Aku sudah Katolik sejak bayi. Bapak ibuku membawaku pada pastur untuk dibaptis saat aku masih berusia beberapa bulan. Tapi waktu masuk sekolah dasar, hingga kelas 3, aku ikut pelajaran agama Islam. Aku sekolah di SDN Grogol 3, Kediri, dan waktu itu di sekolah itu tidak menyediakan guru maupun pelajaran agama Katolik. Jadi sejak aku masuk sekolah aku belajar Iqro, menulis huruf-huruf Arab, juga menghafal doa-doa dasar yang ada dalam agama Islam dan menyalin surat-surat tertentu dari Al Quran walau tak tahu artinya. Tentu saja waktu itu aku hafal syahadat lisan maupun tertulis, juga doa-doa lain yang biasa diucapkan sehari-hari, tahu kisah nabi-nabi juga tembang-tembang Islami. Aku lupa nilaiku di rapot untuk pelajaran agama, tapi seingatku aku bukan yang paling bodoh di kelas untuk pelajaran agama Islam termasuk dalam ulangan-ulangan praktik agama.
Selama mengikuti pelajaran agama Islam itu, aku juga ikut aktifitas yang berkenaan dengannya. Misalnya tiap tahun pasti ikut pawai obor pada malam takbiran. Sore-sore kami sudah heboh seru di halaman sekolah membawa oncor/obor masing-masing. Bapak membuatkanku obor yang tidak terlalu besar sehingga bisa aku pegang dengan kuat. Sudah diisi dengan minyak tanah yang cukup untuk berjalan keliling kampung.
Suasananya sangat khas. Gegap gempita. Hangat. Alunan takbir dari mulut kami terus menerus berkumandang. Semua orang dalam rombongan anak-anak SD itu bergembira. Tak ada yang mempermasalahkan aku ada di situ karena aku memang bagian dari rombongan itu. Sayang sekali tak ada fotonya ya, tapi aku bisa mengingat hal itu dengan gembira.
Setelah kelas 3, SD tempatku sekolah mendapatkan guru agama Katolik, Bu Tyas. Aku mulai mengikuti pelajaran agama terpisah pada tiap hari Jumat, digabung dengan murid-murid lain dari semua angkatan. Aku antara malas dan senang ikut pelajaran ini. Pertama karena temanku yang sekelas tidak ada, kedua kami tidak mendapatkan kelas sehingga kami memakai teras kantor desa di samping sekolah untuk pelajarannya, ketiga rasanya pelajarannya jadi lebih susah walau lebih familier. Senangnya, pada saat jam pelajaran agama Islam, aku free, boleh melamun-lamun saja atau mencoret-coret sesuka hati di luar kelas.
Walau aku sudah mengikuti pelajaran sesuai keyakinanku, aku tetap boleh ikut pawai obor setiap tahunnya. Dan, tentu saja itu menggembirakan. Ya iyalah. Setiap lebaran selalu menggembirakan dan pawai obor adalah permulaan kegembiraan itu. (Juga tetap ikut dalam ritual-ritual agama Islam yang dirayakan di sekolah, seperti perayaan Maulid Nabi dimana kami membawa makanan dalam besek untuk dikumpulkan, dibagi dan dimakan beramai-ramai.)
Aku ingat, walaupun malam takbiran sudah keliling kampung, besoknya saat lebaran tiba, aku sudah heboh sejak pagi menggunakan baju terbaik. Menyiapkan dompet. Hehehe... dan keliling dari rumah ke rumah. Biasanya aku paling sedikit mendapatkan angpao karena aku paling pemalas untuk pergi dari rumah dibanding kakak atau adikku, tapi toh itu tetap menyenangkan dan kulakukan sampai SMP. Dapat bonus madumongso karena beberapa tetanggaku selalu saja ada yang ingat aku suka madumongso sehingga mereka memberiku secara khusus.
Di rumah pun, bapak ibuku selalu menyediakan jajanan dan makanan, lebih heboh daripada saat natalan. Orang-orang, saudara dekat jauh, tetangga, rekan kerja, murid atau mantan murid, para tokoh desa dan banyak orang selalu datang ke rumah saat lebaran bahkan hingga hari ke sekian lebaran.
Aku tetap Katolik sampai sekarang, dan semakin dikuatkan oleh keindahan peristiwa-peristiwa yang kualami, tetap suka mendengarkan Adzan setiap jamnya (favoritku adalah suara Abah, suami Wawak, yang suaranya mengumandang dari masjid dekat rumah), sesekali mengikuti ritual puasa model Islam pada bulan ramadhan, tak peduli mendapatkan ucapan selamat natal atau tidak, senang pada lagu-lagu qosidahan, suka banget pada Jalaluddin Rumi, dan sebagainya. Dan lebaran kali ini pun, aku menikmatinya dengan gembira berucap:"Selamat idul fitri. Mari kita senantiasa fitri."
No comments:
Post a Comment