pop up, terlebih kasak-kusuk konon orangnya tinggal di Lampung. "Tetanggamu tuh, Yul." Mereka minta aku mencari si tetangga ini. "Siapa tahu bisa kita undang ke Jakarta untuk diskusi mendalam tentang Maarif." Sayangnya saat itu aku tidak sungguh-sungguh mencari 'tetanggaku' ini walau aku beberapa kali datang ke seputaran Gotong Royong, alamat yang muncul sebagai petunjuk keberadaan Ahmad Yulden Erwin.

Kemudian bertahun buku ini tersuruk begitu saja di rak bukuku, hingga tiba-tiba mencuat lagi di weekend kemarin, semata-mata karena aku ketemu 'tetanggaku' itu secara tidak sengaja. Awalnya aku kurang yakin. Aku memastikan dengan menelusuri koleksiku. Tulisan Maarif, Ahmad Yulden Erwin, dalam warna putih, kuning dengan background biru gradasi kemerahan langsung kelihatan menonjol dari buku-buku yang lain. Dan aku pun mulai membolak-balik buku itu lagi. Betul dia ini orangnya, hehehe... Telat banget. Sahabat-sahabat gilaku sudah tersebar entah di mana.

Belum semua bab dalam buku ini sudah aku baca. Aku ingat aku membacanya secara melompat-lompat. Syukurnya, buku ini bisa dibaca dengan cara demikian. Bebagai topik sufistik ditulis oleh Bahauddin Walad sebagai prosa puitis, diterjemahkan dan disadur oleh Erwin dalam bahasa Indonesia secara demikian juga. Aku tidak pasti dari bahasa apa dia menterjemahkan, tapi aku bisa katakan ini terjemaahan yang 'utuh' dan indah. (Dalam beberapa buku terjemaahan aku sering sok mencela-cela, 'terlalu bau Perancis', atau 'Belanda banget deh'. Buku ini tidak memberiku alasan untuk mencela karena aku tidak mendapat baunya selain Indonesia, yang indah.)

Ketika aku buka kembali, ada tiga pembatas buku yang terselip di buku ini. Ini pasti menandai bab-bab terakhir yang aku baca sebelum aku 'onggokkan' di rak dindingku. Pembatas buku yang paling akhir ada pada bab 57, Berdusta (hal. 201). "Seseorang yang berkata :"Aku telah beriman.", mungkin saja berdusta. Sebab, ketergantungannya kepada Tuhan mungkin saja lebih dimotivasi untuk mengejar kenikmatan, atau untuk menghindari penderitaan."

Kata-kata Bahauddin Walad, ayah dari Jalaludin Rumi yang tarian berputarnya sudah menjadi inpirasi pada beberapa cerpen dan puisiku, adalah kumpulan kata lembut yang menyusup pelan, sekaligus memberikan rasa sakit saat membacanya. Pasti ini semacam rasa sakit yang diterima oleh kerang mutiara saat raganya disusupi 'pencemar' atau 'pengganggu'. Dan spontan tubuh dan jiwa bereaksi 'menggulatinya', melumuri dengan 'penyembuhan diri', hingga tebal dan suatu ketika nanti akan jadi mutiara berharga.

Maka, di setiap satu bab yang aku baca, aku menyempatkan diri dalam pengendapan sebelum lanjut pada bab berikutnya. Dengan demikian buku ini bukan hanya teks kata, tidak semata sekedar kumpulan kata. Bahauddin Walad menyebut diri si tukang kebun, dan aku si pekerja di ladang Tuhan yang belum berani mengaku, tersindir habis oleh kata-kata yang diungkap olehnya. Hmm, sebenarnya bukan semata sindiran. Beberapa bab adalah hiburan, yang lain pencerahan, lainnya lagi kritikan, dukungan, dan sebagainya.

Erwin memberikan apresiasi di tiap bab. Jujur, bagian yang ini tidak terlalu kusuka karena terasa melelahkan. Aku melakukan usaha yang cukup keras supaya tidak terpancing tulisan Erwin ini. Aku yakin Erwin mengungkapkan apresiasi dari refleksinya yang mendalam. Di beberapa bab, refleksi itu ada juga yang senada dengan irama jiwaku saat membaca bab yang bersangkutan. Namun, sejarah dan konteksku berbeda dengan Erwin. Jadi, di beberapa bab aku menahan diri supaya aku tidak masuk dalam 'kurungan' (?) yang sudah dibuat oleh Erwin. Hehehe, mungkin bukan dimaksudkan sebagai kurungan, jadi aku pun bertahan memerdekakan diri dalam mengendapkannya.

Apresiasiku sangat besar untuk manuskrip Maarif, dan juga untuk Erwin yang sudah membawaku pada Bahauddin Walad. Buku ini berjajar dengan buku-buku favorit yang tak akan kubiarkan hilang. Surely.

No comments:

Post a Comment