Membaca cerpen Rumah |
Saat perhelatan itu mulai diumumkan oleh Udo Z. Karzi, ketua komite sastra DKL, aku langsung menyatakan diri untuk hadir dan mau membacakan cerpen untuk acara itu. Pun begitu, aku tak punya waktu khusus untuk menyiapkan diri. Maka, malam sebelum kegiatan, aku paksakan diri di depan laptop, melihat lagi cerpen itu. "Terlalu panjang untuk dibacakan." Itu kesimpulanku.
Aku pun mengubah cerpen itu menjadi naskah pembacaan. Saat kubaca ulang, kuperkirakan naskah Rumah akan menggunakan durasi waktu antara 5 - 7 menit. Aku memotong beberapa bagiannya, kuubah menjadi sedikit puitis, dan kupastikan aku melewatkan bagian-bagian yang tak perlu. Lalu aku berpikir untuk menambahkan 'suluk' di bagian awal dan akhir pembacaan. Aku menimbang-nimbang beberapa lagu yang cocok hingga akhirnya kupilih Lir Sa Alir, di bagian refrennya. Lagu dari Madura itu terasa pas, dengan kuhilangkan nada tertingginya dan kupelankan ketukannya. Dan rasanya aku percaya diri menyanyikan lagu ini ketimbang lagu lain. Hehehe... Maka itulah yang kubuat.
Yang ingin melihatnya bisa klik di sini atau bisa juga membuka link Komunitas Kampoeng Jerami klik di sini. Video ini berguna sekali bagiku karena aku bisa melihat bagaimana aku tampil, yach, walau tanpa latihan toh aku menyiapkan diri juga sebaik kesempatan yang kupunya. Terimakasih untuk Zainal Abidin yang sudah membuat video ini. Kebetulan sekali aku duduk di belakangnya dan melihat dia memegang HP selama perhelatan. Aku beruntung sekali dia dengan rela hati membagikan hasil rekamannya yang bagus untukku. Terimakasih banyak.
(Nanti akan kubuat lanjutan dari tulisan tentang ini untuk mengevaluasi caraku membaca cerpen.)
Aku tak mau bisulan, jadi aku ingin menambahkan catatan berikut tentang kegiatan ini :
Ayo mengingat kegiatan komite sastra DKL. Setelah tahun 2014, saat buku Hilang Silsilah diluncurkan
oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL), baru kali ini perhelatan serupa digelar oleh
DKL. (Sebelumnya ada buku kumpulan cerpen Kawin Massal, dimana aku juga terlibat). Panggung Sastra Lampung meluncurkan dua buku
terbitan DKL tahun 2018, yaitu kumpulan puisi Negeri Para Penyair dan kumpulan
cerpen Negeri Yang Terapung. Dua buku ini diisi oleh puluhan sastrawan Lampung
dengan kurator Ahmad Yulden Erwin (Penyair), Iswadi Pratama (Teater Satu) dan
Ari Pahala Hutabarat (Komunitas Berkat Yakin). Diselenggarakan di Gedung Teater
DKL, Way Halim, Bandarlampung, Sabtu 15 Juni 2019 dengan menampilkan pembacaan
karya, diskusi dan bintang tamu Holaspica. Heri Sulianto, plt Ketua DKL
memberikan apresiasinya atas kerja para sastrawan lewat buku tersebut. Berharap
ke depan dalam terus meningkatkan kerja sama dengan semua pihak untuk kemajuan
Lampung.
Aku senang terlibat dalam dua buku ini. Buku-buku yang akan abadi, bisa beredar ke banyak pembaca. Aku juga senang bertemu dengan banyak generasi dalam dua buku maupun kegiatan
Panggung Sastra Lampung ini. Bagiku ini seperti perangsang bagi gerak sastra di Lampung.
Ada generasi tua seperti Nail Emel Prahana, juga ada yang muda seperti Rarai
Masae Soca Wening Ati.
Namun, hal itu
sangat-sangatlah kurang, dan harus ditingkatkan lagi kualitas maupun
kuantitasnya. Terlihat sekali kurangnya perhatian dari semua pihak untuk
kegiatan sastra. Mosok, sejak kegiatan terakhir tahun 2014, baru tahun
2019 hal yang serupa dapat dilakukan lagi. Lima tahun baru bisa diselenggarakan lagi atas nama Komite
Sastra Dewan Kesenian Lampung. Untuk waktu yang selama itu, para sastrawan
bergerak sendiri, berjuang untuk eksistensi sastra bagi Lampung maupun Indonesia.
Dan selama lima tahun itu, Pemda Provinsi Lampung memberikan apa? Di mana
perhatian Provinsi Lampung untuk sastrawan? Pernah ndak dilihat kehidupan para
sastrawan ini? Sekadar ruang tampil pun hanya setelah bertahun-tahun bisa
dimunculkan lagi, apa lagi hal-hal yang lain. Terus terang aku prihatin.
Merujuk pada diskusi yang dimoderatori oleh Hermansyah GA
dengan narasumber para kurator buku, sebenarnya tak mustahil sastrawan Lampung
lebih maju dari pada yang sekarang ini terjadi. Mutu tulisan dan jaringan para
sastrawan Lampung tidak bisa dikatakan rendah jika dibandingkan karya sastra
dari daerah lain. Beberapa tokohnya juga berada level yang bisa diremehkan. LIhat Iswadi Pratama. Siapa sih yang tak kenal dia secara nasional? Isbedy Stiawan. Semua pasti ingin foto dengannya saat bertemu. Tapi, heloooo, berapa kalikah nasib sastrawan diperbincangkan oleh 'para pengambil kebijakan' Provinsi ini? Jika bukan tentang 'uang' atau 'penghargaan', pernah ndak dipikirkan cara untuk meningkatkan mutu mereka (eh kami) ini?
Aku sih tetep yakin para penyair, cerpenis, novelis atau sastrawan Lampung mampu berjuang mandiri, wong buktinya ya itu yang terjadi sampai kini, dan kami terus hidup hingga mencapai banyak hal. Tapi jika ada perhatian dari banyak pihak, tak mustahil akan ada banyak perubahan yang bisa dicapai oleh Lampung lebih signifikan, lewat para sastrawannya. Maju terus pantang mundur!
No comments:
Post a Comment