Tulisan ini bagian dari 'ngeles', mencari pembenaran dari beberapa yang aku ungkapkan pada My Dear Bejo pagi ini. Aku anggap ini satu fase penting yang harus kusadari, maka aku mesti menulisnya supaya tidak lupa.
Ya, ini terkait dengan tuduhan beberapa sahabat. Mereka sahabatku, jadi jika mereka sampai menuduhku maka tuduhan itu benar adanya sesuai dengan pemahaman mereka terhadapku. Tidak salah.
Memang tidak salah jika aku dikatakan sebagai "Orang yang tidak punya prinsip." Hatiku mempertanyakan kebenarannya, tapi penilaian mereka sah.
Tidak salah jika aku dikatakan sebagai "Orang yang tidak berpihak. Orang yang netral. Ular berkepala dua atau tiga atau seribu. Yang tidak ngeblok." Aku akan protes, tapi penilaian itu benar.
Aku kira memang aku orang seperti itu. Mereka katakan harusnya aku mempunyai keterpihakan yang jelas.
Hmmm, ini yang menjadi pemikiranku sekarang. Aku ingat berpuluh tahun lalu, mungkin saat SMA, aku sudah berpikir soal "Aku akan sampai pada titik itu, titik maklum." Dulu pikiranku adalah hitam putih, dan aku akan sampai pada titik maklum, di mana tidak ada hitam atau putih. Baik atau jahat. Cek di blogku yang lain ini. Di situ ada salah satu orang yang memberiku pengaruh pada pendapat ini.
Terus terang, titik maklum menjadi visiku yang kuat sejak aku remaja. Maka nilai-nilai menjadi tengah-tengah antara hitam dan putih, mungkin tidak abu-abu tapi ada di antara hitam dan putih. Hal itu diperkuat oleh pengalaman-pengalaman. Aku bertemu orang yang pernah membunuh (jahat?) tapi dia menunjukkan kasih yang luar biasa pada suatu peristiwa, beberapa orang (baik?). Aku pernah bertemu orang suci, yang bersih dari kaki hingga kepalanya (baik?) tapi kemudian dia tanpa merasa bersalah melakukan sesuatu yang menjijikkan dan tidak bermoral menurut pandangan umum (jahat?). Aku tidak bisa membenci orang-orang itu, pun tindakan-tindakan kuanggap manusiawi antara hitam dan putih. Bahkan pada sahabat-sahabatku, saudaraku, aku menemukan sisi hitam dan putih yang sesekali membuatku sangat jengkel marah namun tak bisa membuatku berhenti mencintainya. "Terserah kau lakukan apa, aku tetap mencintaimu!" Itu kuserukan setiap waktu pada setiap orang bahkan orang-orang di jalanan. (Apalagi orang-orang yang terdekatku.)
Bejo memintaku (mendesakku) untuk berpihak. Berpihak pada 'siapa'? Berpihak pada 'apa' aku sudah berusaha lakukan dengan seluruh tindakanku, pikiranku, keterbukaanku. Tapi berpihak pada 'siapa', aku tidak bisa. Aku tidak berani menyebutkan 'belum' karena aku tidak punya visi seperti itu. Secara hati aku spontan di sisi para buruh ketimbang para pengusaha, orang muda ketimbang orang tua, korban dari pada penindas dan sebagainya. Aku lakukan juga dalam aksi, selain omongan dan tulisan. Tapi aku juga tidak bisa membuat diriku memandang salah satu sisi secara negatif antipati.
Yang sedang kupikir, hehehe, ini bagian dari 'ngeles'ku, adalah aku mesti berada pada posisi dan peran yang benar supaya cara pandangku ini memberi manfaat yang tepat pada sekitarku, pada semesta dunia. Ini yang sedang menjadi fokus pikiranku beberapa waktu (tahun?) terakhir ini. Menemukan kavling yang tepat bagi diriku. Pertapa? Hehehe. Seniman? Lebih cocok. Novelis? Ambisius. Cerpenis? Ahhh... Mungkin sesuatu yang lebih soliter. Ini masa midle of life dalam hidupku, sepertinya. Semacam puber kedua, pencarian jilid kedua. Hehehe....
Bejo, terimakasih atas secangkir kopi pekat pagi ini. Ini jadi satu tapak tanggaku. Moga aku sedang menghadap ke atas.
No comments:
Post a Comment